Jason menyandarkan tubuhnya pada meja marmer, satu tangannya memutar gelas berisi anggur merah sambil menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan laut Sisilia yang beriak tenang. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, menciptakan kontras tajam dengan sorot matanya yang berbahaya.
“Menarik sekali calon pengantinku ini,” gumamnya pelan, nada suaranya seperti seseorang yang baru menemukan teka-teki yang menantang. Ia meneguk sedikit anggur, menahan rasa getir yang menempel di lidahnya. “Sepertinya aku nggak salah memilih calon pengantin yang tepat.”
Ia meletakkan gelas itu, kemudian membuka salah satu tas berisi gaun yang dibawa asistennya tadi. Jemarinya menyentuh kain lembut berwarna gading. “Kamu lari dari Sergio, dan entah kenapa malah jatuh ke tanganku,” ucapnya lirih dengan nada seperti menertawakan takdir.
Jason lalu menatap pantulan dirinya di kaca. “Gianna…” katanya lagi, menyebut nama itu seolah sedang mengukirnya di ingatan. “Mari kita lihat, apa kamu cukup kuat untuk hidup di dunia milikku.”
Senyumnya berubah menjadi dingin. Ia menutup tas itu perlahan, lalu berjalan keluar ruangan, langkahnya tenang tapi menyiratkan badai yang segera datang.
Jason berjalan menyusuri koridor panjang menuju kamar di ujung. Di tangannya, ia membawa sebuah tas berisi pakaian baru. Pintu kamar Gianna masih tertutup, tapi ia tidak repot mengetuk. Suara langkahnya yang berat memantul di dinding hingga akhirnya gagang pintu berputar.
Gianna berdiri di depan jendela besar, matanya terpaku pada laut biru yang berkilau diterpa matahari pagi. Udara berembus lembut, menggoyangkan tirai tipis di hadapannya.
“Menikmati pemandangan?” Suara Jason terdengar rendah di belakangnya, persis di telinga membuat Gianna tersentak dan berbalik cepat. Satu tangan Jason dengan cepat menyisip masuk menyentuh paha Gianna.
“S-Signor? Anda mengejutkanku.”
Jason berdiri dekat, terlalu dekat. Tatapannya menelusuri wajah Gianna tanpa ekspresi. “Kamu tak perlu takut. Aku hanya ingin memastikan pakaian ini sesuai untukmu,” katanya sambil meletakkan tas di atas meja.
Gianna membeku, gugup di bawah tatapan tajam itu. “Terima kasih… tapi lain kali, mungkin ketuk dulu,” ucapnya hati-hati.
Jason tersenyum samar, langkahnya sedikit mendekat sebelum berhenti di jarak yang membuat udara di antara mereka menegang. “Aku nggak biasa mengetuk di rumahku sendiri, Signorina,” katanya dingin. “Ingat itu.”
Ia lalu berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan Gianna dengan jantung berdebar dan tangan gemetar, mencoba memahami pria misterius itu.
Tiba-tiba Jason menghentikan langkahnya di ujung pintu. “Kamu adalah calon pengantin ku. Sebentar lagi kita akan menikah sebaiknya kamu bersiap untuk itu,” ucapnya dengan dingin tanpa ekspresi sebelum pergi dari sana.
Gianna terpaku di tempatnya, matanya membesar tak percaya dengan kata-kata yang baru saja keluar dari bibir Jason. “Calon... pengantin?” gumamnya nyaris tak terdengar. Suara pintu yang tertutup perlahan menjadi gema terakhir yang tersisa di ruangan itu.
Udara terasa berat, seolah dinding kamar turut menyerap keheningan yang menyesakkan. Gianna menatap pintu yang kini tertutup rapat, mencoba mencerna kalimat barusan. Menikah? Dengan pria itu? pikirnya panik. Jantungnya berdetak kencang, tidak tahu harus merasa takut, bingung, atau marah.
Dia melangkah ke arah tempat tidur, duduk perlahan sambil memegangi da-da. Semua ini terjadi begitu cepat. Dari kabur dari pernikahan yang tidak diinginkannya, hingga kini berada dalam kendali pria asing yang penuh misteri dan kekuasaan.
Wajah Jason yang dingin dan tatapannya yang tajam terus terbayang di kepalanya. “Kenapa dia menjadikan aku pengantinnya? Apa maunya dia sebenarnya?” desis Gianna pelan.
Angin laut masuk dari jendela, meniup tirai yang lembut menyentuh lengannya. Tapi bahkan kesejukan itu tak mampu menenangkan rasa cemasnya. Ia tahu, sejak detik ini hidupnya tak lagi sama dan pernikahan yang disebut Jason bisa jadi hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Gianna terdiam cukup lama, pikirannya berputar tak menentu. Jantungnya berdegup cepat, seolah tubuhnya menolak kenyataan baru yang harus dihadapi. Apakah Jason seperti Sergio? pertanyaan itu terus menggema di benaknya, membuat rasa takut kembali merayap naik ke seluruh tubuhnya. Ia menarik napas dalam, menatap kosong ke arah jendela yang menampilkan laut biru di kejauhan.
“Kalau dia sama saja seperti Sergio… aku akan hancur lagi,” bisiknya lirih, nyaris seperti doa yang patah. Tangannya menggenggam erat ujung baju pelayan yang kini dikenakannya, seolah itu satu-satunya hal yang bisa memberinya rasa aman.
Namun, di tengah ketakutannya, sesuatu dalam hatinya berbisik berbeda. 'Tidak, Jason tidak sama…,' pikirnya pelan. Ada sesuatu di mata pria itu sesuatu yang tidak pernah dimiliki Sergio. Bukan hanya dingin dan keras, tapi juga penuh perhitungan, seperti seseorang yang menyembunyikan banyak luka di balik tatapan beku.
Gianna menggigit bibir bawahnya, tubuhnya masih bergetar. “Dia memang menakutkan,” gumamnya pelan, “Tapi entah kenapa… aku merasa dia nggak seburuk itu.” Ia menunduk, berusaha menenangkan diri, meski rasa takut dan penasaran kini bercampur menjadi satu di dadanya, dua emosi yang perlahan mulai mengikatnya pada pria misterius bernama Jason.
Gianna duduk di tepi ranjang, memandangi tas besar berwarna hitam elegan yang tadi ditinggalkan Jason. Dengan hati-hati, ia membuka resletingnya. Matanya membesar pelan ketika melihat isinya, beberapa gaun dan pakaian wanita lipatan rapi, semuanya tampak baru, masih beraroma khas butik mewah.
Tangannya gemetar saat menyentuh salah satu kain lembut berwarna krem muda. “Dia benar-benar membelikan ini untukku?” gumamnya tak percaya. Jason, pria yang tadi begitu dingin dan menakutkan, ternyata sempat memikirkan hal sekecil ini untuknya.
Perlahan, Gianna bangkit dan menatap bayangannya di cermin. Ia mengambil salah satu gaun sederhana dari dalam tas, lalu mulai berganti pakaian. Kain halus itu menempel di kulitnya dengan nyaman, seolah dibuat khusus untuk tubuhnya.
Ketika selesai, ia menatap dirinya sendiri di cermin sekali lagi. Ada rasa aneh yang muncul, campuran antara kagum, bingung, dan takut. “Jason… siapa sebenarnya kamu?” gumamnya lirih. Ia menarik napas pelan, mencoba menguasai hatinya yang berdebar. Mungkin, hanya mungkin, pria itu tidak sekejam bayangannya. Tapi tetap saja, Gianna tahu… berada di rumah Jason berarti melangkah ke dunia yang penuh rahasia.
*
Jason berdiri di halaman depan mansion, angin laut pagi menyapu jas hitamnya. Dari arah taman, seorang pria bertubuh kekar dengan rambut yang disisir rapi mendekat sambil menundukkan kepala hormat.
“Romeo,” panggil Jason datar, matanya tajam menatap pria itu. “Bagaimana dengan urusan di luar? Sudah kamu periksa semuanya di lapangan?”
Romeo menarik napas, lalu menatap sekeliling memastikan tak ada orang lain di sekitar mereka. “Sudah, Signor. Tapi ada sesuatu yang perlu Anda tahu. Transaksi ilegal yang kemarin Anda curigai di pelabuhan Palermo ternyata benar adanya. Mereka menggunakan nama perusahaan Anda untuk menutupi jalur distribusi senjata gelap.”
Dahi Jason mengerut. “Siapa dalangnya?”
“Kami masih menelusuri, tapi sepertinya ada orang dalam yang bekerja sama dengan kelompok luar. Beberapa peti yang seharusnya berisi bahan bangunan ternyata berisi senjata laras panjang.”
Jason terdiam beberapa detik, lalu menyipitkan mata. “Pastikan nama perusahaanku bersih dari urusan itu. Tangani secara diam-diam, jangan sampai polisi mencium apa pun.”
“Baik, Signor. Aku juga sudah menyiapkan orang untuk memantau setiap pergerakan mereka malam ini.”
Jason menepuk bahu Romeo pelan, namun sorot matanya dingin. “Jika kamu temukan siapa yang berkhianat, bawa dia padaku. Hidup-hidup.”
Romeo menunduk dalam. “Perintah diterima, Signor.”
Jason berbalik perlahan, langkahnya tenang tapi auranya menusuk, seperti badai yang siap meledak kapan saja. Dia bisa saja menjadi meledak yang akan meledak kapanpun dia disulut. Dan itu jelas berbahaya sekali. Tidak ada tidak takut pada sosok il lupo ini.
“Antar aku dalam lima menit ke Pelabuhan Palermo,” ujar Jason tanpa basa-basi, suaranya dingin dan cepat. “Kita harus periksa kontainer nomor 47B. Jika ada sedikit saja yang mencurigakan, aku ingin melihatnya sendiri.”
Romeo mengangguk sigap, mata menajam membaca nada perintah tuannya. “Baik, Signor. Siap berangkat dalam lima menit.”
Di halaman, persiapan dimulai seketika, dua pria lain dari tim Romeo menyalakan mesin mobil hitam yang diberi pelat terdaftar atas nama perusahaan logistik fiktif, memeriksa senter, radio, dan sarung tangan karet. Jason masuk ke dalam mobil satu, menarik jasnya rapat-rapat, wajahnya tak berubah, hanya seulas keputusan tegas yang terlihat pada rahangnya.
“Jangan biarkan siapa pun mendekat waktu kita di sana,” perintah Jason singkat. “Kalau ada saksi, alihkan. Kita bekerja cepat dan rapi.”
Romeo membalas, “Dimengerti. Rute tercepat melalui jalan tol selatan kurang dari 40 menit, tergantung lalu lintas.”
Jason menatapnya sebentar, lalu menyalakan ponsel, membuka peta digital untuk memastikan koordinat kontainer. “Kita berangkat sekarang,” katanya. Mesin mobil meraung, dan konvoi tiga kendaraan itu melesat meninggalkan mansion, menembus Sisilia yang masih gelap di pagi hari menuju dermaga, di mana peti yang tampak biasa bisa menyimpan rahasia yang jauh lebih berbahaya.