09 - MY HOT BILLIONAIRESS

2070 Words
MHB.09 MULUTMU TAK SECANTIK WAJAHMU VICTORIA DEBORA CHEN Aku membuka mataku yang terasa berat dengan perlahan. Terlihat langit-langit ruangan berwarna putih yang terasa asing. Aku menoleh ke sekitar, seluruh ruangan yang aku tempati juga berdindingkan putih. Dalam waktu bersamaan aku merasakan sakit di sekujur tubuhku. Membuatku kembali mengingat kejadian perampokan yang aku alami tadi pagi hingga aku tak sadarkan diri. Aku tertegun sejenak, lalu teringat pada luka yang aku alami saat kejadian perampokan itu terjadi. Dengan perlahan aku mengangkat salah satu tanganku yang kini terasa sakit. Terlihat luka yang ada di tanganku tersebut telah dibersihkan dan diobati. Kemudian aku mengangkat tanganku yang lainnya. Terdapat selang infus yang menempel di pergelangan tanganku. Setelah melihat infus tersebut, akhirnya aku menyadari bahwa saat ini aku sedang terbaring lemah di rumah sakit. Aku kembali menoleh ke sekitar, tidak ada seorangpun yang ada di dalam ruangan ini selain diriku. Namun aku melihat sebuah tas kecil yang sangat familiar bagiku ada di atas meja yang ada di sudut ruangan. Aku kembali tertegun memikirkan siapa pemilik tas yang familiar tersebut. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka di sisi lain ruangan, membuatku menoleh ke arah tersebut. Baru saja aku menoleh ke arah pintu ruangan tersebut, aku melihat Barbara temanku tersenyum hangat padaku. Ia yang baru saja memasuki ruangan berjalan menghampiriku sembari berkata, "Victoria, kamu sudah sadar?" Aku menatapnya dengan wajah kebingungan sejenak lalu menjawab, "Ya. Bagaimana aku bisa sampai di sini, Barbara?" "Aku yang membawamu ke rumah sakit ini, Victoria." Sambil menyetuh kepalaku yang kini terasa sedikit sakit aku kembali bertanya, "Bagaimana bisa, Barbara? Rasanya tadi itu aku sedang mengejar seorang perampok yang mengambil tasku. Aku berlari mengejarnya dengan sekuat tenaga, namun tiba-tiba pandanganku menggelap hingga aku tidak tahu apa-apa lagi." Sambil bergerak turun dan duduk di sampingku, Barbara menjawab, "Jangan paksakan mengingat apa yang tidak kamu ingat, Victoria. Jika kamu masih ingat dengan diriku, berarti ingatanmu masih baik-baik saja. Sudah aku pastikan kamu tidak amnesia seperti pada novel-novel yang aku baca." "Ya, aku masih ingat semuanya. Tapi... Bagaimana bisa kamu yang mengantarku ke rumah sakit. Seingatku, pada saat kejadian kamu tidak ada di tempat, Barbara." Barbara tersenyum padaku dan menjawab, "Victoria, bukankah kita selalu pergi ke kampus bersama? Meski kita pergi dengan mobil masing-masing, aku selalu datang untuk menjemputmu ke rumahmu. Jadi saat kamu terjatuh dan tak sadarkan diri saat mengejar perampok itu, kebetulan aku melewati tempat kejadian untuk menjemputmu. Aku melihat keramaian, lalu turun dari mobilku untuk menanyakan apa yang sedang terjadi pada beberapa orang yang ada di sana. Setelah mendengar penjelasan dari orang-orang tersebut dan hendak membawamu ke rumah sakit, polisi pun datang." "Lalu?" "Polisi hanya menanyakan beberapa hal padaku dan beberapa orang saksi. Karena saat itu kamu sudah tak sadarkan diri, salah satu diantara mereka memintaku untuk membawamu ke rumah sakit. Sedangkan mereka kini sedang mengejar perampok itu dan melanjutkan penyelidikan. Mungkin saja nanti polisi akan datang kemari untuk meminta keterangan padamu." "Sekarang dimana tasku, Barbara?" "Ada di dalam mobilku. Tadi aku menyempatkan diri ke depan rumahmu untuk melihat kondisi mobilmu yang kabarnya rusak parah. Karena aku melihat ada tas yang biasa kamu pakai di kursi penumpang mobil, jadi aku langsung menyelamatkannya sebelum orang lain mendahuluiku." "Bukan tas itu maksudku, Barbara. Maksudku tas yang dibawa perampok itu." "Tentu saja dibawa lari oleh perampoknya, Victoria. Memangnya kenapa? Apa tas itu berisi barang berharga?" "Ya. Ada laptopku di dalamnya. Selain itu aku juga baru membeli tas itu seharga belasan ribu dollar." Barbara tersenyum menatapku dan berkata seolah menghibur, "Victoria, aku rasa bukan masalah besar bagimu kembali membeli tas yang sama seperti yang telah dirampok itu." "Ya, aku memang tidak mempermasalahkan harganya. Yang menjadi masalah adalah tas itu limited edition, Barbara." "Astaga... Dalam keadaan sakit seperti ini kamu masih ingat dengan tas limited edition itu." Barbara bicara sambil tertawa kecil padaku. "Kamu benar-benar kekanak-kanakan, Barbara." "Tapi itu penting bagiku." Barbara kembali tertawa kecil melihatku yang cemberut sambil berbaring di atas tempat tidur pasien. Kemudian aku bertanya, "Apa perampoknya sudah ditangkap, Barbara?" "Aku tidak tahu. Hingga kini aku belum mendapatkan informasi lebih lanjut. Dari tadi aku hanya di sini menemanimu." Setelah mendengar jawaban Barbara, aku terdiam untuk beberapa saat. Yang ada di pikiranku saat ini adalah kedua orang tuaku yang sangat jauh dariku. Selain itu aku juga teringat pada kesendirianku di rumah akhir-akhir ini, yang terkadang membuat rasa takut mencul dalam hatiku. Jika sudah sakit seperti ini, barulah aku ingat bahwa aku sangat membutuhkan orang lain di dekatku. Andaikan kedua orang tuaku ada di sini, aku akan merasa sedikit lebih tenang. Dan andaikan para asisten rumah tanggaku masih ada di rumah, aku pasti tidak akan terlalu merasa kesepian. Untungnya saat ini ada Barbara yang menjadi temanku. Sehingga masih ada orang lain yang membantuku dan mengantarku ke rumah sakit. Saat aku yang sedang berbaring terdiam menatap langit-langit ruangan, Barbara yang masih duduk di kursi yang ada di sampingku kembali bersuara, "Victoria... Apa yang sedang kamu lamunkan?" "Tidak, aku tidak melamun." aku berusaha bersikap tenang meski sebenarnya saat ini aku merasa sedih. "Apanya yang tidak apa-apa, Victoria? Lihatlah wajahmu yang terlihat kusut. Aku juga melihat ada setetes air mata mengalir di wajahmu." Sambil memalingkan wajah aku berkata, "Tidak, aku tidak menangis Barbara." "Tidak usah malu mengakuinya, Victoria. Tenang saja, aku sudah menghubungi orang tuamu yang ada di Macau. Sepertinya besok beliau sudah sampai di sini." Dengan ekspresi kaget aku menolah pada Barbara dan bertanya, "Apa? Kenapa kamu menghubungi kedua orang tuaku, Barbara? Pastinya Mommy dan Daddy ku sangat khawatir jika beliau mengetahui bahwa aku terluka dan dirawat di rumah sakit." "Tidak apa-apa, Victoria. Rasanya tidak mungkin jika aku tidak menghubungi keluargamu. Saat kamu belum sadarkan diri, aku tidak tahu siapa yang akan aku hubungi. Aku sudah mencoba untuk menghubungi telepon rumahmu, tapi tidak ada seorang pun yang menjawabnya. Sehingga aku memilih untuk menghubungi keluargamu yang ada di Macau." "Ya, di rumah tidak ada siapa-siapa lagi. Hanya ada aku di rumah yang sangat besar itu." Barbara mengerutkan dahinya menatapku sembari bertanya, "Kenapa bisa tidak ada orang di rumahmu, Victoria? Biasanya aku melihat ada beberapa orang asisten rumah tangga yang menemanimu. Apa seorang pun dari mereka tidak ada di rumah?" "Tidak." "Kenapa?" "Semuanya telah berhenti bekerja dari beberapa hari yang lalu." Aku menjawab dengan nada datar. Dengan wajah yang semakin penasaran Barabara bertanya, "Bagaimana bisa, Victoria?" "Karena mereka tidak tahan dengan diriku yang selalu membuat masalah." Spontan Barbara memijat dahinya mendengar jawabanku. Dengan nada pasrah ia berkata, "Sepertinya baru kali ini aku memiliki teman sepertimu, Victoria." "Memangnya kenapa? Bagaimana dengan temanmu yang lain? Apa aku melakukan kesalahan padamu, Barbara" "Tidak, Victoria. Bukan begitu. Hanya saja aku merasa kamu benar-benar orang yang berani dan melalukan apapun sesuka hatimu. Aku baru mengenalmu selama dua bulan terakhir karena kita kuliah di kelas dan kampus yang sama. Tapi selama aku berteman denganmu, aku tidak bisa menghitung sudah berapa orang asisten rumah tanggamu yang aku temui." "Yang berhenti bekerja baru 17 orang. Yang pernah bertemu denganmu baru setengahnya." Mendengar jumlah asisten rumah tangga yang pernah bekerja di rumahku, Barbara pun tertawa dan berkata, "Astaga... Banyak sekali. Apa kamu adalah seorang majikan yang kejam, Victoria? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana caramu memperlakukan mereka, hingga mereka berhenti bekerja sebanyak itu selama dua bulan." Aku yang sudah lelah berbaring di atas tempat tidur pasien, bergerak hendak duduk dengan sangat hati-hati. Dengan segera Barabara bangkit dari kursinya untuk membantuku duduk. Sambil bergerak bangkit aku menjawab, "Tidak usah kamu bayangkan bagaimana caranya aku membuat mereka tidak betah di rumah, Barbara. Sama sekali tidak terpikirkan olehmu." "Maksudmu?" Barbara kembali bertanya sambil meletakan bantal di punggungku yang saat ini telah duduk. Aku tersenyum miring dan berbalik bertanya, "Barbara, apa kamu berpikir bahwa aku menganiya mereka hingga mereka berhenti bekerja?" "Ya, aku berpikir begitu." "Tidak. Sama sekali aku tidak pernah menyakiti mereka secara fisik. Aku juga tidak pernah menyentuh mereka. Hanya saja aku menyakiti mental mereka dengan mengamuk tanpa sebab." "Tanpa sebab? Jangan katakan jika kamu bersikap seperti orang gila saat berada di rumah, Victoria." Seketika aku tertawa kecil mendengar ucapan temanku Barbara dan menjawab, "Ya, terkadang aku bersikap seperti orang gila saat moodku sedang buruk. Bahkan aku merusak benda yang ada di rumah agar mereka panik dan merasa tidak sanggup menghadapiku." "Astaga..." Barbara bersuara dengan nada kaget. "Apa kamu tidak bisa menanggapinya dengan ekspresi biasa, Barbara? Hehehe... Aku tidak benar-benar gila. Aku hanya berakting agar mereka tidak tahan dan melaporkanku pada kedua orang tuaku. Dari awal aku pindah kemari, aku ingin ditemani oleh Bibi Xia Shen yang telah mengurusku dari kecil. Aku juga ingin dijaga oleh Uncle Jack Fan yang sudah bertahun-tahun menemaniku. Tapi kedua orang tuaku malah menyiapkan orang lain untuk mengurusku. Hal itu membuatku merasa kecewa dan berpikir membuat masalah." "Huffft... Jika aku tidak dekat denganmu dan mengerti bagaimana sifatmu, mungkin aku sudah berprasangka lain padamu, Victoria. Para asisten rumah tangga yang telah berhenti bekerja denganmu, pasti sudah berpikir macam-macam tentangmu. Bisa saja mereka bepikir kamu mengalami gangguan jiwa, depresi ataupun bipolar. Karena kamu bersikap seperti orang gila tidak setiap saat. Hanya disaat mood mu sedang buruk." "Ya, benar." Aku menganggukan kepala menanggapi ucapan Barbara dan kembali berkata, "Sebenarnya aku bukanlah orang yang mudah bergaul, Barbara. Aku bisa dekat denganmu, karena aku merasa kita di satu frekuensi dan sering duduk berdekatan di dalam kelas. Selain itu, jika bukan kamu yang terlebih dahulu menyapaku di awal kota bertemu, mungkin kita tidak akan menjadi teman seperti sekarang ini." "Ya, benar. Jika aku tidak kehilangan pena dan duduk di dekatmu di hari pertama kita di kampus, kita tidak mungkin bertemen hingga sekarang. Meski orang-orang di kampus mengatakan bahwa kamu adalah gadis yang angkuh, tapi dari awal mengenalmu, aku merasakan ada kelembutan di dalam dirimu. Makanya hingga kini aku masih mau berteman dengamu." "Aku tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh orang-orang, Barbara. Yang terpenting bagiku adalah hidup yang aman dan apa yang aku inginkan bisa aku dapatkan. Bukankah begitu, Sis?" Barbara menganggukan kepala sembari tersenyum dan menjawab, "Ya, benar. Apa yang kamu katakan benar, Sis. Yang terpenting bagi kita adalah hidup yang tentram dan apa yang diinginkan tercapai." "Oh iya, Barbara. Bagaimana bisa kamu bisa tahu nomor ponsel orang tuaku? Apa kamu mencari tahunya dari ponselku?" Dengan segera Barbara menggelengkan kepala sembari menjawab, "Tidak. Sedekat apapun aku dengan seseorang, aku tidak pernah berani membuka ponsel orang. Itu sangat privasi, Victoria." "Lalu?" "Apa kamu lupa aku memiliki orang dalam di kampus? Daddy ku adalah seorang rektor di kampus, Victoria. Sangat mudah bagiku mencari informasi tentang mahasiswa yang kuliah di kampus kita." "Ya, aku melupakan hal itu." TOK! TOK! TOK! Saat kami berdua tengah asyik berbincang-bincang, terdengar suara ketukan pintu dari luar ruangan. Barbara bangkit dari kursinya dan dengan segera melangkah ke sudut ruangan untuk membukakan pintu. Saat pintu telah terbuka, aku dan Barbara melihat beberapa orang polisi tengah berdiri di depan pintu ruang inap. Salah seorang polisi yang berdiri di hadapan Barbara tersenyum padanya dan berkata, "Permisi, Nona. Kami dari pihak kepolisian ingin menanyakan beberapa hal pada Nona Barbara. Apa Nona Barbara telah sadarkan diri?" "Sudah, Sir. Silahkan masuk." Barbara berkata sambil bergerak ke samping memberi jalan para polisi tersebut. Tiga orang polisi itu berjalan memasuki ruangan dengan langkah pasti. Saat mereka telah berdiri di samping tempat tidur, salah seorang dari mereka bersuara, "Selamat sore, Nona. Bagaimana kondisi Nona saat ini? Apa sudah merasa lebih baik dari sebelumnya?" "Aku belum merasa lebih baik jika barangku belum kembali, Sir. Tas yang dirampok itu haraganya sangat mahal." Para polisi itu menatapku dengan wajah kaget dan memerah. Begitu juga Barbara yang berdiri di sisi lain temat tidur pasien, seolah sedang menahan tawa. Kemudian polisi itu kembali berkata, "Maaf, Nona. Kami datang kemari bukan untuk menanyakan harga tas Nona yang telah di rampok itu. Kami datang kemari untuk menanyakan beberapa hal yang berhubungan dengan kajadian tadi pagi. Sebagai bagian dari proses pemeriksaan." "Tapi aku merasa buruk karena tas itu tidak didapatkan, Sir. Tas itu sangat berharga bagiku karena edisi terbatas." Aku menjawab dengan wajah ketus. Polisi itu menarik nafas dalam seolah sedang menahan emosinya yang sedang berhadapan dengan wanita sepertiku. Kemudian dengan suara berat ia berkata, "Ternyata mulutmu tak secantik wajahmu, Nona." "Apa aku tidak salah dengar, Sir?" Aku mengerucutkan bibirku dan kembali berkata, "Bibir kecil, tipis n dan merah merona ini sangat alami. Aku warisi dari Mommy dan Daddy ku. Tidak ada orang yang mengatakan bahwa bibirku tidak cantik selain Sir." Polisi itu kembali menarik nafas dalam dan tidak menanggapi ucapanku. Dengan segera ia mengalihkan pembicaraan, "Tas Nona sekarang ada di kantor kami sebagai bukti dalam penyelidikan nanti. Sekarang ini kami ingin mendengar keterangan dari Nona. Mohon kerja samanya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD