Truth Or Dare

1629 Words
Kia dan Alan—orang tua Ina sedang berada di kamar rumah mereka. Alan sedang membaca buku di atas tempat tidur, sedangkan Kia menyandarkan kepalanya di bahu Alan seraya menonton berita yang menyiarkan kejadian mancanegara. Hari sudah larut malam. Ina sudah tidur sejak pukul tujuh malam tadi. Sebuah kecelakaan pesawat di Greenland membuatnya duduk tegak. Kia menepuk bahu Alan yang sedang membaca buku. “Kenapa, Kia?” Tanya Alan malas. “Kalau ada yang mau kamu beli, lebih baik jangan. Kencangkan ikat pinggang, Kia.” Alan menyerocos, membayangkan istrinya yang selalu lapar mata saat melihat barang bagus di televisi. Sudah dibeli, tidak dipakai. Katanya lebih baik menyesal sudah membeli daripada menyesal tidak membeli. Alan cemberut mengingat ucapan yang selalu Kia sebutkan itu. “Bukaaaannn.” Ucap Kia. Dia masih menepuk bahu Alan. “Apa?” Tanya Alan. Dia masih sibuk membaca buku yang diberikan Permana kemarin. Buku karangan Pramoedya Ananta Toer. Permana memberikan beberapa buku dari pengarang tersebut padanya dan dia menyukainya. Dia yang jarang membaca buku, menjadi ketagihan. Dia akan memaki Permana nanti setelah sahabatnya itu tiba ke Los Angeles setelah melakukan perjalanan ke Paris untuk berlibur. Permana sudah meracuni pikirannya dengan buku-buku bagus. “Pesawat itu,” Kia menunjuk televisi. “Kenapa pesawatnya? Mau beli? Tunggu aku seperti Permana dulu ya.” Katanya lalu terkekeh. Permana adalah anak tunggal dari orangtua yang kaya. Orang tuanya pemilik perusahaan sebuah telekomunikasi yang uangnya tidak akan habis tujuh turunan dan delapan tanjakan. Permana pulang ke Los Angeles untuk mengurusi pergantian CEO dari Ayahnya kepada Permana. “Bukan, Alan! Itu Permana kecelakaan!” Alan seketika menjatuhkan buku yang dibacanya. Matanya fokus pada layar televisi. Penyiar berita tersebut mengatakan bahwa pesawat kehilangan kendali dan jatuh. Sebagian badan pesawat hancur dan menyisakan bagian belakang ekornya. Diduga pesawat itu menungkik tajam sebelum membentur lapisan es Greenland. Alan dan Kia tidak bisa tidur malam itu. Mereka berusaha mencari informasi mengenai pesawat yang ditumpangi Permana beserta istri dan anaknya. Matahari sudah mulai menampakkan dirinya. Malu-malu mengintip dibalik awan putih. Pagi sudah mulai menjelang. Kia sedang menyeduh kopi untuk kesekian kalinya. Alan duduk di kursi makan. Di tangan kirinya terselip rokok. Kia sebenarnya benci melihat suaminya merokok namun dalam keadaan seperti ini, dia malah membiarkannya saja. “Sudah ada kabar dari Papinya Permana?” Tanya Kia. Dia memberikan satu cangkir kopi pada suaminya. Alan tidak menjawab. Dia kembali menelepon orang tuanya Permana. “Halo? Papi?” sapa Alan tidak sabar. “Pi, bagaimana Permana?” “Alan, doakan Permana dan Rani agar mereka diterima di sisi-Nya.” Jawaban itu membuat Alan terpaku. Permana dan Rani tidak selamat. Seketika dia teringat Langit. “Langit?” “Kritis dan kata dokter tidak ada harapan untuk hidup. Kumohon, maafkan segala kesalahan mereka, Alan.” Kia menangis. Dia teringat permintaan Rani padanya saat di bandara. Segera dia menuju kamar Ina seraya menangis. Dia melihat Ina masih tidur lelap. Perlahan dia menghampiri Ina lalu berjongkok di samping putrinya itu. Dia meraih pergelangan tangan Ina lalu secara lembut melepaskan gelang pemberian Langit. Ini adalah satu minggu setelah janjinya pada Rani dan dia baru sekarang menepatinya. “Maafkan Mama, Sayang. Ini permintaan Mama Rani. Mama harap setelah kamu bangun, kamu lupa pada Kakak Langit.” Setelah keluarga Permana pergi, Ina selalu menanyakan kenapa dia tidak pernah bertemu lagi dengan Langit. Dia ingin bermain dengan Langit. Kia hanya berkata bahwa Langit sedang jalan-jalan dan akan pulang secepatnya. Kia memasukkan gelang tersebut ke saku celananya lalu keluar dari kamar Ina. Dia akan menyimpan di tempat terbaik agar Ina tidak menemukan gelang tersebut. *** “Alaina! Truth or Dare?” “Truth!” Jawab wanita yang dipanggil Alaina yang disoraki oleh teman-teman kerjanya. Semuanya wanita berjumlah empat orang termasuk dirinya. Mereka sedang berada di klub malam. Merayakan ulang tahun kecil-kecilan yang diadakan salah satu teman kerjanya. “Selalu Truth dari tadi. Kenapa enggak mau Dare?” tanya temannya yang berambut ikal pendek sebahu, matanya sipit dengan bibir tipis bernama Jessica. Sahabat karib Alaina. Alaina bersidekap. “kalian nanti suruh aku yang aneh-aneh. Aku enggak mau Sandi marah.” Jawabnya lalu cemberut. Dia masih ingat tantangan Dare yang dilakukan teman-teman padanya saat acara ulang tahun salah satu teman kantor setahun lalu. Dia sebal ketika mengingat tantangan itu. “Halah kamu tuh, Na, masih ingat saja tantangan waktu itu.” Tawa Jessica. Alaina berdecak. “Jess, aku enggak akan lupa, ya, waktu kalian suruh aku buka baju. Gila kalian!” Dia sebal saat mengingat itu. Untung saja dia masih menggunakan kaus dalam. Jika tidak, hancur sudah reputasinya. Dengan kesal, Alaina meraih gelas minumannya lalu meneguknya, sejurus kemudian dia mengernyit, “minuman apa ini? Rasanya aneh.” “Wine.” Sahut salah satu temannya yang lain. Wanita dikuncir kuda dengan kawat gigi bernama Kaila. Alaina mengernyit kembali minum perlahan. Tidak buruk, batinnya. Karena gengsi, dia meletakkan kembali minuman itu di meja. “Alaina, Truth or Dare?” tanya Jessica lagi. Alaina berdecak. “Truth!” katanya sebal. Orang yang ada dilingkaran meja itu menghela nafas berbarengan. Mereka harus memikirkan caranya bagaimana agar Alaina mau Dare malam itu. “Oke,” wanita berambut panjang sebahu dicat warna cokelat muda yang bernama Michelle menatap Alaina yang minum Wine lagi. “Sandi hebat enggak di ranjang?” Ucapan itu membuat Alaina tersedak wine. Dia terbatuk-batuk hingga menitikkan air mata. “Sialan kalian.” Maki Alaina. Dia mengelus dadanya yang sakit. Matanya melotot menatap temannya yang menatap Alaina tanpa bersalah. “Itu urusan dapurku. Kalian jangan tanya-tanya.” Mereka yang ada dalam lingkaran itu tertawa terbahak. “Katanya mau Truth, ya sudah kamu harus jawab jujur, Alaina. Ayo, Sandi hebat enggak di ranjang?” tanya Jessica penasaran. Seketika pikirannya tertuju pada Sandi. Pacarnya yang begitu posesif padanya. Pacarnya yang begitu cemburu jika dia berjalan dengan seorang pria manapun kecuali Ayahnya. Tetapi Sandi juga manis memperlakukannya. Alaina menggigit bibirnya. Aksinya itu membuat temannya disitu tertawa lagi. “Pasti lagi mikir jorok dia.” Seloroh Kaila. Alaina memukul bahu Kaila. “Sialan kalian.” Jessica yang duduk di sampingnya menyenggolnya. “Jadi? Sandi hebat ‘kan di ranjang? Muka kamu enggak bisa berdusta.” Alaina ingin sekali masuk ke dalam tanah dan tidak keluar lagi. Dia tidak menyangka temannya akan menanyakan hal itu. Dia pikir temannya akan bertanya hal lain. Misalnya apakah dia pernah makan belalang goreng? Atau makan ulat pohon goreng? Itu lebih mudah dia jawab. Alaina berdecak. “Ganti, aku mau Dare.” Katanya tidak sabar. Dia tidak ingin urusan ranjang di bawa-bawa dalam permainan. Dia tidak suka itu. Teman-temannya bersorak. “Akhirnya!” kata mereka serempak yang membuat Alaina cemberut. “Kalian mau suruh aku apa?” kata Alaina masih sebal. “Aku yang tantang kamu karena aku yang ulang tahun.” Ucap Michelle. Temannya itu menggosokkan kedua tangannya. Michelle menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Cari mangsa, batin Alaina. Dia ingin menarik kata-katanya tadi. Dia akan menjawab Truth saja tetapi dia sudah mengatakan Dare. Dia gengsi. “Nah!” seru Michelle. Dia menunjuk seorang pria yang duduk di kursi VIP. Pria itu sendirian membelakanginya dan sedang memerhatikan ponselnya. Memiliki postur tubuh tegap berisi. Memakai setelan jas kerja. Sepertinya baru pulang kerja, sama seperti dirinya dan teman-temannya. Alarm di kepala Alaina menyala. Apa yang mau disuruh temannya itu? “Cium pria itu.” “APAA?!” Alaina kaget. Tantangan macam apa itu? dia tidak pernah melihat temannya ditantang yang aneh-aneh sebelumnya. Teman-temannya yang mendengar itu bertepuk tangan riuh. Mereka serentak berdiri lalu mengerubungi Alaina. “Wei! Yang ulang tahun siapa, yang dipaksa siapa!” Alaina protes. Temannya tidak mendengar protes Alaina. Jessica dengan semangat menutup mata Alaina dengan sapu tangan yang membuat Alaina protes hendak membuka ikatan itu. “Jangan, Na!” serempak temannya protes. Alaina di paksa berdiri. Tubuhnya diputar beberapa kali hingga dia mulai pusing. Tubuhnya bergoyang-goyang. Dia merasakan kakinya gemetar karena pusing di kepala. “Kamu jalan saja lurus.” Kata Kaila berbisik di telinganya. Terdengar suara kikikan senang teman-teman kerjanya yang lain. “Nanti kakimu bentur kursi, nah pria itu ada di kursi itu lagi duduk.” tambah Kaila. Alaina panik. “Aku bilang apa?” pikirannya kosong. Dia tidak tahu harus mengatakan apa pada pria itu. “Bilang saja seperti ini; aku mau cium kamu. Begitu. Beres.” Kali ini Michelle memberikan ide lalu kikikan senang membahana di meja tersebut. Alaina menghentakkkan kakinya. “Mana bisa begitu. Tiba-tiba datang terus bilang mau ciuman. Ah, sialan kalian ini. Harusnya yang ulang tahun. Kenapa aku yang kena?” “Sudah,” decak Michelle. “Dalam peraturan kita, yang ulang tahun yang berkuasa. Jadi aku bisa meminta apa saja pada kalian.” Alaina mengacungkan jari tengahnya pada siapapun yang ada di hadapannya. “Awas ya kalau aku ulang tahun, aku balas dendam. Kusuruh kalian berenang di selokan.” Makinya yang malah ditertawai teman-temannya. Alaina adalah orang menyenangkan. Mudah bergaul dengan siapapun. Itulah mengapa dia mempunyai banyak teman. Alaina memang marah, namun mereka tahu bahwa marah Alaina tidak akan lama menurut mereka. Alaina menghela nafas. Dia merentangkan tangannya ke depan. “Ah, sialan kalian.” Maki Alaina lagi. “Lurus, Na.” Teriak Jessica. Alaina menurut. Dia berjalan lurus. Dia tidak tahu tatapan aneh pengunjung klub malam yang mulai berdatangan. Dia menyenggol beberapa orang yang sedang melewatinya. Hal itu membuatnya kesal. Ingin sekali dia mengintip dari celah sapu tangan tetapi dia tidak berani. “Awas saya mau lewat!” teriak Alaina saat dia menabrak seseorang. “Minggir!” teriak Alaina. “Lurus, Na, masih jauh.” Michelle memberikan instruksi yang membuat Alaina geram. “Berapa meter lagi?!” Alaina tidak sabar. “Sedikit lagi, Na!” Kaila menjawab. Alaina mempercepat langkahnya. Dia tidak memedulikan temannya yang masih berteriak memberikan instruksi. Dia harus menuntaskan permainan ini lalu dia pulang dan bersembunyi dibalik selimut dan tidak ingin keluar lagi selama beberapa hari kedepan. Benar-benar permainan yang memalukan baginya. Kakinya membentur sesuatu kemudian dia meraba. Sebuah kancing baju lalu tangannya bergerak ke atas, sebuah dasi, batin Alaina. Alisnya berkerut, tadi sebelum matanya ditutup sapu tangan, dia melihat pria sedang duduk memunggunginya. Saat ini yang ada di hadapannya mengapa berdiri? “Mau apa kamu?” suara berat pria itu menghentakkan lamunannya. Suaranya begitu dekat di telinganya. Aroma parfum mahal masuk ke hidungnya. Parfum yang sangat maskulin, batin Alaina. “Kamu mau apa …. Alaina?” alis Alaina berkerut mendengar namanya disebut. “Kamu tahu namaku?” Alaina takut jika pria dihadapannya adalah salah satu rekan kerjanya. Bisa mati berdiri dia jika mencium rekan kerjanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD