Let's Love 2

2647 Words
"Sha?" "Iya, Mbak. Kenapa?" Shafa mendekat ke arah adik bungsunya, dia ingin bercerita pada adiknya. Sungguh rasanya sudah tidak mampu lagi memendam semua keluh kesahnya. "Mbak pengen cerita sama kamu." "Cerita apa Mbak?" "Tentang Mas Zanet." Kening Shadha mengerut. Zanet? Bukannya itu suami dari Shafa. "Ada apa sama Mas Zanet?" "Kamu janji jangan bilang sama Bunda dulu yah, biar nanti kalau waktunya tepat Mbak yang bilang." Perasaan Shadha tidak enak. Pasti terjadi sesuatu sama rumah tangga mereka bisik hatinya. Wajah Shafa yang cantik seketika terlihat murung. Di rumah memang wanita itu melepaskan cadarnya. Namun saat keluar rumah dia akan kembali memakainya. Shadha sekarang tahu kenapa wajahnya tidak seperti Shafa karena mereka memang beda. Shafa lebih banyak memiliki wajah Asia di banding dia yang campuran. "Mas Zanet selingkuh, Sha." Mata Shadha melotot. "Astagfirullah, Mbak seriusan?" Shafa mengangguk. "Gimana ceritanya, Mbak? Selama ini Sha liat, Mas Zanet nggak pernah keliatan kaya tukang selingkuh?" "Mas Zanet berselingkuh dengan Mantannya dulu." "Maksudnya Mbak, Mas Zanet kembali lagi sama kekasihnya yang dulu-dulu?" Kembali Shafa mengangguk. Shadha bisa melihat wajah Shafa yang pucat. Dia meringis pelan, bagaimana hati Shafa sekarang? Pasti dia hancur luar biasa. Shadha mengingat perbincangannya dengan Haidar jika pria itu akan menikah. Lihat saja Shadha bukan Shafa yang hanya diam. Jika Haidar ketahuan menyentuh wanita pilihan keluarganya, siap-siap saja Haidar kehilangan masa depannya. "Mbak tau Mas Zanet berselingkuh dari siapa?" "Mbak liat Mas Zanet sama Perempuan itu masuk ke dalam hotel dan itu bukan sekali dua kali." Sialan! Udah main hotel ternyata tuh laki. Liat aja gua nggak akan tinggal diam. Nyakitin Shafa artinya dia nyakitin gua. Shadha memeluk Shafa yang sudah menangis terisak. Kasihan sekali wanita ini. Ini yang Shadha tidak sukai jika perjodohan orang tua akan berakibat fatal pada kehidupan mendatang rumah tangga sang anak. Bersyukurlah jika rumah tangga anaknya berakhir baik tapi jika berakhir sad ending bagaimana? Tidak akan mungkin anak menyalahkan orang tua atas kegagalan rumah tangganya. Walaupun setengah kegagalan memang di picu adanya keterpaksaan. Shadha pernah akan di jodohkan namun dia mengatakan sedang menunggu seseorang untuk datang ke rumahnya. Bunda dan Ayah pun ingin tahu siapa pria itu namun Shadha masih merahasiakannya. Iyalah gua rahasiain bisa shock mereka kalau tau gua udah ada yang punya. Jadi alasan menunggu lah satu-satunya jalan. Walaupun gua benci nunggu, tetep aja pas gua mau lepas dia yang dateng lagi. "Terus rencana Mbak sekarang gimana?" "Mbak nggak tau." "Mbak udah tanya sama Mas Zanet?" "Iya. Mas Zanet mengaku jika dia memang masih mencintai mantan kekasihnya." Shadha mengepalkan tangannya. "Terus Mbak mau diam aja jadi istri tersakiti?" Shafa terdiam. "Mbak udah saatnya sekarang Istri yang harus berkuasa, jangan mau kalah sama Suami. Sha bukan maksud untuk durhaka sama Suami kalau nanti berumah tangga. Tapi yang harus Mbak tau pernikahan itu harus di pertahankan, jangan mau di injek-injek kaya gitu. Sha nggak habis pikir aja Mas Zanet bisa setega itu sama Mbak. Astagfirullah, kalau Sha jadi Mbak nggak tau tuh Mas Zanet bakal gimana." Shafa hanya bisa menangis sesenggukan di pelukan Shadha. Malam itu memang Zanet dan Shafa datang bersama. Namun memang ada kerenggangan di antara mereka. Zanet terlalu sibuk dengan ponselnya sedangkan Shafa dengan Bunda berbincang. Nantilah kalau dia keluar rumah, dia akan memberikan pelajaran pada wanita yang sudah merusak rumah tangga Kakaknya. "Assalamualaikum." Suara salam seseorang membuat keduanya menoleh. Ayah dan Bunda sedang ada acara di luar rumah sampai nanti malam. Sedangkan di rumah hanya ada mereka berdua. Shadha tidak pergi ke kampus karena Dosennya mengatakan akan menggantikan tugas bimbingannya ke hari berikutnya. Shafa mengusap wajahnya lalu meraih cadarnya setelah itu bangkit berdiri. Di rumah memang tidak ada Art, hanya ada satpam, itu pun di depan rumah. Shadha menatap punggung sang Kakak setelah itu meraih ponselnya lalu menekan setiap angka untuk menghubungi seseorang. Dia menunggu beberapa menit sampai akhirnya di jawab. "Assalamualaikum." "Wa'alaikumsallam." "Lo dimana?" "Aku lagi di kantor. Kenapa sayang?" "Nanti malem bisa ketemu?" Haidar. Yah Shadha menelpon pria itu. Haidar yang mendengar itu tersenyum. Dia menoleh ke sana kemari lalu pergi menjauh masuk ke sebuah ruangan. Dia tidak mau mengambil resiko jika orang lain tahu tentang urusan pribadinya. "Kenapa? Beberapa hari yang lalu kita udah ketemu, masih kangen?" "Ya udah nggak usah." "Dih ngambekan. Ya udah nanti kita ketemuan di tempat biasa." "Nggak jadi." Haidar tersenyum. Rasanya dia ingin sekali memeluk wanita itu yang slalu bertingkah menggemaskan. "Beneran nih nggak jadi?" "Iya. Lagian gua juga ada yang mesti di kerjain, jadi nggak usah. Sorry yah udah ganggu waktunya, nanti gua telpon lagi. Assalamualaikum." Sambungan langsung terputus membuat Haidar menghela nafas. "Wa'alaikumsallam. Shadha dengan ngambekan nya emang juara." Haidar tersenyum kecil lalu menghapus nomor itu dari daftar panggilan masuk. Mereka memang tidak saling berhubungan, bahkan kontak ponsel pun tidak saling memiliki. Haidar jika rindu pada wanita itu dia akan menelpon dengan angka yang sudah di ingat olehnya beberapa hari ini. Rasanya jika bukan karena sebuah misi dia enggan untuk melakukan keinginan orang tuanya. Haidar menyadarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Dia memejamkan matanya untuk menenangkan pikiran. Shadha slalu bertanya, sampai kapan hubungan mereka terus seperti ini? Haidar juga ingin mempublikasikan hubungannya dengan Shadha. Ingin meng-klaim wanita itu jika dia sudah menjadi miliknya. Shadha waktu itu mengatakan padanya jika orang tuanya akan menjodohkan dia dengan anak seorang ulama. Yeah, mana boleh. Shadha itu miliknya! Sampai kapanpun tidak akan ada yang bisa merebut dia darinya. Haidar harus merubah rencananya, semakin cepat dia bisa menguasai ini semua semakin cepat pula semuanya terbongkar. "Haidar." Suara lembut itu membuatnya tersentak bangun. Dia mendongak dan mendengus pelan saat tau siapa yang ada di hadapannya. "Ada apa?" "Papa mengajak kita makan siang, mau pergi?" Haidar ingin menolak. Namun jika menolak pasti akan di curigai. Dia bangkit berdiri namun saat berdiri ponselnya kembali bergetar. Disana ada sebuah nomor dengan isi ancaman membuat sudut bibirnya tersenyum geli. +62 882 8888 .... JANGAN BUAT GUA MARAH. JAGA JARAK. DAN JANGAN BIKIN DIA BAPER. Haidar menggelengkan kepalanya. Dia tidak membalas dan langsung memasukan ponselnya ke dalam saku jas miliknya. Matanya bertatapan dengan wanita yang menurut orang tuanya calon istrinya. Haidar memutuskan kontak matanya lalu pergi berjalan terlebih dahulu. Haidar heran dengan wanita ini, dia cantik, berpendidikan, karir bagus lalu kenapa memaksa ingin menikah dengannya? Mungkin wanita itu hanya tau jika dia pria sopan dan lembut tapi jika sudah melihat bagaimana aslinya sepertinya akan lari menjauh. Tidak ada yang bisa bertahan di sampingnya selain Shadha. Dan hanya karena wanita itu jugalah yang membuatnya sadar semuanya itu membutuhkan proses. Jadi Haidar tidak akan mungkin melepaskan sebuah obat dan racun begitu saja. Karena di waktu bersamaan Shadha akan menjadi sebuah racun namun memiliki obatnya. "Haidar." "Ya." "Kamu apa nggak tertarik sama sekali denganku? Emmm maksudku-" "Saya mengerti." Ucap Haidar memotong perkataan wanita itu. Menatap sekilas lalu kembali menatap ke arah depan. "Risa saya jujur sama kamu, kalau kamu itu bukan tipe wanita idaman saya. Bisa dikatakan kamu begitu jauh dari idaman saya. Mungkin jika pernikahan ini terjadi, kamu akan terus merasa sakit hati karena ulah saya. Saya hanya memperingati saja jika kamu tetap pada ke inginan kamu tidak masalah. Tapi saya hanya mengatakan sekali sama kamu, siapkan hatimu dan jangan menuntut tanggung jawab apapun pada saya." Haidar mengutarakan isi hatinya dengan gamblang. Haidar tidak ingin memberikan sebuah harapan pada wanita ini. Jika pun nanti mereka menikah mau tidak mau Haidar harus menghindar. Mungkin mereka akan tinggal di tempat yang jauh dari orang tua mereka. Haidar sudah membuat kesempatan dengan orang tuanya, jika dia sudah menikah mereka tidak perlu banyak ikut campur. Menikah juga ke inginan mereka bukan, jadi sepantasnya Haidar mendapatkan pasongan kebebasan. Risa yang mendengar itu terdiam. Selama ini Risa berusaha untuk mendapatkan hati Haidar namun setelah bertahun lamanya pria itu masih bersikap sama. Risa tidak akan menyerah begitu saja, apapun akan dia hadapi di depan sana. Risa juga tau tipe wanita idaman Haidar tapi dia tidak peduli toh hal itu bisa saja berubah. "Aku tidak masalah. Aku yakin suatu saat kamu akan mencintaiku sepenuh hatimu." Haidar menyeringai. Tidak tahu saja jika hatinya sudah di penuhi wanita cantik yang bahkan tidak sebanding dengan dia. Hanya saja Haidar tidak mau ambil pusing. Cukup diam lalu menikmatinya hasilnya. "Papa juga mengatakan pernikahan kita akan di laksanakan bulan depan. Aku berharap bisa menjadi istrimu yang sesungguhnya tanpa ada kontrak atau sejenisnya." "Tidak ada kontrak di pernikahan kita nanti. Hanya saja saya meminta satu hal tapi nanti akan saya sampaikan." Haidar sudah memiliki rencana dan rencana itu dari Shadha yang nekad mengatakannya. Jika Haidar tidak mengajukan syarat itu, Shadha akan mengamuk padanya. Mengamuknya Shadha memang tidak mengerikan hanya saja membuat posisinya terancam. Shadha sering sekali membuatnya mati kutu dengan omelan nya. Namun tanpa Shadha mungkin dia tidak akan bisa berada di titik ini. Sedangkan di sana Shadha menggerutu sebal karena pesannya tidak di balas sama sekali. Dia kesal, lalu menyimpan ponselnya dengan kasar di atas meja. Kenapa Haidar tidak membalas pesannya? Sedang apa pria itu? Awas saja jika dia ketahuan bermesraan dengan wanita yang akan jadi calon istrinya. Shadha tidak akan tinggal diam. Apapun yang terjadi nanti Shadha akan menjadi perusak hubungan rumah tangga mereka. Tidak bisa! Haidar itu hanya miliknya, enak saja. Dia yang berjuang mati-matian mereka yang dengan enaknya menikmati. Ohh itu luar biasa menyebalkan menurutnya. "Sha?" Shadha terkejut, dia menoleh saat namanya di panggil. "Kenapa Mbak?" Shafa menghembuskan nafas. "Di bawah ada wanita simpanan Mas Zanet." Shadha akan membuka mulutnya, saat kata kasar akan keluar namun setelah itu dengan secepat mungkin dia melipat bibirnya. Sialan ngapain jalang itu dateng ke rumah? Eh, tapi bagus sih seenggaknya gua nggak perlu repot buat nyari informasi tuh jalang. "Ya udah kita temuin yuk Mbak." Shafa menggelengkan kepala. Air matanya kembali mengalir saat rasa sesak itu datang menghampiri hatinya. "Aku nggak kuat, Sha. Aku belum siap mendapatkan madu. Bahkan pernikahan kita belum genap 1 tahun tapi Mas Zanet udah berbuat seperti ini." Gua pikir Mbak Shafa mau di madu, ternyata dia juga enggan. Wanita mana sih yang mau dapatin madu, semua wanita juga nggak sudi. Ah, taulah kalau gua ada di posisi Mbak Shafa habis tuh cewek. "Ya udah biar Sha aja yang temuin." Shadha sudah bangkit berdiri namun pergelangan tangannya di genggam. "Mbak mohon sama kamu jangan sampai memperumit keadaan. Mbak hanya belum siap aja ketemu, hati Mbak terlalu sakit." "Tenang aja Mbak, Sha nggak akan memperumit keadaan. Jadi Mbak diam aja disini yah biar Sha yang datengin." Tenang aja kali gua nggak akan bikin onar cuman ngasih peringatan dikit doang ehehe. Shadha melepaskan genggaman di lengannya dari tangan Shafa. Dia melangkah turun ke bawah untuk menghampiri siapa wanita pelakor yang sudah membuat rumah tangga Shafa berantakan. Penampilan Shadha yang anggun memang sering membuat semua orang pangling, bahkan banyak pria yang ingin mempersuntingnya. Tapi Shadha dengan alasan dan semua sifat liciknya membuat Orang tuanya pun bungkam. Di balik sifatnya yang lemah lembut hanya Haidar lah yang tahu bagaimana dia bertindak. Sampai di anak tangga terakhir, Shadha menatap wanita yang ada di depannya yang sudah menatapnya dengan sinis. Badannya yang di balut dress berwarna merah ketat membuat Shadha mual. Gua juga sering kali pake baju gitu, jangan karena sekarang gua pake nih baju mata Lo seakan hina gua. Tubuh Lo sama gua aja lebih bagus punya gua kali. Cuman, gua mana boleh pake dress begitu yang ada tuh macan marah-marah sama gua. "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" "Kenalkan saya Mia." Shadha menerima uluran tangan wanita yang bernama Mia. "Saya Shadha, Mbak." Setelah perkenalan keduanya duduk saling berhadapan. "Saya to the point aja yah, Maksud ke datangan Mbak ke rumah saya, apa ada kepentingan?" "Sebenarnya saya ada yang mau di omongin sama Shafa tapi sepertinya dia emang belum siap denger ini semua." "Jadi?" "Saya mau menikah dengan Zanet dan saya meminta restu sama Shafa." Duh baik sekali Lo jalang meminta restu sama Mbak Shafa. "Mas Zanet nya dimana?" Tanya Shadha. "Dia lagi ada urusan di luar kota." Shadha menghembuskan nafas. "Untuk sekarang Mbak Shafa belum bisa di ganggu. Kalau Mbak pengen minta restu sama Mbak Shafa harus sama Mas Zanet. Pembicaraan ini bukan menyangkut Mbak Shafa saja." "Zanet nggak bisa datangi Shafa sekarang karena dia udah nggak mau ketemu sama wanita itu." Ucap Mia dengan sinis. Hey dia masih istrinya goblok gerutu Shadha dalam hati. "Alasan apa Mas Zanet nggak mau ketemu sama Mbak Shafa?" "Saya tidak mengetahuinya. Saya hanya di minta oleh Zanet untuk mendatangi istri pertamanya dan meminta restu untuk menikah Minggu depan." Shadha tersenyum lembut. Mia yang melihat wanita itu merasa insecure. Kepalanya yang tertutup hijab dan senyumannya yang luar biasa mematikan, pasti membuat semua pria yang menatapnya menginginkannya. Wanita ini juga tidak kalah cantik dengan Shafa hanya saja Zanet slalu mengeluh karena istrinya itu menutupi wajah cantiknya. Mia ini mantan kekasih Zanet di masa kuliah dulu dan mereka tidak sengaja bertemu saat liburan di Bali. Awalnya mereka biasa-biasa saja namun beberapa bulan rasa ketertarikan keduanya membuat mereka keluar batas. Zanet dan Mia slalu menghabiskan waktu di hotel untuk meluapkan rasa rindu yang tidak bisa sebebas orang lain. Hanya hotel lah tempat memadu kasih yang paling baik untuk mereka berdua. Mia tidak peduli walaupun dia sudah tahu jika Zanet sudah memiliki Istri. "Mbak saya mau bicara boleh?" "Silakan." Shadha menyeringai. Wajahnya yang ayu di gantikan dengan ke pribadinya sendiri. "Lo wanita jalang." Mia yang mendengar itu sontak terkejut. Dia melihat perubahan pada Shadha yang sekarang melipat tangannya di depan dada lalu keanggunan itu sirna begitu saja. "Lo tau, nggak sepantasnya Lo hidup di tengah kebahagiaan Shafa sama Zanet. Lo wanita murahan yang nggak laku sama pria lain? Wanita gatel yang mencoba menggoda suami orang? Lo boleh berpendidikan tinggi tapi kelakuan Lo murahan. Gua pengen tanya sama Zanet di balik gaun ini seindah apa sih tubuh Lo? Senikmat apa sih tubuh Lo sampai berani berlaku ZINAH dengan suami orang. Lo tahu, Tuhan melaknat Umatnya untuk berlaku Zinah. Dan Lo salah satu wanita HINA itu yang mesti di musnahkan. Nggak sepantasnya wanita berpendidikan berlaku jalang seperti ini. Lo tau Shafa nangis gara-gara ulah sialan Lo goblok. Kalau Lo nggak jadi jalang dia nggak akan nangis sampe matanya bengkak kaya gitu. Sebenarnya gua disini cuman mau ingetin aja, nggak ada maksud ikut campur urusan kalian. Cuman ... karena Shafa nangis sampe sesegukan gitu gua nggak bisa diem." Shadha menarik nafas lalu menghembuskan nya, "Lo denger dan camkan baik-baik ucapan gua. Lo boleh nikah sama Zanet tapi pernikahan kalian nggak akan pernah bahagia seumur hidup. Karena ... seorang Shadha tidak menyukai melihat orang lain menderita akibat pelakor seperti kalian. Shafa emang nggak bisa lakuin apapun tapi gua? Gua yang akan buat hidup Lo sengsara. Jangan karena gua berhijab, gua nggak bisa lakuin apapun. Lo salah! Gua bahkan lebih bisa lakuin sesuatu yang lebih-lebih-lebih-lebih dari ini. Camkan itu baik-baik di otak kerdil Lo." Shadha bangkit berdiri dari duduknya. Dia akan berbalik namun langkahnya berhenti. "Pintu keluar ada di depan. Sebelum gua pake kekerasan mending angkat kaki sekarang juga. Next time gua bakal tunjukkin siapa gua sebenarnya. Menikahlah sama Zanet karena saat pernikahan itu terjadi salah satu dari kalian akan mati mengenaskan." Shadha membalikan badannya lalu melangkah pergi meninggalkan Mia yang tertegun. Mia tidak menyangka di balik ke anggunan dan wajah ayu itu tersimpan sifat yang mematikan. Shadha bukan malaikat. Shadha setan yang berkedok wanita lugu di dalam tubuhnya. Mia bisa melihat tatapan kejam di bola mata itu. Kepalanya menggeleng, bagaimana jika Shadha melakukan ancamannya? Tidak. Mia masih ingin hidup, dia akan menjauh pergi dari kehidupan Zanet. Apapun yang terjadi nanti dia tidak mau berurusan dengan Shadha. Mungkin memang itu hanya ancaman biasa tapi Mia bisa melihat kesungguhan dari tatapan dan ucapannya yang mengerikan. Shadha itu iblis di balik topeng muslimah nya. Mia dengan cepat bangkit berdiri. Dia akan pergi ke luar negri untuk kembali pada kehidupan lamanya. Lebih baik dia menghindar di banding harus menjadi bahan bullyan Shadha. Zanet salah, Shafa memang diam namun ada satu lagi wanita yang melindungi istrinya. Mia dengan cepat meraih ponsel memesan tiket ke Amerika. Dia berjanji tidak akan menginjakkan lagi kakinya di Indonesia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD