Langkah Rosie

1128 Words
Rosie mengunci dirinya di kamar dan tidak membiarkan siapapun mengganggunya. Dia menangis dan batuk, kemudian menangis lagi, dan terbatuk lagi. Begitu seterusnya hingga suara dan air matanya habis. Puas menangis, Rosie memilih mandi untuk menyegarkan badannya. Berdiri di depan wastafel, Rosie melihat pantulan dirinya. Jelek. Jelek sekali! Dia tampak begitu mengerikan. Tanpa sadar, dia melihat termos air hangat yang selalu tersedia di atas kabinet kamar mandi. Satu sudut bibirnya terangkat. Matanya menatap penuh ejekan. Di dalam air itu mengandung sesuatu yang membuatnya terus-terusan sakit. Dengan cepat, dia meraihnya dan membuang seluruh isinya di dalam wastafel. Emosinya kembali naik, dan tenggorokannya kembali gatal. Alhasil, dia terbatuk keras. "Uhuk!! Uhuk!!!" Dia menekan dadanya yang sakit. Wajahnya memerah dan air matanya menetes. Setelah reda, perlahan dia membuka matanya, menatap pantulan dirinya di cermin dengan tatapan yang berbeda. "Sabar, Rosie. Jangan terbawa emosi. Jika tidak, tubuhmu akan semaki kun rusak dan kamu tidak akan bisa melihat mereka merana," ucapnya pada dirinya sendiri. "Kuatkan dirimu! Tunjukkan pada mereka apa yang bisa kamu perbuat untuk membalas perbuatan mereka." Tatapan Rosie menjadi tajam dan dalam. Tidak ada kelembutan dan kerapuhan yang biasanya tampak. Ya, dia harus mengontrol emosinya. Sembuh adalah prioritas utamanya saat ini. Dia harus berhati-hati dengan semua air hangat yang disediakan untuknya dan makanan ringan serta menu makan yang disiapkan khusus untuknya. Tapi bagaimana caranya agar Hilda dan para pelayan tidak menyadari perubahannya? Lalu, bagaimana dengan suaminya dan rencananya untuk menikah lagi? Rosie memejamkan matanya sekali lagi untuk mengatur emosinya. Untuk saat ini, dia masih akan mengamati siapa saja yang berdiri di sampingnya. Setelah membersihkan diri, Rosie keluar dengan wajah yang lebih segar. Matanya yang merah sudah tidak ada lagi. Tidak ada wajah sembab. Hanya ada wajah bersih bersinar. Dia baru saja hendak mengeringkan rambut saat seorang pelayan mengetuk pintunya. "Nyonya, makan siang sudah siap. Nyonya Hilda menunggu di bawah." Itu adalah suara Mary, pelayan yang biasa membawakannya air hangat dan buah atau makanan ringan untuknya. Bisa dipastikan kalau dia adalah anak buah Hilda. Rosie meletakkan pengering rambutnya kembali, lalu menjawab, "Maaf, aku merasa tidak enak badan. Aku akan istirahat sebentar." Karena berbicara sedikit lebih keras, Rosie merasa tenggorokannya gatal. Diapun terbatuk dengan hebat. Untungnya, pelayan itu percaya. Diapun pamit dan pergi. "Uhuk!! Uhhuuukkkk!! Uhukk!" Karena tidak ada air hangat yang biasanya membantunya meringankan batuk, kali ini batuk itu terasa lebih kencang dan menyakitkan. Dadanya terasa lebih sesak dan bahkan saat bernafas pun saluran udara di tenggorokannya berbunyi. Rosie tidak bisa menahan rasa sedih. Air matanya jatuh dengan deras. Ini sungguh amat menyakitkan hingga Rosie merasa kematian sepertinya terasa lebih indah. Namun, dia tidak ingin Hilda dan semua pelayan yang telah mengkhianatinya menikmati hidup dengan mudah. Tidak! Rosie ingin sembuh dan mengejutkan mereka semua. Setelah batuk yang menyiksa lebih dari lima menit, akhirnya Rosie bisa bernafas kembali. Sambil memegangi dadanya yang sesak, Rosie mengambil nafas dalam-dalam untuk melatih paru-parunya. Suara mobil menjauh memasuki indera pendengarannya. Bisa dipastikan jika Hilda telah pergi. Langkah pertama adalah air dan obat. Rosie sangat memerlukannya. Dan karena tidak seorangpun di rumah ini yang bisa dia percaya, lebih baik Rosie membelinya sendiri. Diambilnya tas kecil berisi dompet dan ponsel, lalu diapun keluar. "Nyonya, anda mau ke mana? Bukankah anda sedang tidak sehat?" Mary mengernyit dan tampak tidak suka melihat Rosie hendak keluar. Orang ini! Apa dia tidak menyadari kedudukannya di rumah ini? Kenapa memasang wajah kaku seperti itu? Atau mungkin, selama ini Mary sudah bersikap tidak sopan tapi dirinya sendiri yang tidak menyadarinya. Senyum manis dan lembut ditampilkan Rosie, berusaha terlihat lembut seperti biasa. "Pembatas buku yang biasa aku pakai sudah habis dan sebagian besar hilang. Jadi, aku perlu membeli yang baru." Mary tersenyum lembut dan kedua sudut bibirnya terangkat tinggi. "Nyonya tidak perlu khawatir. Kebetulan waktu membersihkan kamar Anda, saya sempat melihatnya. Jadi, saya mengumpulkannya. Saya akan mengambilkannya. Mohon tunggu sebentar!" "Tidak perlu, Mary. Lagi pula, pembatas itu sudah lama. Modelnya sudah usang. Aku ingin mengganti dengan yang lain." "Maaf, Nyonya. Cuaca di luar sedang berangin. Tidak baik untuk kesehatan anda. Bagaimana kalau meminta seseorang pergi?" Rosie bisa melihat keteguhan pada tatapan Mary. Pelayan ini benar-benar! Dia melakukan apapun untuk mencegahnya keluar. Kenapa? Toh, dia hanya ingin membeli pembatas buku, bukannya kabur. Tapi setelah dipikir-pikir, Rosie memang tidak pernah diijinkan keluar selain untuk kontrol kesehatannya. Ya Tuhan, kenapa dia begitu bodoh tidak bisa melihat kenyataan sebesar ini? Hilda jelas-jelas menjadikannya tahanan rumah dan tidak akan mengijinkannya pergi. "Mary, tolong jaga sikapmu. Aku hanya pergi sebentar. Bukan ingin pergi tamasya atau bersenang-senang." Senyum di wajah Mary perlahan meredup. Dia melihat ada yang berbeda dari sosok Rosie. Kesadarannya kembali saat menyadari pintu ditutup. "Huft!" Mary mendengkus kasar. "Nyawa cuma tinggal seujung kuku saja sombong! Kalau mau pergi, pergi sana. Toh, umurmu tidak lama lagi. Hahahah!!" Mary menutup mulutnya, mencegah tawanya terdengar keras. Di dalam mobil, Rosie berpikir apa saja yang perlu dia dapatkan. Termos, banyak termos. Gelas, lebih banyak gelas. Lalu apa lagi ya? Ah, benar! Obat. Antibiotik dan vitamin. Rosie telah mencari di internet. Komposisi obat yang diberikan oleh dokter langganannya berseberangan. Alhasil, kondisinya tidak akan membaik dan bahkan terus memburuk. Setelah bertahun-tahun dibohongi, tentu saja Rosie belajar sesuatu. "Tolong turunkan aku di mall. Aku tiba-tiba ingin membeli kemeja untuk Alan." "Baik, Nyonya." Sopir mengangguk patuh. Lihat! Dengan satu kali menyebut nama Alan, dia langsung setuju. Jika itu dulu, sopir akan bersikeras tidak akan menurunkannya di mall. Tahu 'kan, dingin dan ramai. Mereka takut terjadi sesuatu padanya. Namun, setelah dipikir-pikir, dia bahkan tidak diijinkan pergi ke manapun dan hanya bisa menyuruh orang untuk membelinya. Dia baru sadar jika dikurung, dipenjara di rumah. Seolah sudah hafal isi mall, sopir menurunkan Rosie tepat di lantai yang menjual baju-baju. Sial! Kalau begini, bagaimana dia bisa membeli termos, gelas, dan obat baru? Tidak mungkin dia meminta sopir turun di tempat-tempat itu nanti. Namun, saat melangkah masuk, dan melihat keseluruhan area, dia melihat toko obat dan Informa. Refleks, Rosie tersenyum lebar. Tuhan memang menyayanginya! Tidak ingin membuat sopir menunggu terlalu lama, Rosie mengambil apa saja yang dia butuhkan. Setelah itu, dia berjalan keluar dengan santai. Sopir bergegas mendekat dan mengambil tas belanjaan Rosie yang hanya berjumlah dua buah itu, lalu memasukkannya ke dalam bagasi. "Apa sudah semua, Nyonya?" "Belum. Aku belum membeli pembatas buku. Kita pergi ke sana." "Baik." Sopir menjalankan mobil dan turun dua lantai. Tanpa diberitahu, Rosie tahu jika di lantai ini ada toko buku. "Kamu sepertinya sangat hafal isi mall," goda Rosie. Sopir yang sejak tadi memasang wajah datar itu tersenyum tipis. Wajahnya jadi lebih hangat. "Nyonya Hilda sering meminta saya menemaninya." Senyum Rosie berubah menjadi ejekan. Tentu saja! Mama mertua yang tampak menyayanginya itu tidak akan menyia-nyiakan gaji fantastis Alan yang didapat dari koneksinya. Ya, koneksinya karena suaminya itu bekerja di perusahaan keluarganya. Dan karena kakaknya begitu menyayanginya, Alan diberi gaji lebih dari cukup. Namun, apa yang dia dapat? Kematian!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD