Rosie berdiri dan berlari untuk memeluk kakaknya. Sayangnya, adegan penuh haru antara dua kakak beradik itu harus terhenti.
Karena terlalu bersemangat, Rosie terbatuk dengan hebat.
Dylan mendekat dengan cepat, mengusap lembut punggung Rosie sambil berkata, “Kenapa terburu-buru? Kakak tidak akan pergi ke manapun. Ya Tuhan.”
Saat batuk itu reda, wajah Rosie sudah Semerah kepiting rebus. Nafasnya berat dan pipinya basah karena air mata.
“Duduklah dulu.” Dylan menuntun Rosie duduk, lalu mengambil sesuatu di sakunya. “Makanlah ini. Permen ini mengandung herbal obat-obatan yang baik untukmu. Kakak mendapatkannya dari seorang dokter.”
Rosie membuka mulutnya dan dalam sekejap, rongga mulutnya dipenuhi aroma mint yang kuat. Tenggorokannya menghangat dengan cepat. Rasanya sungguh melegakan. Pernafasan Rosie mulai lancar dan tidak terganggu.
“Bagaimana?” tanya Dylan.
Rosie mengangguk. Bibirnya tersungging senyuman lebar namun lemah. “Terima kasih, Kak.”
“Jangan berterima kasih padaku. Aku hanya ingin melihat adikku kembali sehat tanpa pipi yang kurus seperti ini.”
“Segera, Kak. Tidak lama lagi.”
“Ya, ya. Aku harap begitu. Aku akan membelikan apapun yang kamu mau kalau kamu sembuh.”
“Apapun?” Mata Rosie mengerjap, menatap kakaknya penuh harap. Bulu matanya yang panjang bergerak indah.
Dylan menekan rasa sakit dadanya. Dulu, Rosie begitu cantik dan ceria. Kini, adik satu-satunya itu kehilangan seluruh dagingnya dan hanya menyisakan tulang-tulang saja. Meskipun kecantikan itu masih tersisa, tapi terlihat menyedihkan.
“Ya, apapun yang kamu inginkan akan kakak kabulkan. Maaf, kakak tidak ada untuk merawatmu.”
Rosie merasa lega. Dia merebahkan kepalanya di bahu Dylan, merasakan kehangatan kasih sayangnya.
“Kapan kakak datang? Apa urusanmu di luar negeri sudah selesai?”
“Ya, maaf kakak pergi lama. Situasi di sana sangat kacau. Aku kira hanya butuh satu atau dua bulan. Tidak tahunya sampai hampir satu tahun. Bagaimana kabarmu di sini? Apa Alan memperlakukan kamu dengan baik?”
Sorot mata Rosie berubah, tapi dia menyembunyikannya dengan cepat. “Iya, Kak Dylan tidak perlu khawatir.”
“Benarkah? Kenapa wajahmu berubah?” Dylan mengernyit. Dia sempat melihat perubahan itu walau sekilas. Pengalamannya dalam dunia bisnis dan bertemu banyak tipe orang membuatnya bisa merasakannya.
“Tidak, Kak.” Rosie tersenyum sambil menegakkan tubuhnya. “Kakak mau minum apa? Masih suka teh dengan banyak daun mint dan gula batu spesial?”
Tidak ingin semakin dicurigai, Rosie sengaja menawarkan minuman. Dan itu terbukti berhasil.
“Kamu memang paling mengerti kakak.”
Rosie baru saja hendak memanggil Mita, namun gadis itu lebih dulu muncul dengan membawa termos. Rosie segera memberitahukan pesanan Dylan setelah Mita meletakkan termos di atas meja. Dan tidak lama kemudian, Mita kembali dengan dua cangkir teh daun mint yang segar.
“Bagaimana kabar Kak Anna? Kenapa dia tidak ikut?” tanya Rosie sambil menyesap tehnya. Matanya terpejam merasakan kenikmatannya.
“Anna cukup sibuk akhir-akhir ini. Dia berencana mengadakan pesta lelang amal untuk anak-anak di pelosok.”
“Istrimu itu memang aktif sejak dulu.” Rosie tertawa mengingat wajah cantik kakak iparnya yang ceria. Perangainya bebas, tapi memiliki hati paling lembut yang pernah Rosie kenal. Rambutnya sepanjang bahu dengan potongan layered bob, mengingatkannya pada sosok mendiang Putri Diana dulu.
“Kamu mengganti pelayanmu.”
Rosie sedikit terkejut karena Dylan tiba-tiba mengganti topik pembicaraan. Apalagi, sebelumnya mereka tengah membahas istri yang begitu dia cintai.
“Ya, begitulah. Kenapa kakak ingin tahu?”
“Tidak ada. Hanya agak terkejut. Aku kira kamu begitu menyukai pelayanmu yang dulu. Bukankah itu hadiah dari mama mertuamu?”
Suara Dylan memang tenang dan tidak menuntut, namun Rosie bisa merasakan tekanannya.
Hah, kakaknya ini memang sangat cerdas. Tidak heran perusahaan keluarganya bisa berkembang hingga ke mancanegara dalam waktu dekat.
“Dia melakukan sesuatu. Jadi, Alan memecatnya.”
“Apa?” Tanpa sadar, Dylan mengeratkan genggamannya pada cangkir.
Rosie melipat bibirnya. Dia hanya menatap tangannya yang terus memainkan bibir cangkir, sengaja menghindari kontak dengan sang kakak. Namun, akhirnya dia tetap menjawab, “Tanganku tidak sengaja terkena tumpahan air panas.”
Rosie sedikit mengangkat lengan bajunya, memperlihatkan kulitnya yang kemerahan.
Rahang Dylan mengetat. Dia memang tidak menyukai Mary sejak awal. Ada sesuatu dalam diri wanita itu yang membuatnya sulit percaya. Namun, melihat Rosie yang begitu nyaman dengan Mary, dia tidak banyak berkomentar. Apalagi, dia tahu jika Mary adalah pelayan yang dikirim khusus oleh Hilda. Dylan tidak ingin membuat kekacauan.
“Bagaimana bisa terjadi?” Suara Dylan berubah dalam. Ada penekanan dalam setiap katanya.
“Itu,,,, tidak sengaja. Benar-benar tidak sengaja. Kakak tidak perlu khawatir.”
“Rosie…” Dylan menatap adiknya lurus. “Aku hanya memiliki kamu sebagai adik. Tentu aku harus melindungimu.”
Rosie mendongak. Matanya terasa hangat. Bibirnya berkedut menahan tangis.
Dylan tidak tahan. Dia merengkuh adiknya dalam pelukan. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia juga tidak ingin memaksa sang adik. “Apa yang harus aku lakukan?”
Rosie menggeleng. “Biarkan aku melakukannya sendiri. Kakak, percayalah padaku. Aku memiliki beberapa rencana.”
Dylan mengeratkan pelukannya. “Tapi…”
“Kak, tolong…” Rosie mendongak. Matanya yang berkaca-kaca, menatap Dylan penuh harap.
Dylan dilema, tapi dia tidak bisa menolak keinginan adiknya. Dengan berat hati, akhirnya dia mengangguk.
Setahu dirinya, Alan memang seorang pria yang baik dan berdedikasi. Dia juga cerdas dan cepat tanggap saat menghadapi masalah. Itu sebabnya, tidak ada yang memprotes keputusan Rosie untuk menikah dengannya saat itu. Perasaan mereka begitu tulus. Tidak peduli jika Alan bukanlah pemimpin perusahaan atau putra seorang bangsawan. Yang penting dia bisa memperlakukan Rosie dengan baik.
Dengan semangat kerjanya yang tinggi, Dylan bahkan sudah merencanakan untuk mengangkat Alan ke posisi yang lebih tinggi. Namun, melihat reaksi Rosie saat ini, sepertinya dia harus membuat analisa baru.
“Terima kasih, Kak. Kamu yang terbaik!” Kedua sudut bibir Rosie terangkat sempurna sementara matanya semakin berkabut.
“Sudah, sudah! Hapus dulu air matamu.” Dylan melepas pelukannya dan menjauh, berpura-pura kesal. Namun, Rosie tahu jika Dylan sedang bersedih karena dirinya.
Suasana haru itu mendadak hilang ketika pintu perpustakaan tiba-tiba dibuka. Dua kakak beradik itu menoleh.
Kaila berdiri dengan senyuman manis di wajahnya. Tanpa rasa bersalah, dia berkata, “Maaf, aku tidak tahu kalau kamu sedang ada tamu.”
Hampir saja Dylan dan Rosie percaya jika saja mereka tidak melihat Mita berdiri di belakang Kaila dengan wajah penuh emosi.
Rosie tersenyum miring. “Tidak apa-apa. Masuklah, aku sedang berbincang dengan kakakku.”
“Apa benar aku tidak mengganggu kalian?” tanya Kaila sambil melangkah masuk dan duduk di depan keduanya.
Rosie masih mempertahankan senyumannya. Layaknya seorang madu tua yang perhatian, Rosie bertanya, “Tidak, tidak mengganggu sama sekali. Mau minum apa? Biar pelayan mengambilnya untukmu.”
Tidak lama kemudian, Mita sudah berdiri di depan mereka.
Kaila tersenyum lebar. Dia merasa sudah menjadi bagian dari rumah ini. “Aku mau imperial black tea dengan sedikit vanila dan satu kotak gula batu. Itu saja.”
Mita mengangguk. Dia pun berbalik, namun baru saja hendak melangkah, Kaila kembali memanggilnya. Dengan terpaksa, Mita menghentikan langkahnya.
“Oh iya! Jangan lupa untuk mengatur suhu air tepat di sembilan puluh derajat celsius agar aroma teh yang keluar bisa maksimal.
“Baik, Nona.” Mita menekan suaranya. Di balik wajahnya yang tersenyum, dia mengumpati Kaila tanpa henti sambil berbalik keluar.
“Aku belum pernah melihat seorang tamu yang bisa bebas meminta sesuatu dari tuan rumah. Atau mungkin, aku memang tidak pernah bergaul dengan tipe-tipe orang semacam itu.”
Saat kata-kata Dylan jatuh, Rosie hampir tidak bisa menahan tawanya. Untungnya, saat itu dia sedang mengangkat cangkir tehnya. Jadi, Kaila tidak bisa melihat jika dirinya sedang tertawa.
Kaila tersedak. Dia menatap Dylan dengan benci. Atas dasar apa pria ini mengkritik dirinya? Apa dia tidak tahu jika di masa depan dirinya akan menjadi nyonya di rumah ini? Lalu, apa masalahnya meminta sedikit teh? Dia bahkan bisa meminta semua isi lemari di dapur. Semua hal yang ada di rumah ini akan menjadi miliknya. Miliknya!!
Kaila tersenyum kaku. “Dan anda adalah….”
“Dia kakakku. Baru saja kembali dari luar negeri,” sahut Rosie sambil meletakkan cangkirnya. Diambilnya serbet di meja, lalu mengelap bibirnya dengan anggun.
“Ah, begitu rupanya. Maafkan saya tidak mengenali anda. Apakah Anda juga bekerja di perusahaan yang sama dengan Alan? Tapi, kenapa masih berada di sini dan bukannya pergi bekerja?”
Satu alis Dylan terangkat, tidak percaya dengan tingginya rasa percaya diri yang dimiliki oleh perempuan di depannya ini. “Rosie?”
Yang dipanggil berdehem. Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan status Kaila.