Shadha menarik nafas untuk menenangkan perasaanya. Dia harus santai, wajahnya harus tersenyum. Dia tidak boleh menampilkan wajah garang pada Kakaknya. Shadha naik ke lantai atas setelah beberapa menit menenangkan diri. Rasanya ingin sekali dia memukul Zanet saat ini juga dan memberikan pelajaran pada pria itu. Tapi, sayangnya hal itu tidak akan bisa di lakukan olehnya seorang diri. Bisa-bisa Zanet mengadu pada keluarganya tentang apa yang di lakukan olehnya. Shadha sudah berada di atas tangga, dia berhenti melihat bahu mungil Kakaknya bergetar. Shadha tahu bagaimana rasanya menjadi Shafa, seharusnya orang tuanya berpikir dua kali untuk menikahkan Shafa dengan Zanet hanya gara-gara mereka dulunya sahabat. Shadha akui Zanet bukan pria baik, pria itu memiliki begitu banyak catatan hitam dalam hidupnya. Sebenarnya Shadha ingin mengungkap jati diri Zanet sebelum perjodohan ini di mulai. Jika kejadiannya seperti ini lebih baik saat itu Shadha beberkan saja kelakuan Zanet.
Shadha kembali melanjutkan langkahnya. Dia mendekat lalu duduk di samping Shafa. Shafa yang merasakan pergerakan seseorang di sampingnya, membuka telapak tangannya. Shadha tersenyum, meraih tangan Kakaknya dan menggenggamnya.
"Sha?"
"Semuanya baik-baik aja, Mbak." Shafa menggeleng dengan air mata membahasi kedua pipinya.
"M-mbak ...." Shafa tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Dia kembali menarik menarik tangannya dari genggaman Shadha. Shafa kembali menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Shadha mengusap punggung Shafa. Dia ingin melihat apakah wanita itu pergi dari kehidupan Zanet atau masih bertahan? Jika wanita itu memilih bertahan Shadha tidak akan main-main akan ancaman yang sudah dia lontarkan. Dimana harga diri wanita itu? Bagaimana bisa wanita itu berlaku murahan pada suami orang? Apakah dia tidak berpikir ke depannya bagaimana? Shadha menghela nafas.
"Sudah Mbak, jangan nangis lagi Sha yakin semuanya akan baik-baik aja." Shafa membuka telapak tangan yang menutupi wajahnya.
"D-dia mau apa nemuin kamu?"
"Mbak janji jangan nangis kalau aku cerita ini?" Shafa menarik nafas, dia mengusap air mata yang mengalir di kedua pipinya.
"Iya, Mbak janji." Shadha meraih tangan Shafa lalu menggenggam nya kuat.
"Wanita itu minta izin buat menikah sama Mas Zanet." Mata Shafa seketika membulat. Air mata yang tadi sempat kering seketika kembali mengalir. Tatapan matanya kosong membuat Shadha meremas tangan Shafa semakin kuat.
"Mbak, lebih baik masalah ini di bicarakan sama Ayah dan Bunda. Mbak nggak mungkin diem aja di saat suami Mbak mau melakukan poligami, memangnya Mbak ikhlas kalau suami Mbak di bagi?" Shadha mengatakannya karena memang itu adanya.
Shadha hanya ingin Shafa membereskan semuanya dengan Orang tua mereka. Setidaknya Shafa mendapatkan pendapat dari Orang tua mereka. Baik buruknya biar nanti mencari jalan bersama. Shadha tidak tahu sama sekali jika ada masalah harus mengadu pada siapa karena selama ini hanya Haidar tempatnya mengadu. Shadha bukan wanita yang gampang mencurahkan isi hatinya pada orang lain, dia lebih banyak memendamnya seorang diri. Shadha menatap Shafa yang masih menangis, dia hanya bisa meremas tangan Shafa mencoba menguatkan wanita itu. Memang berat rasanya mendengar masalah seperti ini. Bagaimana pun Shafa dan Zanet menikah akibat perjodohan kedua orang tua. Mereka bahkan tidak mengenal satu sama lain, jika pun mereka bertemu itu pun bersama kedua keluarga.
Shadha merasa kasihan pada Shafa namun bagaimana lagi? Dia hanya bisa membantunya seperti ini tidak lebih. Jika memang wanita itu masih keukeuh dengan keinginan nya, Shadha akan bertindak lebih lanjut pada kedua nya. Urusan dia ketahuan atau tidak biar nanti saja di bicarakan. Deringan ponsel membuat Shadha menoleh ke arah atas meja. Ponsel Shafa berdering menampilkan sebuah nama Zanet. Shadha menatap ke arah Shafa yang masih terdiam dengan pandangan kosong. Shadha mengulurkan tangannya untuk meraih ponsel Shafa menatap benda kotak itu dengan lama hingga deringan itu tidak terdengar. Namun tidak lama kembali nama Zanet muncul lagi. Shadha mendesis kesal, ingin sekali dia menerima telepon Zanet lalu memaki pria itu tapi dia masih waras untuk tidak terlalu banyak ikut campur masalah rumah tangga Shafa dan Zanet selagi tidak menyakiti Shafa.
"Mbak ada telepon dari Mas Zanet?" Shadha menggoyangkan tangan Shafa.
Shafa menoleh ke arah Shadha lalu menatap ke arah ponsel yang ada di tangan adiknya. Matanya menatap ponsel itu dengan lama lalu meraihnya dengan tangan bergetar. Deringan berhenti lalu kembali terdengar, Shadha menghela nafas.
"Mbak?" Shadha menggoyangkan lengan Shafa.
"M-mbak nggak bisa." Shafa memberikan ponselnya pada Shadha lalu bangkit berdiri pergi berlari ke arah kamarnya dulu.
Shafa kembali menghela nafas. Dia memandang ponsel yang ada di tangannya yang terus bedering. Mau tidak mau dia harus menerima panggilan dari Zanet. Shadha menggeser tombol hijau lalu menempelkan pada telinganya. Belum dia mengatakan hallo Zanet sudah membentaknya dengan kata-kata kasar.
"Shafa apa yang kamu katakan pada Mia? Kenapa Mia tidak mengangkat telepon dari saya setelah dia meminta izin bertemu dengan kamu? Mia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Saya sudah katakan pada kamu, bahwa saya tidak akan pernah bisa mencintai kamu. Jangan berharap terlalu besar pada pernikahan ini, karena sampai kapan pun saya tidak akan pernah sudi mengakui kamu, sebelum kamu melepas cadar dan hijab kamu itu." Shadha tertegun mendengar ucapan yang di katakan Zanet.
Zanet meminta Shafa membuka kerudung dan cadarnya? Apa pria ini gila? Sial! Seumur-umur dia kenal dengan banyak pria tidak pernah ada satu pun yang mengatakan hal sehina ini. Baru kali ini Shadha mendengar secara langsung ada pria semacam Zanet. Dia menggelengkan kepala. Haidar menentangnya keras saat tahu jika Shadha melepas hijabnya, Haidar menentang keras saat Shadha akan mengukir tato di tubuhnya, Haidar menantang keras Shadha memakai pakaian yang mencetak tubuhnya, bahkan Haidar menuntutnya untuk memakai pakaian yang tertutup. Lalu pria macam apa ini? Harusnya Zanet bersyukur karena Shafa tidak mengumbar kecantikan nya pada orang lain. Harusnya Zanet bersyukur mendapatkan Shafa. Ibarat kata yang mendapatkan Shafa itu seperti mendapatkan durian runtuh.
Shadha menarik nafas sebelum membalas perkataan Abang Iparnya. Dia mengontrol emosinya untuk tidak memaki pria ini dengan cara yang sama. "Assalamualaikum Mas Zanet."
Zanet di ujung telepon sana yang sedang terbakar amarah seketika terdiam. Suara lembut ini Zanet mengetahui nya.
"Wa-waalaikumsalam."
"Mas Zanet tahu dengan siapa sedang berbicara?"
"Yeah." Zanet memang mengakui dia merasa sungkan dengan tatapan Shadha padanya waktu pertama kali bertemu.
Zanet sudah banyak bertemu dengan wanita di luaran sana. Namun baru kali ini dia mendapatkan seorang wanita cantik shalehah yang begitu Misterius. Tatapan Shadha memang terlihat lembut namun ada ketegasan di dalamnya. Ucapannya pun begitu halus namun terkadang kata-kata pedas sering keluar dari mulutnya. Shafa dan Shadha sebenarnya memiliki sifat dan sikap hampir sama, namun tatapan mata itu Shadha lebih tajam di banding Shafa yang meneduhkan.
"Ada perempuan datang ke rumah beberapa menit yang lalu. Dia mengaku sedang menjalin kasih dengan Mas Zanet, apa benar?" Zanet merasa gugup namun dia berdehem untuk mengurangi rasa gugupnya.
"Yeah, dia wanita yang saya cintai."
"Bagus kalau begitu." Zanet mengerutkan kening tidak paham dengan perkataan Shadha. Kenapa Shadha tidak marah? Jawaban darinya begitu tenang tidak terlihat seperti sedang menahan marah.
Shadha membenarkan duduknya, dia menopang kakinya di kakinya yang sebelah. Matanya menatap ke arah pintu kamar Shafa yang tertutup rapat.
"Saya mau tanya Mas, kelebihan wanita itu buat Mas apa?" Zanet semakin tidak mengerti namun dia akan menjawabnya.
"Dia cantik, lulusan luar negri, berprestasi, dan yang paling penting dia bisa memuaskan saya." Shadha menarik sebelah sudut bibirnya.
"Berarti kalian pantas untuk bersama." Zanet semakin tidak paham arah pembicaraan Shadha.
"Maksud kamu apa Shadha?"
"Saya tidak akan pernah ikut campur dalam urusan rumah tangga kalian, jika Mbak Shafa tidak menangis pulang ke rumah. Saya juga tidak akan pernah mau angkat bicara, jika tidak ada wanita yang datang pada Mbak Shafa meminta izin untuk menikah dengan suaminya. Jujur saya kecewa dengan Mas tapi saya juga lega." Shadha menjeda ucapannya, lalu kembali melanjutkannya, "Sekarang saya tanya sama Mas, Mas akan memilih wanita yang Mas cintai atau Mbak Shafa?"
"Kenapa kamu tanya seperti itu? Bukankah sudah jelas jika saya akan memilih wanita yang saya cintai."
"Apa Mas yakin?"
"Saya yakin." Shadha menghela nafas.
"Jika itu keputusan Mas, kejarlah wanita yang Mas cintai itu, mungkin dia sekarang sedang berkemas. Kejarlah wanita yang menurut Mas bisa membahagiakan, bukankah cinta memang harus di perjuangkan?" Zanet tertegun mendengar Shadha yang seakan mendukungnya.
"L-lalu bagaimana dengan orang tua kami?"
"Kenapa Mas bertanya pada saya? Bukankah permasalahan ini ada pada Mas?" Zanet tidak menjawab.
"Jika memang Mas sudah bertekad untuk mengejar wanita yang Mas cintai saya turut bahagia mendengarnya tapi ...." Shadha kembali menjeda kalimatnya.
"Tapi apa?"
"Beribu tetes air mata Mbak Shafa keluarkan hanya demi laki-laki seperti Mas, akan saya ganti dengan beribu kepedihan yang Mas terima."
"Kamu mengancam saya?" Zanet mengepalkan tangannya.
"Saya tidak mengancam, saya hanya mengatakan yang memang perlu saya katakan. Mas akan merasakan apa yang Mbak Shafa rasakan sekarang, dua kali lipat dari rasa sakit yang di terima Mbak Shafa."
"Memangnya saya takut dengan ancaman anak kecil seperti kamu, hah?" Geram Zanet.
"Terserah, saya hanya memberikan pilihan kepada Mas dan wanita yang Mas cintai. Mas Zanet tahu kan Mbak Shafa tidak akan pernah mengatakan apapun sesakit yang dia terima tapi Mas Zanet jangan lupakan saya. Saya akan melakukan apapun demi kebahagiaan Kakak saya termasuk menghancurkan semua impian Mas Zanet. Jangan lupakan apa yang pernah terjadi di masa lalu Mas. Saya cuman ingin mengingatkan, sebelum semuanya terlambat, kembali lah Mas pada jalan Tuhan. Mas masih memiliki banyak waktu untuk bertaubat, Mas masih memiliki banyak waktu untuk merubah diri, jika Mas hidup seperti ini terus menerus, saya sangat menyayangkannya."
Shadha tersenyum, "Yang perlu Mas ketahui, Mas laki-laki paling beruntung karena bisa bersanding dengan Mbak Shafa. Pikirkan lah Mas, sebelum penyesalan datang di akhir."
Tidak ada jawaban dari Zanet setelah Shadha mengatakan itu. Hanya ada kebisuan di antara keduanya. Shadha menarik nafas lalu menghembuskan nya perlahan. "Kalau begitu saya tutup telepon nya Mas, assalamualaikum."
Tanpa mendengar jawaban Zanet, Shadha menutup teleponnya. Dia menyadarkan tubuhnya, memejamkan matanya untuk menarik nafas. Biarlah, ini demi kebaikan keluarga kecil Kakaknya. Shadha tahu kesalahannya karena sudah ikut campur dalam urusan rumah tangga orang lain tapi jika dia tidak mengatakannya dia tidak mau keluarga kecil Kakaknya hancur begitu saja. Padahal baru beberapa menit yang lalu dia tidak akan ikut campur namun mendengar pengakuan dari Zanet secara langsung, membuat Shadha hilang kendali.
Sedangkan di sisi lain Zanet termenung mendengar ucapan adik iparnya. Dia memandang ke arah depan dengan pandangan menerawang jauh. Perkataan Shadha begitu menusuk hatinya yang paling dalam. Begitu menyakitkan dan membuat hatinya seketika sesak di ingatkan dengan masa lalunya. Zanet menundukkan kepalanya, dia terdiam diri sepanjang hari di ruangannya tanpa melakukan apapun.