Di sudut sebuah rumah sakit tua di jantung kota Istanbul, malam turun perlahan seperti selimut tipis yang menenangkan luka-luka dunia. Arafah, perempuan berhati lentera dengan berseragam putih kebanggaan, duduk bersandar di kursi jaga. Matanya menyimpan ribuan cerita dari ruang-ruang krisis serta lorong panjang yang penuh hiruk-pikuk. Jam menunjukkan pukul tiga dini hari—waktu yang sunyi bagi banyak jiwa, tapi tidak bagi para penjaga kehidupan. Malam itu, tubuh Arafah menyerah pelan-pelan. Kelopak matanya tertutup di antara derik jam dan suara alat medis yang berdetak seperti irama takdir. Tanpa dia sadari, dirinya hanyut dalam lelap, jatuh ke dunia di mana kenangan menjadi nyata dan waktu tak lagi mengikat. Dalam keheningan mimpinya, Arafah berdiri di hamparan ilalang yang melambai lem