3. Her Pregnancy

1467 Words
“Uuggh… haa… haus. Minum, a.. aku mau minum.” Suara lirih Elena menyadarkan Zack dan Eyang Bratajaya bahwa pasien yang tergolek lemah di brankar, sudah sadar. “Elen sayang, kamu sudah sadar? Alhamdulilah…” Bukannya segera mengambil minum, Zack malah menciumi kening Elena berkali-kali. “Cucuku haus, segera beri minum.” Suara bergetar penuh wibawa dari Eyang Bratajaya membuat Zack tergagap dan segera mengambil air minum. “Elena sayang, kamu sudah sadar? Ini eyang nak, kamu ingat kan?” Tanya eyang dengan sangat lembut. Eyang mengelus lembut pipi Elena dan menciuminya berkali-kali. Terucap syukur yang tiada henti dari bibirnya. “Eyang?” Sebuah kata bernada tanya, membuat eyang mendesah lega, walau tidak sepenuh hati. “Ini sayang, minumlah.” Zack juga menempatkan satu sedotan untuk mempermudah Elena minum. Mata indah Elena yang sayu, melihat ke arah Zack dengan kening berkerut. “Kamu… ?” “Aku Zack, suamimu. Sudah minumnya? Kalau sudah, cobalah istirahat lagi, eyang juga baru sampai sini, jadi beliau juga bisa istirahat.” Belum sempat Elena menyelesaikan pertanyaan, Zack sudah menyela. “Iya. Aku ngantuk, mau tidur dulu.” Usai menghilangkan dahaga, Elena memejamkan mata dan kembali tertidur. “Tidurlah sayang, kami di sini.” Jawab Zack lembut, selembut kecupan sayang di kening Elena. “Dia sudah tidur?” Tanya Eyang Bratajaya. Perempuan sepuh yang masih terlihat tangguh itu bertanya. Suara dan auranya mengintimidasi siapapun yang ada di dekatnya, termasuk Zack, cucu mantunya. “Sudah eyang.” “Kalau begitu, aku ingin dengar cerita lengkap kenapa cucuku satu-satunya bisa jadi seperti ini. Tidak ada yang dipotong sama sekali, ingat, kalau kamu bohong, aku akan membuangmu ke jalanan!” Tegas Eyang Bratajaya. Beliau tahu, cucu mantunya ini mempunyai andil pada kecelakaan yang dialami Elena. Mengalirlah cerita dari bibir Zack, versinya tentu saja. Eyang mendengarkan dengan seksama agar tidak ada yang terlewat sama sekali. Apakah Zack bercerita yang sebenarnya terjadi? Sebagian besar iya, bahwa Elena menyusulnya ke hotel di mana dia menjadi narasumber seminar, tapi kemudian Elena salah paham saat melihat Tatyana ada di kamar presidential suite, padahal Tatyana membantunya mengepak pakaian dan dokumen. Elena yang marah dan emosi, berlari keluar hotel di hari hujan dan tidak waspada hingga dia tertabrak truk dan berakhir di rumah sakit ini. Tentu saja ini cerita versi Zack kan? Eyang tidak mungkin bertanya pada Elena karena cucunya itu amnesia akibat tertabrak truk. Well, tiga hal itu memang benar adanya kan? Tapi tentu saja Zack tidak bercerita apa yang sedang dilakukan Tatyana dan satu gadis lagi di kamar itu. Jika dia nekat bercerita hal itu, bisa dipastikan esok hari dia tidak akan lagi bisa melihat matahari. Atau mungkin dalam beberapa jam saja di belakang namanya akan tersemat tiga huruf, alm. alias almarhum. “Begitu eyang ceritanya.” Pungkas Zack. Dia harus cari jalan agar tetap selamat dan masih bisa menghirup oksigen. Dia harus pandai mengatur kalimat agar tidak salah berucap. Eyang bukanlah orang bodoh, beliau sungguh sangat pintar dan tentu saja dengan segala kekayaan dan kuasa yang dimilikinya, sungguh sangat mudah bagi eyang jika ingin menghilangkan nyawanya! Ibaratnya hanya dengan jentikkan satu jari saja maka anak buah kepercayaan eyang akan melakukan semua perintah tanpa banyak bertanya. Eyang Bratajaya menyandarkan punggung tuanya, menatap tajam ke arah Zack. Coba menakar kejujuran lelaki muda ini. Dari wajah Zack, eyang tahu bahwa Zack berkata jujur, tapi tentu ada yang disembunyikan, entah apa. “Aku harap kamu berkata yang sebenarnya, karena jika tidak, maka kamu tahu akibatnya! Menyakiti seorang Bratajaya, mengkhianati seorang Bratajaya, taruhannya adalah nyawa. Semoga saja amnesia Elena segera sembuh, jadi kita bisa tahu cerita versi dia.” Tegas, tajam dan berwibawa. Membuat Zack harus menelan ludahnya kasar karena merasa takut. Sudah dua tahun lebih dia menjadi cucu mantu seorang Bratajaya, tapi sepertinya eyang masih tidak menyukainya, belum bisa menerimanya secara utuh. Dalam hal pekerjaan, dia berusaha sebaik mungkin bekerja memberi yang terbaik demi kemajuan perusahaan. Hanya saja, layaknya lelaki pada umumnya, dia silap dan malah main api dengan Tatyana, sekretaris pribadi yang juga teman Elena. Apakah Elena mempunyai kekurangan hingga dia main api? Tidak, Elena adalah perempuan sempurna, bahkan hampir tanpa cacat, hanya saja godaan Tatyana sungguh hebat! Ibarat kata, seekor kucing - walaupun kenyang karena selalu diberi makanan - lama kelamaan juga akan tergoda dengan ikan yang disajikan kan? Apalagi jika ikan itu sungguh menggoda. “Coba kamu panggil tim dokter yang menangani Elena. Aku ingin tahu kondisi cucuku.” Titah eyang. Zack mengangguk patuh, apalah dirinya dibanding pemilik The Bratajaya Corp. ini? Dia hanyalah butiran debu! Sekali tiupan, hilanglah dirinya. Tidak berapa lama, eyang dan Zack sudah bersama tiga orang tim dokter dan mereka mengobrol serius di sebuah ruangan yang disediakan khusus untuk pasien super duper VIP selevel Bratajaya. “Apa? Jadi Elena sebelumnya sedang hamil? Dan harus dilakukan kuretase lagi untuk ketiga kalinya?” Teriak eyang, geram! Beliau bahkan mengetuk tongkatnya ke lantai sangat keras, membuat Zack dan dokter-dokter itu berjengit kaget. “Iya ibu.” Jawab salah satu dokter, sepertinya ketua tim yang merawat Elena. “Benar itu Zack? Kenapa kamu tadi tidak cerita tentang ini hah?” Eyang menoleh ke arah Zack, berikan tatapan setajam laser yang bisa membakar. Beliau sungguh yakin tadi Zack tidak bercerita tentang kehamilan dan keguguran yang dialami oleh Elena. “Benar eyang. Maaf tadi saya terlupa, saya sungguh-sungguh lupa.” Zack menjawab dengan suara bergetar. Karena terlalu fokus untuk menyelamatkan diri, dia sampai lupa pada informasi tentang kehamilan tapi juga keguguran yang lagi-lagi dialami Elena. “Huuhh, padahal seharusnya sudah ada penerus Bratajaya. Lalu bagaimana kondisi cucuku sekarang? Bagaimana dengan amnesianya? Bisakah dia kembali mendapatkan memorinya?” Pertanyaan bertubi-tubi eyang membuat tim dokter saling berpandangan. “Butuh waktu dan perawatan intensif dari tim, tapi kami akan berusaha semampu kami untuk memberi yang terbaik bu. Secara fisik, Nona Elena sudah membaik, tapi secara mental, akan bisa diketahui setelah dilakukan beberapa tes. Tentu saja ini membutuhkan waktu, tidak bisa mendapatkan hasil secara instan. Tapi kami akan melaporkan perkembangan Nona Elena secara teratur.” “Bagus itu. Aku inginkan laporan harian perkembangan cucuku, secara detail, tidak ada yang disembunyikan.” Pungkas Eyang Bratajaya, beliau berdiri dibantu oleh asisten kepercayaannya, menghentak tongkat yang beliau bawa ke lantai dan meninggalkan ruangan. Usai eyang menutup pintu, semua yang ada di situ membuang nafas lega setelah sekian lama menahan rasa takut dan sungkan pada kewibawaan Eyang Bratajaya. Keempat orang ini berpandangan dan berikan senyum sumir, sebuah senyum singkat yang menandakan ketidaknyamanan berada di satu ruangan sama dengan Eyang Bratajaya. Serasa nafas tercekat di tenggorokan, bahkan tak mampu naik menjadi hembusan nafas. * “Kenapa aku di sini? Kenapa kepalaku sangat sakit? Aku kenapa?” Tanya Elena bertubi-tubi. Suaranya lemah, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri tapi dengan mata terpejam. “Sst… jangan banyak bergerak dulu. Tubuhmu masih sangat lemah, butuh banyak istirahat.” Sebuah suara lembut terdengar di telinga Elena. Elena menoleh ke arah kirinya, melihat lelaki yang mengaku sebagai suaminya kemarin, “kamu suamiku kan? Zack? Kamu pasti tahu apa yang terjadi padaku hingga aku bisa terkapar begini. Tolong beri tahu aku apa sebabnya." Pinta Elena. Iya, tentu saja aku tahu! Semua karena aku! Aku, Elen! Aku penyebab semua ini. Tentu saja hal itu hanya Zack ucapkan dalam hati! Melemparkan diri sendiri secara suka rela ke singa kelaparan namanya, jika dia lakukan itu! Yang dapat dia lakukan tentu saja berikan senyum terbaik. “Kamu kemarin kecelakaan dan terluka cukup parah hingga harus dilarikan ke rumah sakit ini. Tapi jangan khawatir, tim dokter akan berikan yang terbaik untukmu.” Bisik Zack lembut di telinga Elena. “Mana eyang yang kemarin? Kepalaku! Aaagrh sakiit! Kepalaku sakit sekali!” Elena berteriak, merasakan sakit yang luar biasa dia rasakan saat coba berpikir kenapa dia bisa mengalami kecelakaan separah ini. “Eyang di hotel sedang istirahat. Jangan memaksa berpikir dulu, sayang. Aku panggilkan dokter untuk berikan obat ya.” Zack menekan tombol dan dengan sigap, seorang dokter jaga sudah ada di ruangan itu dan berikan obat penenang untuk Elena yang terlihat sangat kesakitan. Dalam waktu relatif singkat, obat itu sudah berikan efek nyata pada Elena. Dia kembali tertidur! * “Mama… mama…” Elena menoleh kanan kiri, mencari sumber suara. Itu seperti suara seorang anak kecil yang kebingungan mencari ibunya. “Mama…” Kembali Elena mencari, dia berlari tak tentu arah. “Anakku… kamu di mana?” Teriak Elena. “Elena… bangun, kamu mimpi buruk ya? Bangun sayang.” Sebuah suara lembut terdengar mengusik telinga Elena. “Aaah anakku!” Elena membuka mata dengan tiba-tiba, kemudian memegang perutnya. Zack terkejut melihat ekspresi Elena yang berubah amat mendadak. Jika sebelum tidur, Elena berwajah sayu, tapi sekarang sungguh beda. Wajahnya ceria, senyumnya terkembang. “Aku hamil kan Zack? Bayiku gak papa kan di perutku ini?” Tanyanya antusias kepada Zack. Bola mata indahnya membuat Zack tidak tega untuk berbohong. Dia harus kembali membuat skenario untuk menenangkan Elena dengan segala konsekuensinya. Tapi tegakah dia?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD