Di Roma.
Diego menjatuhkan tubuhnya ke kursi tua di ruang tamu yang redup. Hanya lampu kecil di pojok ruangan yang menerangi wajah lelahnya. Dua hari tanpa tidur, dua hari berkeliling ke setiap rumah saudara, ke setiap sudut kota, namun hasilnya tetap sama.
Kosong.
Gianna seolah lenyap ditelan bumi.
Tangannya gemetar saat melepas kemeja yang masih berdebu. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang yang terasa menyakitkan di da-da. “Gianna... kenapa kamu kabur, nak?” gumamnya lirih. “Apa kamu tahu apa yang sudah kamu perbuat? Sergio bukan orang yang bisa dikhianati.”
Suara jam tua berdetak pelan di dinding, menambah sunyi yang menyesakkan. Diego mengusap wajahnya dengan kasar, lalu menatap kosong ke lantai. “Kamu pikir ayah bisa melindungimu dari orang seperti dia?” Suaranya parau.
Ia kemudian bangkit, menatap foto Gianna di meja. “Tolonglah, Nak... kembalilah sebelum semua ini terlambat,” katanya nyaris berbisik. Di luar, hujan mulai turun pelan, menetes di jendela, seolah ikut meratapi nasib seorang ayah yang kehilangan anaknya dan waktu yang terus menipis untuk menebus segalanya.
Diego menegang di tempat, wajahnya pucat pasi. Napasnya tertahan ketika lampu depan mobil itu menyorot tajam ke arah rumahnya. Dari balik tirai, ia bisa melihat dengan jelas emblem khas di kap mobil, simbol keluarga Sergio yang tak mungkin ia salah kenali.
“Tidak… nggak mungkin secepat ini,” desisnya gemetar. Tangannya refleks meraih gagang kursi untuk menopang tubuhnya yang nyaris kehilangan tenaga. Jantungnya berdentum keras di da-da. Ia tahu, waktu yang tersisa sudah habis. Janji yang ia ucapkan kemarin untuk membawa Gianna hari ini ternyata justru menjadi surat kematiannya sendiri.
Suara mesin mobil berhenti tepat di depan rumah. Disusul dengan derit pintu mobil terbuka dan langkah kaki berat menapak di jalanan basah. Diego menelan ludah. Keringat dingin menetes di pelipisnya. Ia melirik sekeliling, berpikir apakah perlu kabur, tapi ke mana? Tak ada tempat aman bagi orang yang sudah berurusan dengan Sergio.
Ketukan keras menggema di pintu rumahnya.
Tok! Tok! Tok!
“Signor Diego! Kami tahu Anda di dalam!” Suara berat itu memecah keheningan.
Diego menutup matanya, tubuhnya bergetar hebat. “Astaga... Gianna... apa yang sudah kamu lakukan?” bisiknya penuh ngeri, sementara ketukan di pintu kian keras dan tak memberi ruang untuk lari.
Jantung Diego berdegup kencang, hampir melompat keluar dari da-da. Ketukan di pintu depan kini berubah menjadi hentakan keras seolah siap menerobos masuk. Tanpa berpikir panjang, ia menyambar jaket lusuh yang tergantung di kursi dan kunci mobil tuanya di meja. Langkahnya tergesa tapi hati-hati, menahan napas agar lantai kayu tak berderit.
Suaranya nyaris tak terdengar ketika ia membuka pintu belakang perlahan, menoleh sekali ke arah depan, bayangan tubuh para pengawal sudah tampak lewat jendela, mendekat ke pintu utama. “Sial,” desisnya lirih. Dengan cepat ia keluar, menunduk di bawah cahaya redup bulan, lalu berlari melintasi halaman menuju mobil tuanya yang terparkir di balik pohon zaitun.
Tangannya bergetar saat membuka pintu mobil, hampir menjatuhkan kuncinya. Begitu berhasil masuk, ia menurunkan kursi dan menarik topi abu-abu dari jok belakang, menutup sebagian wajahnya. Dari kaca spion, ia melihat salah satu pengawal mulai memutar ke arah belakang rumah.
Diego menyalakan mesin pelan.
Brum! Suara itu terasa terlalu keras di telinganya. “Ayolah… cepat, cepat…” Ia menekan pedal gas dalam-dalam. Mobil tua itu melaju, berderit, menembus jalan berbatu yang menurun menuju jalan utama.
Diego menggertakkan gigi, mengarahkan mobilnya ke tikungan tajam tanpa melihat ke belakang lagi. “Aku harus pergi dari sini… sebelum mereka menemukan aku,” gumamnya getir di antara deru mesin dan napas yang masih tersengal ketakutan.
Pintu rumah didobrak keras hingga engselnya hampir terlepas. “Diego! Ke mana kamu?” Suara berat penuh amarah menggema memenuhi ruang tamu. Tiga pengawal Sergio menyebar cepat seperti pemburu yang kehilangan mangsa.
Yang pertama melangkah cepat ke ruang dalam, menendang setiap pintu kamar dan memeriksa tiap sudut dengan pistol di tangan. Tirai disibak kasar, lemari dibuka paksa, tapi tak ada siapa pun di sana. “Kosong!” serunya dari dalam kamar.
Yang kedua berputar di ruang tamu, menendang meja hingga terbalik, memecahkan vas bunga yang pecahannya berserakan di lantai. Ia membuka setiap laci, memeriksa surat, foto, atau dokumen apa pun yang bisa menunjukkan ke mana Diego pergi. “Dia pasti tahu kedatangan kita, makanya kabur!” geramnya, matanya menyala marah.
Sementara pengawal ketiga, pria berpostur paling tinggi, melangkah ke arah pintu belakang. Ia menunduk, memperhatikan dengan teliti gagang pintu yang tidak terkunci. “Hmm…,” gumamnya, lalu mencium udara sekitar. Aroma gas dari knalpot masih pekat menusuk hidung. Ia menatap jejak ban yang baru meninggalkan tanah lembap di halaman belakang.
“Dia kabur dari sini!” teriaknya keras, membuat dua rekannya segera berlari menghampiri.
“Cepat! Hubungi Signor Sergio! Katakan padanya Diego melarikan diri,” perintah salah satu dari mereka.
Suasana rumah Diego kini hancur berantakan. Hanya suara langkah-langkah berat para pengawal yang menggema, diiringi desah kemarahan dan ancaman yang menggantung di udara. “Kali ini, dia tidak akan bisa lari jauh,” ujar salah satu dari mereka dengan senyum dingin penuh janji.
Salah satu dari tiga bodyguard menekan nomor di ponselnya dengan tangan gemetar. “Halo, Signor Sergio,” ucapnya cepat, menarik napas sebelum melanjutkan, “Kami sudah sampai di rumah Diego, tapi rumahnya kosong. Dia kabur.”
Suara di seberang telepon terdengar berat, dalam, dan dingin seperti baja yang digesek batu. “Aku nggak mau tahu.” Suara itu bergema pelan tapi menekan. “Tangkap dan bawa Diego padaku. Dia sudah berjanji akan menyerahkan Gianna, tapi sekarang dia malah melanggar janjinya.”
Nada Sergio berubah semakin tajam. “Kalau dia berani mengingkari, maka ada punishment yang harus dia terima. Aku ingin dia dibawa hidup-hidup, tapi kalau dia melawan…” jeda itu terasa panjang dan mencekam, “Buat dia menyesal sudah lahir.”
Sambungan telepon terputus, meninggalkan keheningan sesaat yang sarat tekanan. Para bodyguard saling bertatapan. Mereka tahu betul makna ancaman itu. Tak ada satu pun dari mereka yang berani gagal lagi.
“Cepat! Diego belum mungkin jauh,” seru pemimpin mereka sambil berlari menuju mobil hitam yang terparkir di depan rumah. Dua lainnya segera mengikuti, suara langkah sepatu mereka menghentak keras di lantai.
Mesin mobil meraung hidup, ban berdecit tajam di jalan berbatu. Lampu sorot depan menembus gelap, membelah kabut tipis pagi buta Roma yang dingin.
“Dia pasti ke arah selatan,” ujar salah satu, menatap GPS di layar kecil.
“Kejar. Kita harus menangkapnya sebelum matahari terbit,” balas rekannya dengan rahang mengeras.
Tiga mobil hitam pun melaju cepat di jalanan sunyi. Dalam kabin, tak ada suara selain deru mesin dan napas tegang. Malam itu, perburuan Diego benar-benar dimulai.
**
Seorang asisten pria berpakaian rapi masuk ke ruang kerja Jason sambil membawa dua tas belanjaan besar dari butik ternama di Sisilia. Ia menunduk sopan sebelum berbicara.
“Signor, ini pesanan Anda, baju wanita untuk Signorina Gianna,” ucapnya dengan nada hati-hati sambil menyerahkan tas itu ke atas meja marmer di depan Jason.
Jason yang tengah berdiri di sisi jendela besar, menatap laut biru yang beriak di kejauhan, hanya melirik sekilas. “Ya,” balasnya datar, tangannya menerima tas itu dan meletakkannya di kursi tanpa repot memeriksa isinya. Ia lebih tertarik pada dokumen yang terbuka di mejanya.
“Sudah dapat informasinya?” tanyanya tiba-tiba, suara beratnya memecah keheningan ruangan.
“Sudah, Signor,” jawab asisten itu, tetap tenang. Ia tahu betapa berbahayanya salah bicara di depan pria yang dijuluki Serigala Sisilia itu.
Jason berbalik perlahan, menatap lurus pada asistennya. “Katakan.”
Asisten itu menunduk dalam-dalam, membuka map tipis di tangannya. “Nama lengkapnya Gianna Ishani Moretti, putri tunggal Diego Moretti. Ayahnya memiliki banyak utang pada Sergio Morelli, politisi yang berkuasa di Roma. Pernikahan itu… hanya bentuk perjanjian untuk melunasi utang.”
Jason diam sejenak, ekspresinya sulit ditebak. Ia mengambil sebatang rokok, menyalakannya, lalu meniupkan asap perlahan.
“Jadi begitu alasan Sergio menginginkannya…,” gumamnya pelan, matanya berkilat dingin.
Asisten menunggu perintah berikutnya, tapi Jason hanya mengangkat tangan, memberi isyarat untuk pergi. “Kamu boleh pergi sekarang.”
“Baik, Signor.” Asisten itu membungkuk dan keluar.
Jason menatap tas baju wanita di kursi. “Gianna Ishani…” gumamnya, senyum samar muncul di sudut bibirnya. “Kamu ternyata bagian dari permainan lama yang belum selesai.”