Bab 11. Ketulusan Shaka

1202 Words
Rania beberapa kali menarik napas panjang lalu dihembuskan perlahan. Dari raut wajah sudah menyiratkan kegugupan yang begitu kentara. Saat ini dirinya tengah berada di kamar mandi untuk menenangkan diri. Untuk apa? Pasalnya Betty—mama mertuanya itu meminta ia dan Najwa menginap di rumah utama. Rania ingin menolak tetapi Shaka justru langsung setuju, Rania jelas kalah karena pria itu sedang ada di kandangnya. Rania membuka pintu kamar mandi sedikit, melirik ke arah ranjang dimana Shaka tengah bermain dengan Najwa. Ah bukan bermain, tapi Shaka sedang mengajak Najwa untuk menonton film anak-anak pada telivisi besar yang ada di dalam kamar. Najwa sejak tadi sibuk menempel dengan Shaka membuat Rania bingung harus mengambil sikap bagaimana. “Aduh gimana ini, si b******k itu pasti akan mengambil kesempatan kalau aku tidur di sana,” monolog Rania benar-benar sangat khawatir. Rania tahu Shaka sangat berhak atas dirinya tetapi ia masih tak sudi jika harus menyerahkan diri dengan mutlak sebelum pria itu benar-benar berhenti dengan kebiasaan menjijikkannya. Meski jauh dalam lubuk hatinya juga tak ingin memiliki suami yang sudah pernah saling berbagi peluh bersama wanita lain sebelum menikah tapi semua itu sudah menjadi nasib dirinya. “Apa sebenarnya rencana si b******k itu?” Mata Rania menyipit saat melihat Shaka membisikkan sesuatu pada Najwa. “Masih mau terus berdiri di sana?” Teguran itu membuat Rania kaget, dari celah pintu ia melihat Shaka yang tersenyum ke arahnya. Rania buru-buru menutup pintu dengan cepat, bibirnya berdecak pelan sambil memegang kepala yang terasa pening. Sepertinya tidak ada jalan mundur lagi. “Come on Rania, kau masih sehat dan kuat. Jika pria itu macam-macam aku akan menendang juniornya biar nggak berfungsi sekalian,” ucap Rania menyemangati dirinya sendiri. Sejenak Rania memperhatikan penampilannya di cermin, wajahnya terlihat begitu pucat dan menyedihkan. Jilbab yang dikenakan sedikit miring dan lehernya juga cukup sakit. Kendati demikian Rania tidak mungkin melepaskan jilbab itu sekarang. Ia menghela napas panjang saat beban hidupnya seperti kembali bertumpuk pada pundak saat ini. “Sampai kapan semua ini akan berakhir?” * Bibir Shaka tertarik membentuk senyum tipis saat melihat Rania keluar dari kamar mandi. Wanita itu duduk di ranjang dengan sangat berhati-hati. Ia berpura-pura tidak melihat ke arah wanita itu, masih sibuk mengelus rambut Najwa yang masih nyaman dalam dekapan sembari menonton televisi. “Ehm, Najwa tidur yuk," ajak Rania merasa tidak ada obrolan yang bisa dibuka bersama Shaka. “Masih sore ini, Ran. Biarin aja dulu Najwa nonton," sahut Shaka tanpa diminta. “Nanti kebiasaan suka tidur larut. Ini udah jam 8, udah waktunya Najwa tidur," sergah Rania sewot. Shaka tersenyum santai, ia justru melirik ke arah Najwa yang masih terpaku dengan film di depannya. “Najwa diajakin tidur tuh sama Mama kamu, kayaknya sengaja biar Mama bisa berduaan sama Papa." Rania terperangah mendengar hal itu, bibirnya mendesis hendak memprotes namun Shaka justru mengedipkan mata menggoda. “Tidur, Pa?" Najwa akhirnya bersuara membuat Rania tidak jadi mengatakan apa pun. “Iya tidur, besok bangun pagi." Shaka mengangguk mengiyakan. Najwa menoleh ke arah Mamanya sebelum akhirnya mendekat dan duduk di pangkuan wanita itu. “Mama ayo tidur, kata Papa besok mau diajak jalan-jalan kalau malam ini pinter," ucap Najwa polos. “Pinter apa?" Rania mengernyit. Najwa menggeleng tak mengerti sambil menunjuk ke arah Shaka yang tersenyum manis. Mata Rania menyipit, benar kan? Sesuai dugaannya Shaka pasti mengajarkan hal yang tidak-tidak kepada Najwa. “Saya tahu Mas Shaka itu gila, tapi nggak usah bawa-bawa Najwa ya, Mas!" seru Rania memperingatkan. “Curiga lagi 'kan?" Shaka mendesah malas sambil memainkan mulutnya pertanda kesal. “Aku cuma nyuruh Najwa jadi pinter, apa salahnya?" ucap pria itu membela diri. “Saya lebih tahu apa yang ada di otak Mas. Mau usaha apa pun aku nggak bakalan berubah pikiran buat tertarik sama Mas Shaka selagi masih kayak gitu terus," gerutu Rania. “Kalau berhenti apa artinya kamu mau?" Rania memilih mengabaikan pertanyaan itu, malas juga harus terus mengulangi kata-kata yang sama. Ia yakin Shaka sangat paham akan maksud ucapannya selama ini. Merebahkan diri dengan memeluk Najwa di tengah agar pria itu tidak macam-macam. Ia juga sempat menyetel alarm agar besok tidak kesiangan. Shaka mengerutkan bibir karena pertanyaannya tidak dijawab. Meraih remote lalu mematikan televisi dan ikut merebahkan tubuhnya menghadap ke arah Rania. Wanita itu memejamkan mata rapat-rapat sambil mengelus punggung Najwa. Pandangan Najwa menyapu pada baju yang digunakan wanita itu. “Kamu mau tidur pakai baju gitu terus apa?” Telinga Rania mendengar jelas perkataan Shaka namun ia sengaja mengabaikan. Tidak penting juga pertanyaan yang Shaka sudah pasti tahu jawabannya. “Ya nggak apa-apa juga sih mau pakai baju gimana aja, itu hak kamu kok. Aku juga lebih suka lihat kamu kayak gini." Shaka masih terus menatap wajah Rania yang sangat polos itu. Masih sangat muda pastinya. “Umur kamu berapa, Ran?" Shaka iseng bertanya. “21." Rania akhirnya menjawab karena risih juga. “Muda banget." Shaka mengernyit, masih 10 tahun lebih muda darinya ternyata Rania. “Kamu nikah berarti belum genap 20 tahun dong? Wah ilegal itu, udah kebelet ya?” tudingnya. Kali ini Rania membuka matanya karena rasa jengkel tak terperi. Namun ia tetap tidak menjawab karena itu juga tidak penting. “Najwa masuk sekolah kapan, Ran?" Shaka tidak menyerah untuk bertanya, terlalu sore juga untuk tidur. Mungkin jika ia di Apartemen akan langsung pergi keluar, sekarang mana berani. Bisa benar-benar dicoret jadi ahli waris nanti. “Tahun ajaran ini." Shaka mengangguk pelan, ternyata benar Najwa ini bisa digunakan untuk pancingan. Perlahan Shaka mendekatkan tubuhnya merapat ke arah ibu dan anak itu. “Udah milih sekolah belum? Nanti aku temenin, ya." Suara Shaka lembut sekali, tanpa rasa canggung pria itu mengelus rambut Najwa. “Enggak—" “Aku juga punya temen, anaknya seumuran Najwa. Cewek juga, nanti biar Najwa ada temannya," beritahu Shaka. Rania semakin kebingungan dengan sikap Shaka ini, diam-diam ia melirik pria itu dengan seksama tapi hanya sesaat. “Najwa itu udah menjadi urusan aku, Mas Shaka nggak perlu—" “Kata siapa? Najwa sekarang juga tanggungjawab aku. Kamu nggak perlu lagi capek-capek mikir biaya, kasihan Najwa kalau kamu capek malah marah ke dia. Diam aja urus Najwa semua aku beresin," ujar Shaka enteng. “Kedengeran enak, tapi pasti nggak gratis 'kan?" desis Rania. “Kamu curiga banget sih, Ran sama aku? Emang nggak boleh ya aku peduli sama Najwa?" sergah Shaka menatap Rania nyalang, terlihat sekali pria itu tengah diliputi amarah. “Kalau kamu emang nggak suka sama aku terserah deh, yang penting jangan halangi aku buat peduli sama Najwa. Dia harus dapat pendidikan terbaik. Nggak usah ngomongin hak, kalian berdua udah menjadi hak aku setelah aku bersumpah di hadapan Tuhan waktu itu," ucap Shaka dengan suara tegas. “Kamu tidur, aku bakalan di sofa nanti kalau kamu nggak nyaman." Pria itu kemudian bangkit dengan membawa bantal, memilih merebahkan tubuhnya pada sofa. Sebelum Shaka benar-benar beranjak ia sempat melirik ke arah Rania berharap wanita itu akan menahan. Bangsatnya Rania hanya diam saja membuat Shaka segera berlalu. Brengsek! Rania hanya diam tanpa ekspresi namun diam-diam ada rasa bersalah menyelinap masuk ke dalam relung hatinya. Jika menyangkut Najwa sepertinya Shaka memang tulus. Beberapa pria yang bertemu dengannya pasti hanya memandang dirinya bukan Najwa. Sedangkan Shaka masih memikirkan masa depan Najwa juga. “Apa sekarang aku bisa percaya sama dia?” Bersambung~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD