CHAPTER 3

1319 Words
Play list : Everything I Wanted - Billie Eilish ... Elea mengetuk pintu kamar Maxime dua kali. Dia sudah berjanji untuk memilihkan pakaian yang akan dikenakannya malam ini. Meski hatinya bertolak belakang dengan pikirannya, tapi Eleanor tetap melakukan apa yang dimintai oleh Maxime. Dia tak mau mengecewakan pria itu. "Masuklah!" Suara Maxime terdengar di dalam sana. Elea menekan tuas pintu lalu mendorongnya ke dalam. Dia sedikit terkejut saat melihat Maxime yang berdiri di depan lemari dengan bertelanjang d**a. Punggungnya yang sedikit menonjolkan otot-otot itu terlihat. Eleanor menutup pintu lalu sedikit menundukkan pandangan karena dia malu. "Menurut mu aku harus pakai baju apa?" Tanyanya. Dia menyerahkan semuanya kepada Eleanor. Mata coklatnya melirik setiap gerak-gerik gadis itu dan Maxime mendapati adanya keterpaksaan dari cara Eleanor memilah baju-baju yang digantung di dalam lemari. "Kau sedang ada masalah, Elea?" "Apa? Tidak... A-Aku hanya sedikit pusing." "Pusing? Kau sakit?" Maxime menempelkan telapak tangannya di depan kening Eleanor secara spontan untuk mengecek suhu tubuh gadis itu. Elea sepertinya sedang demam, wajahnya terlihat pucat. Namun, Eleanor tiba-tiba gemetar. Posisinya terhimpit antara tubuh Maxime dan lemari. Dia meremas kemeja di tangannya sambil berupaya untuk bersikap biasa-biasa saja. Maxime menyadari kesalahannya. Dia lekas menjauh dan sedikit berdeham untuk menghilangkan kecanggungan tadi,"Maaf. Aku hanya spontan." "Ti-Tidak apa-apa, Kak. Uhm, jujur saja, aku tidak tahu pakaian apa yang harus Kakak pakai. Mungkin warna putih?" Maxime meraih kemeja pilihan Eleanor dan menaruhnya ke atas ranjang. Sebenarnya ini hanya akal-akalannya saja. Maxime meminta Eleanor untuk memilihkannya baju hanya karena ia ingin berbincang ringan dengan gadis itu. Dia merasa sedikit bersalah karena membiarkan Eleanor sendirian seharian ini. "Elea, kau tidak mau bertanya sesuatu padaku?" "Bertanya apa?" Maxime mengendikkan bahunya,"Entahlah... Mungkin tentang mengapa aku menjaga jarak denganmu?" Eleanor hanya menggeleng kecil,"Tadi Kak Maxie bilang kalau-" "Yang lainnya! Alasan lain, Elea," Potongnya. Eleanor hanya bisa menggeleng. Memangnya apalagi yang harus ia tanyakan? Semuanya sudah jelas, Maxime tidak ingin terlihat seperti kekasihnya. Itu bisa dikatakan kalau Maxime mungkin jijik padanya. Eleanor terlalu kaku dan pendiam, dia tidak cantik, mungkin itulah yang membuat Maxime malu apabila ada seseorang yang mengira mereka pacaran. "Maaf, bolehkah aku kembali ke kamar ku?" "Ya sudahlah, lebih baik kau istirahat." Eleanor mengangguk pelan lalu dia dengan segera melangkah keluar kamar. Eleanor rasanya ingin kembali menangis. Dia tidak dicintai, sahabatnya jijik padanya lalu kepada siapa Eleanor akan bersandar ketika dirinya sedang sedih seperti ini? Gadis itu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Dia pergi ke dapur untuk mengambil minum. Di sana Eleanor bertemu dengan Ethan, sepertinya lelaki itu sedang makan malam. "Selamat malam, Kak Ethan." "Hai, Elea. Kau sudah makan?" Dia menggeleng pelan. Ethan menatapnya dengan satu alis terangkat sebelum akhirnya dia meminta Eleanor untuk duduk di atas kursi di sebelahnya. "Kau sakit?" Tanya Ethan. Eleanor tidak menjawab, tapi tak menolak ketika pria itu menempelkan punggung tangannya di keningnya. "Astaga, suhu tubuhmu tinggi. Kau sudah minum obat?" "Aku hanya pusing, Kak." Ethan meminum air di dalam gelasnya sebelum menggenggam telapak tangan Eleanor yang dingin,"Aku tahu ini hari-hari yang berat buatmu. Tapi kau harus menjaga kesehatan mu, Eleanor. Kau itu adikku juga, jadi aku tidak ingin melihatmu sakit." Eleanor tertunduk. Dia menangis karena merasakan perhatian seorang Kakak sangatlah dia butuhkan. Dirinya bersyukur karena Ethan tetap bersikap lembut kepadanya meski mereka bukan saudara kandung. Ethan mendekatkan kursinya, dia lekas memeluk Eleanor sambil sesekali mengecup puncak kepala Elea seperti ketika dia mengecup kepala adik-adiknya. Bertepatan dengan itu, Maxime muncul di ruang makan. Dirinya kaget karena melihat Ethan tengah memeluk Eleanor sambil mencium puncak kepalanya. Tangannya terkepal kuat karena menahan rasa marah. Dia merasa tersisihkan karena tadi Eleanor terlihat menolak sentuhannya, tapi ketika Ethan yang memeluknya, gadis itu malah merasa nyaman. Tidak boleh. Elea hanya punyaku. Namun, kalimat itu hanya terucap di dalam hatinya. Maxime memundurkan langkahnya, dia pergi dari sana dengan suasana hati yang buruk. Bukan keinginannya untuk menjalin hubungan dengan Stacy, tapi Maxime hanya ingin menunjukkan kepada Elea kalau dia juga bisa memiliki kekasih lain. Anggap saja seperti ini, Maxime ingin membuat Eleanor cemburu. Eleanor melepas pelukan Ethan, dia berterima kasih kepada pria itu karena mau menganggapnya sebagai adik. Dia pun melangkah kembali ke dalam kamar karena ingin beristirahat. Eleanor tanpa sengaja melihat album foto lamanya yang terselip di bawah ranjang. Semua foto-foto itu adalah kenangannya bersama Maxime sejak mereka masih kecil. Ia tersenyum kecil lalu membukanya satu persatu. Ah, ada sebuah foto yang akan selalu ia kenang. Saat itu, mereka baru berumur lima tahun. Maxime menangis ketika difoto karena ia mematahkan mainan Elea tanpa sengaja. Kalau tidak salah, mereka sedang liburan ke Disneyland dan di sana Maxime menangis. Ia mengusap wajah lelaki yang dicintainya itu lalu tanpa sadar air matanya turun. Sudah sejak lama dia memendam rasa ini, tapi selalu tidak tersampaikan. Eleanor terlalu takut untuk mengatakannya kepada pria itu. Dia tidak mau merusak persahabatannya, tapi sekarang Maxime telah menjauhinya karena perempuan lain. Dia sakit hati, tapi tak bisa melakukan apapun untuk mengobati rasa sakit hatinya. Eleanor pikir selama 17 tahun tumbuh bersama, Maxime juga akan mencintainya. Namun, semua itu tidak terjadi. Hidupnya tidak sama seperti di dalam film di mana sepasang sahabat menjadi sepasang kekasih. "Semoga kau selalu bahagia, Kak Maxie." ... Hari sudah cukup malam ketika Maxime pulang ke rumah. Dia tidak melihat siapa pun di lantai bawah dan itu artinya orangtuanya sudah tidur. Dia sengaja membawa kunci cadangan karena Maxime tidak mungkin membangunkan kedua orangtuanya. Ia menutup pintu dengan sangat perlahan lalu bernapas lega saat dirinya sudah berada di rumah. Jujur saja, Stacy sangat membosankan. Perempuan itu berisik dan tidak tahu malu. Maxime benar-benar menyesal karena memutuskan untuk pergi kencan bersama wanita seperti Stacy. Namun, kenapa dia jadi primadona sekolah? Aneh sekali, padahal tidak ada yang menarik dari Stacy. Ia melangkah ke arah dapur terlebih dahulu, tapi di sana dia bertemu dengan Eleanor yang hendak kembali ke dalam kamar. "Kak? Kau baru pulang?" "Iya, kenapa?" Tanyanya dingin. Dia masih ingat kejadian sebelum dia pergi tadi, Eleanor memeluk Ethan dan tak menolak kecupannya. Eleanor menatapnya malu. Pipinya memerah karena tidak sengaja melihat ke arah kemeja Maxime yang sudah tidak rapi. Dia sangat tampan, tapi sinis. "Ti-Tidak apa-apa. Kalau begitu aku mau kembali ke kamar." Maxime menahan lengannya. Ia menatap Eleanor,"Kau baik-baik saja?" "Uhm, iya... Aku hanya sedikit demam." Maxime tak mengatakan apapun lagi. Dia melepas genggamannya sebelum meninggalkan Eleanor di depan pintu dapur. Eleanor melirik lengannya lalu gadis itu pun memutuskan untuk kembali ke kamar. Sebenarnya sedari tadi dia menunggu Maxime pulang. Eleanor tidak bisa tidur dan cemas karena lelaki itu belum terlihat, tapi dirinya tak bisa mengatakan yang sejujurnya. Hubungan mereka tidak lagi sama, tapi dia harap Maxime tetap mau menjadi temannya. Pagi Seperti biasa, aktivitas yang terjadi di dalam rumah tidak pernah berubah. Setelah selesai sarapan, anak-anak Stefan dan Alaina akan berangkat ke kampus atau sekolah mereka. Yang membuatnya berbeda adalah kini di dalam mobil ada perempuan lain yang duduk di kursi depan. Perempuan yang Eleanor ketahui sebagai kekasih baru Maxime. Elea duduk di kursi belakang tanpa mengatakan apapun. Telinganya terasa panas karena mendengar suara Stacy yang sedang merayu pria di sampingnya. Sebenarnya apa mau perempuan itu? Elea tahu kalau Stacy sengaja melakukannya demi membuat Eleanor menjauh. Demi Tuhan, Elea hanya butuh ketenangan. Dia tidak mau membuat masalah dengan siapa pun terutama Stacy. "Kak Maxie! Kalau dia masih ikut kita besok pagi, aku akan adukan sama Mama! Awas saja!" Eleanor menoleh ke arah Queenie yang dengan terang-terangan menyatakan ketidaksukaannya terhadap Stacy. Maxime yang mendengar hanya diam saja, sedangkan Stacy malah melotot menatap Queenie. "Ya sudah, kalau kau tidak mau melihat ku, kau pergi naik bus saja. Kau bukan gadis manja, kan?" Ledek Stacy. Queenie hendak membalas ledekan Stacy, tapi Elea menahan tangannya. Ia memberi kode bagi Queenie untuk tidak mencari masalah dengan Stacy. Eleanor tidak mau kalau nanti Stacy malah ikut mengganggu Queenie. "Stacy, jangan bicara kepada adikku seperti itu. Besok aku tidak menjemput mu, kau bisa pergi dengan kendaraan mu sendiri." Stacy mengangakan bibirnya begitu mendengar Maxime malah membela adiknya. "Well-well, Kak Stacy... Kau bukan gadis manja, kan?" Queenie puas karena berhasil membalas ledekan Stacy. Eleanor tersenyum pelan, dia melirik Maxime dari kaca spion dan ternyata lelaki itu juga sedang menatapnya balik. Elea pun segera memalingkan wajah. Ia tertunduk malu karena kedapatan sedang mengagumi Maxime diam-diam. TBC A/N : Halo Saya kembali lagi hehe. Silakan komen kalo kalian suka. Senin saya akan lanjut lagi ya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD