Semenjak kejadian pelukan dadakan yang diberikan Shaka beberapa waktu lalu Rania menjadi lebih menjaga jarak. Tak ingin sampai lengah hingga Shaka akan mencari kesempatan lagi. Kendati demikian Rania tetap melakukan pekerjaan rumah seperti biasa sambil menjaga Najwa yang lagi aktif-aktifnya.
Sore hari ketika Shaka tidak ada di rumah Rania pergi keluar bersama Najwa. Ia pergi ke ATM untuk mengecek saldo rekeningnya karena sebentar lagi Najwa akan masuk daycare pada tahun ajaran kali ini. Rania sudah menabung gajinya dari awal bekerja untuk masa depan Najwa kali ini.
"Alhamdulillah, uangnya sudah cukup buat Najwa sekolah nih. Yeay, sebentar lagi Najwa bakalan sekolah." Rania tersenyum sumringah mendapati tabungannya yang sudah lumayan banyak.
Tentu saja Rania hidup hemat selama ini, hanya membeli keperluan Najwa dan kebutuhan untuk makan. Ia tidak begitu mementingkan fashion karena menurutnya hal itu tidak terlalu penting. Selagi pakaian yang digunakan masih layak dan tertutup Rania tidak akan membeli.
Di umurnya yang masih 21 tahun Rania benar-benar sudah dipaksa kerja keras untuk bertahan hidup bersama Najwa. Dulu waktu usia Najwa masih 1 tahun Rania rela menjadi buruh cuci karena bisa dikerjakan di rumah agar bisa menjaga Najwa. Apa pun ia lakukan hingga akhirnya ditawari tetangganya untuk masuk yayasan saat usia Najwa 3 tahun. Ia pun menyanggupi dan menitipkan Najwa ke rumah temannya dengan imbalan uang yang cukup pantas.
Teman Rania tidak mempunyai anak padahal usia pernikahannya sudah 5 tahun. Mereka sama-sama anak ratau dari Jambi sehingga cukup dekat. Semua hal yang Rania jalani sudah diberitahukan termasuk pernikahannya yang mendadak.
“Habis ini kita pulang ya, Najwa minta lauk apa?" tanya Rania pada Najwa yang sejak tadi menatap ke sana kemari. Mungkin melihat lalu-lalang kendaraan yang begitu padat.
“Ayam krispi, Ma." Najwa menyahut cepat.
“Oke, kita beli ayam terus pulang ya."
Rania pun menyanggupi tanpa banyak protes, menunggu angkutan umum datang lalu keduanya pergi ke tempat yang dimaksud dan pulang.
Sore itu cukup cerah membuat Rania memandang ke arah langit yang indah. Tiba-tiba ada rindu yang menyelinap masuk melihat langit sore, mengingat kota kelahirannya yang sudah lama ia tinggalkan demi merubah nasib. Terkadang ada keinginan untuk kembali, tetapi Rania sudah tidak punya siapa pun selain Kakaknya.
“Ma, Papa ada?" Najwa tiba-tiba bertanya sambil menarik-narik jilbab yang dikenakan Rania.
Rania terdiam sesaat sebelum menjawab, Najwa sekarang memang kerap menanyakan tentang Shaka yang dianggap Papa oleh anak itu. Tetapi karena Shaka yang sangat sibuk membuat mereka jarang bertemu. Kadang Shaka hanya akan pulang pada pagi hari untuk tidur lalu akan pergi setelah bangun. Terus saja seperti itu sampai mengobrol dengannya pun tidak pernah.
"Ck, Mas Shaka memang menjengkelkan. Katanya mau ngajak bangun rumah tangga dia masih sibuk nggak jelas," cibir Rania dalam hati.
Rania bukannya tidak tahu jika Shaka masih melanjutkan hobinya untuk terus bermain wanita. Tak ingin peduli sebenarnya tetapi tetap saja ia kesal karena kini statusnya yang terikat dengan pria itu.
“Harusnya dia ajukan cerai aja," gerutu Rania.
“Ma, Mama." Najwa kembali menarik jilbab Rania karena tak kunjung mendapatkan jawaban.
“Papa kamu kerja, biar bisa beliin Najwa mainan banyak," sahut Rania cepat, sengaja berbohong pastinya agar Najwa tidak terus menanyakan Papanya.
Begitu sampai di Apartemen keduanya langsung masuk. Keadaan lampu masih mati yang menandakan belum ada tanda-tanda manusia masuk. Rania pun melangkah untuk menyalakan lampu, alangkah terkejutnya ia melihat seseorang yang asyik bertukar saliva di sofa ruang tengah. Terlihat si wanita sudah seperti cacing kepanasan tengah duduk di pangkuan si pria yang asyik meraba-raba tubuh si wanita.
“MALING!" Rania reflek berteriak keras sembari menyalakan lampu.
Kedua orang itu terkejut bukan kepalang mendengar suara teriakan Rania. Kondisi lampu yang menyala membuat semua terlihat jelas. Shaka bahkan langsung mendorong tubuh Erika dari atas pangkuannya lalu bangkit dan mendekat ke arah Rania.
“Maling? Mana malingnya?" tanyanya seperti orang bodoh.
Rania menatap Shaka dengan seksama, bekas lipstik ada di sekitar bibir dengan kancing kemeja yang terbuka. d**a pria itu memerah bekas cakaran tangan. Tak tahu kenapa hati Rania sesak melihatnya.
“Mau tahu mana malingnya? Wanita itu! Dia maling suami orang," tunjuk Rania pada Erika yang pakaiannya nyaris bugil itu.
Shaka mendesah pelan, bodohnya ia percaya begitu saja. “Nggak jelas kamu, Ran."
“Aku atau kalian yang nggak jelas, Mas?"
“Udah deh, aku lagi nggak mau berantem. Kamu siap-siap, hari ini kita mau pergi ke rumah Papa," titah Shaka terlihat sekali tengah badmood.
“Aku akan siap-siap kalau wanita itu keluar dari Apartemen. Mata aku sakit lihatnya." Rania balas memberikan perintah.
“Nggak usah macem-macem, pergi ke kamar kamu sana. Jam 6 harus siap," tukas Shaka dengan suara cukup beras, kedua netranya yang biasa menatap Rania biasa saja menjadi lebih tajam.
Rania menipiskan bibir, tanpa mengatakan apa pun ia berlalu begitu saja masuk ke kamar. Air matanya tumpah begitu saja dan Rania benci akan hal seperti ini. Himpitan sesak itu membuat Rania bersikap cukup kasar, ia meletakan Najwa di ranjang lalu membuka makanan untuk anak itu.
“Najwa bisa makan sendiri 'kan? Najwa makan, jangan jadi wanita cengeng kayak Mama," kata Rania dengan air mata yang terus berjatuhan.
"Suapin Mama." Najwa menggeleng sambil merengek.
“Makan sendiri, Najwa harus belajar mandiri supaya hidup nggak bergantung sama laki-laki. Makan sendiri Najwa!" bentak Rania.
Najwa masih menggeleng serta menatap Rania dengan sendu, anak itu tiba-tiba ikut menangis tersedu-sedu dengan suara yang cukup nyaring.
"Najwa kenapa nangis? Jangan nangis dong, Mama itu capek! Tolong ngertiin Mama."
“Mama, makan! Makan." Najwa terus merengek meminta makan tapi Rania tidak menghiraukannya, wanita itu justru melepaskan jilbab yang dikenakan lalu merebahkan tubuhnya di ranjang. Sengaja menutup telinganya agar tidak mendengar suara Najwa yang terus menangis.
Rania sendiri menangis meratapi nasib yang selalu menyudutkan dirinya. Disaat wanita seusianya masih enak-enak menata masa depan ia justru harus merawat anak kecil yang pastinya sangat menguras tenaga. Belum hujatan yang selalu ia terima setiap hari seolah itu makanannya, mencoba untuk tidak peduli namun mana mungkin bisa.
Kini ia justru diuji punya suami yang tak punya perasaan hingga terus memasukan wanita ke dalam rumah. Mental Rania seperti dihancurkan habis-habisan sekarang.
“Semua orang meminta aku mengerti, tapi tidak ada siapa pun yang mengerti aku. Aku capek, aku capek ..."
*
Shaka sempat melihat wajah murung Rania saat pergi sehingga segera mengusir Erika. Wanita itu menolak pastinya tetapi ia memaksa, dengan embel-embel transferan atau hadiah tas branded yang diinginkan. Entah kenapa hati Shaka tergerak untuk melihat ke kamar Rania, ia sedikit mengintip tetapi ia dibuat tertegun dengan pemandangan yang tejadi.
Dimana Rania sedang menangis di depan Najwa yang juga tengah menangis. Wanita itu kemudian merebahkan tubuhnya tanpa mempedulikan Najwa yang terus menjerit.
Bisa didengar oleh telinganya nada keputusasaan dari Rania. Suara yang biasa dikenal lembut itu seperti diliputi amarah serta ketidakberdayaan. Tanpa terasa hati Shaka ikut terenyuh, ditambah kini ia melihat Najwa yang akhirnya menyerah dan berhenti menangis. Anak kecil itu memilih makan sendiri dengan tangannya sambil terisak-isak.
Shaka tiba-tiba merasa iba, tidak seharusnya ia membiarkan Rania seperti itu dengan sikapnya yang semena-mena. Perlahan Shaka masuk ke dalam kamar membuat Najwa menoleh.
“Papa," panggil Najwa.
Shaka mengulum bibir, mendekat ke arah anak itu. “Lagi makan apa?"
“Ayam." Najwa menyahut sambil menunjuk ayam yang dipegang. “Mama yang beli."
Shaka mengangguk pelan, ia akhirnya duduk berjongkok mengusap sisa air mata Najwa yang membasahi pipi.
“Sini Papa suapin."
Najwa menggeleng. “No, kata Mama harus mandiri." Suara Najwa tidak terlalu jelas tapi Shaka masih mengerti.
“Nggak apa-apa, jangan ngadu ke Mama nanti," ucapnya membujuk. “Ayo makan di luar," ajaknya kemudian.
Najwa masih menatap Shaka sebelum akhirnya mengangguk. Membiarkan Shaka membantunya untuk makan di luar. Anak itu sudah merasa nyaman memang saat bersama Shaka, mungkin karena sejak kecil Najwa belum pernah bertemu dengan Papa kandungnya.
Diam-diam Shaka terus memperhatikan Najwa, anak itu sangat cantik tapi tidak mirip dengan Rania. Sikapnya pun sangat berhati-hati sekali seolah takut akan membuat Shaka tersinggung. Bisa dilihat Najwa akan mengambil satu nasi yang terjatuh di meja seolah benar-benar menjaga sikapnya.
“Najwa tadi habis dari mana sama Mama?" Shaka iseng bertanya.
“Ke ATM."
Shaka mengangkat alis, baru ingat juga jika ia belum memberikan uang bulanan kepada Rania sebagai hak karena telah menjadi istrinya.
“Najwa mau sekolah, Pa. Yeayy kata Mama harus pinter," beritahu Najwa tanpa diminta.
“Sekolah?"
Najwa mengangguk cepat-cepat sebagai jawaban.
Shaka malah baru tahu kalau Najwa akan sekolah. Rania juga tidak memberitahu karena mungkin menganggap hubungan keduanya belum layak disebut pasangan suami istri yang sesungguhnya. Padahal Shaka tidak keberatan jika Rania akan membicarakan perihal Najwa karena bagaimana pun juga Najwa sudah tanggungjawabnya bukan?
Ia hanya tidak suka jika Rania akan menuntut hubungan spesial dan mengekangnya. Ia benci akan hal itu. Cukup sekali ia menjadi b***k cinta lalu berakhir menyedihkan.
“Nanti sekolahnya Papa anter ya," kata Shaka kemudian.
“Papa mau nganter?" Mata bening itu menatap Shaka dengan seksama.
“Iya dong, Najwa bilang tuh sama Mama."
“Yeayyyy dianter Papa." Najwa melompat-lompat kegirangan, ia sampai naik ke atas kursi lalu tanpa diduga meraih leher Shaka serta memberikan kecupan manis di pipi pria itu. “Makasih Papa."
Shaka sempat kaget akan kecupan itu namun bibirnya otomatis membentuk senyum. Ia menyodorkan pipinya yang sebelah dan meminta ciuman lagi. Najwa pun menyanggupinya membuat senyum Shaka kian merekah. Tangan besar itu kemudian meraih Najwa ke gendongannya. Memandang wajah anak itu lekat-lekat.
“Najwa sayang Papa nggak?" Shaka iseng bertanya.
Najwa mengangguk cepat-cepat.
Shaka menyeringai, entah kenapa otak liciknya terlintas ide brilian. Sesaat kemudian ia mengusap rambut Najwa lembut dengan senyum manis di bibir.
“Anak ini sepertinya bisa aku manfaatkan."
Bersambung~