Let's Love 1

3660 Words
"Assalamualaikum, Bunda." "Waalaikumsalam. Kok udah pulang, Sha?" Tanya Bunda. "Dosennya ada urusan mendadak Bunda, makanya semua siswa yang bimbingan sama beliau di bubarin." Jawab Shadha. "Oh gitu. Kamu udah shalat Dzuhur, Sha?" "Alhamdulillah udah Bun." "Alhamdulillah. Kamu pasti belum makan siang kan?" "Belum, Bun." Jawab Shadha dengan menggelengkan kepalanya pelan. "Ya udah kamu makan siang dulu sana. Nanti kalau udah, tolong anterin jahitannya Bunda ke Umi Salamah yah." "Iya, Bunda" Shadha mengikuti langkah Bunda menuju ke dapur. Dia menyimpan tasnya di sofa, lalu kembali mengikuti langkah wanita yang sudah membesarkannya dengan kasih sayang itu. "Bunda mau ke kantor Ayah nganterin makan siang. Kamu nggak apa-apa kan di rumah sendiri?" Shadha menggelengkan kepalanya. "Nggak masalah Bun." "Ya udah Bunda mau ganti dulu baju, itu Bunda udah siapin makanan kesukaan kamu. Makan yang banyak, yah, Bunda nggak mau kamu sakit gara-gara lagi ngurus skrip." Shadha tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Bunda berlalu pergi meninggalkan putrinya seorang diri. Shadha menatap Bunda yang sudah pergi ke lantai atas. Dia mendesah lega, dengan cepat melepas kerudungnya dengan kesal. Jika saja bukan permintaan Orang Tuanya tidak sudi Shadha memakai pakaian menggelikan ini. Panas, gerah, mana luar biasa susah untuk beraktifitas dengan baik. Shadha bukan wanita seperti yang terlihat dari penampilannya. Penampilannya hanya untuk menutupi semua kelakuannya selama ini di luar rumah. Shadha tahu keluarganya itu terkenal dengan alim sedangkan dia sama sekali tidak bisa melakukannya. Dia bukan Shafa yang dengan anggunnya memakai pakaian besar ini. Mana wajahnya di tutup pake cadar. Shadha saja yang hanya memakai pakaian ini luar biasa gerahnya. Bagaimana dengan Shafa? Shadha tidak habis pikir saja. Di usianya yang 22 tahun hidupnya hanya tentang agama-agama-agama dan agama. Tidak bisakah dia di jauhkan dari kata agama? Dari semasa kecil dia sudah di beri ajaran oleh Ayahnya untuk slalu menjadi wanita muslimah yang baik. Heh, semenjak Shadha tahu kehidupan malam. Dia sudah melepas kerudungnya saat jaman dimana masih memakai seragam putih biru. Shadha bukan ingin menjadi seorang ustadzah yang berdakwah ke sana kemari. Dia hanya ingin melakukan keinginannya. Shadha bukan wanita yang hanya duduk diam seperti Shafa. Ini terlalu mengesalkan dan dia tidak menyukai kehidupan keluarganya ini. Shadha seperti ini bukan tanpa alasan. Dia kecewa. Kecewa karena orang tuanya ternyata menyembunyikan sebuah rahasia besar. Dia bukan anak Bunda dan Ayahnya. Shadha mendengar dengan telinganya sendiri saat usianya 14 tahun. Jika dia terlahir dari seorang wanita malam yang di tinggalkan pada orang tuanya. Dari sana dia mulai berulah. Semua peraturan yang orang tuanya berikan padanya di langgar olehnya. Shadha memang di depan orang tuanya akan menjadi anak shalehah tapi saat di luar dia akan menjadi dirinya sendiri. Jika dia benar anak seorang wanita malam lalu, kenapa tidak ada niatan jalang di dalam dirinya? Bahkan Shadha mencoba untuk one night stand dengan teman prianya namun nyatanya dia tidak bisa. Shadha merasa semua itu salah dan akhirnya dia hanya bisa merusak tubuhnya saja. Shadha masih melakukan shalatnya, hanya saja untuk kerudung dan sebagainya dia tidak seperti dulu. Dia memang brengsek namun tidak untuk agama. Dia masih ingat Tuhannya. Shadha mendengar sebuah langkah kaki, dengan cepat meraih kerudungnya kembali lalu memakainya. Rambutnya yang berwarna pirang tidak boleh orang tuanya ketahui. Dia membenarkan letak kerudungnya supaya rapih. Semuanya sudah dia buat secara apik tanpa semua orang ketahui. "Loh, belum makan Sha?" Tanya Bunda yang sedang merapihkan kerudungnya. "Eh, iya Bun ini mau makan." Shadha meraih piringnya. "Kenapa, ada masalah di kampus?" Bunda mendekat, matanya menatap Shadha dengan sayang. "Nggak ada kok, Bun." "Terus kenapa?" "Nggak apa-apa cuman emang rada pusing aja." Iyalah rada pusing, semalem elo clubbing sama minum tolol bisik hatinya. Bunda mengangkat tangannya lalu menempelkan di keningnya. "Nggak panas kok. Mungkin kamu pusing karena terlalu lama di bawah matahari." "Ehehe iya mungkin." Jawab Shadha. "Ya udah istirahat kalau udah makannya. Bunda harus cepet-cepet ke kantor Ayah, soalnya dari tadi di telpon terus." "Iya, Bunda hati-hati di jalannya." "Iya, jangan lupa juga anterin jahitan nya Umi Salamah yah, Sha. Bunda pergi yah, assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Shadha menyalami tangan Bunda dan Bunda pergi berlalu keluar dari rumah. Shadha menunggu beberapa menit sampai akhirnya Bunda pergi meninggalkan rumah. Dia kembali membuka kerudungnya lalu bangkit berdiri dari meja makan. Makan siang? Dia bahkan sudah kenyang tadi di luar. Shadha meraih tasnya lalu pergi meninggalkan ruang tamu untuk ke kamarnya. Langkah kakinya terasa ogah-ogahan. Di rumah tidak ada seorang pun selain dia sendiri. Mereka itu keluarga berada tapi slalu hidup sederhana. Membuka pintu kamar lalu menutupnya dengan kasar tidak lupa mengunci pintunya. Membuka lemari pakaiannya lalu mengambil sesuatu di tempat rahasianya. Rokok. Yeah, dia memang merokok bahkan sehari bisa menghabiskan beberapa batang. Shadha membuka bajunya lalu membiarkannya berantakan begitu saja. Berjalan ke arah sofa tidak mempedulikan badannya yang hanya memakai pakaian dalam. Shadha memejamkan matanya merasakan pusing luar biasa. Tubuhnya tidak semulus yang di bayangkan karena ada beberapa bekas goresan benda tajam di sana. Tapi dia tidak memperdulikan, yang di pedulikannya sekarang itu, bagaimana caranya supaya Shadha bisa keluar dari rumah ini? Shadha sudah tidak mau lagi mengikuti segala peraturan dari keluarganya. Setiap ada acara pengajian di komplek pasti dia akan slalu di ajak dan mendengarkan ustadz yang berceramah. Sejujurnya Shadha jika di ajak ke pengajian oleh ibunya dia slalu memilih di ujung paling belakang. Dia akan pura-pura mendengarkan tapi nyatanya kepalanya mengangguk-angguk karena sedang mendengarkan musik. Shadha sudah lelah dengan kepalsuan ini. Dia ingin menjadi dirinya sendiri. Ayah Banu memintanya untuk mengambil guru Agama. Sedangkan tanpa Ayah Banu ketahui, Shadha mengambil jurusan teknik komputer. Ayah Banu memang memberikannya uang jajan namun semenjak dia memiliki penghasilan sendiri uangnya lah yang dipakai. Terkadang Shadha merasa jika kelakuannya ini tidak baik namun kekecewaannya yang lebih mendominasi. Kenapa dia harus terlahir dari seorang wanita malam? ??? "Lo serius, Sha?" "Heem, kenapa emangnya?" "Sha udahlah lebih baik Lo balik lagi sama orang tua Lo. Gua menyayangkan banget sama semua perubahan sikap elo ini." Shadha sudah berapa kali mendengar ucapan teman-temannya. Mereka semua tidak menyangka jika Shadha bisa melakukan hal semacam ini. Mereka juga awalnya terkagum melihat Shadha dengan penampilannya yang luar biasa memikat kaum pria. Namun saat mereka tahu bagaimana berbahayanya wanita ini, hanya kepala mereka yang bisa menggeleng. Mereka heran bagaimana Shadha bisa memiliki kemampuan yang luar biasa itu sedangkan dia slalu ada dalam pengawasan orang tuanya. Shadha mengatakan itu hanya instingnya yang bermain, tidak ada sesuatu yang khusus pada dirinya selain keinginan yang kuat. "Kenapa sih kalian bawel banget? Nggak bisa apa diem aja dan langsung gerak pergi?" "Masalahnya bukan kaya gitu Sha. Ini terlalu berbahaya buat elu. Oke, gua akui bahkan di antara kita bertiga elo yang paling bisa di andalkan tapi kita nggak bisa jamin kedepannya gimana." "Arkan, Surya dan Ibnu kita emang nggak tahu jalan Tuhan ke depannya gimana tapi yang perlu Lo tahu gua bisa jaga diri sendiri. Apapun yang terjadi di depan sana itu udah resiko, gua masuk ke kelompok kalian bukan karena apa-apa tapi gua pengen melakukan hal kesukaan gua." Ibnu, Arkan dan Surya hanya bisa terdiam mendengar wanita itu yang sekarang sudah berganti baju dan bersiap untuk pergi. Mereka tidak bisa melakukan apapun. Shadha terlalu keras kepala, apapun yang di inginkan nya harus terpenuhi. Mereka juga tidak tahu jika Shadha berani nekad hanya untuk mencari sosok yang bahkan mereka tidak tahu bagaimana bentuknya. Shadha akan pergi saat ponselnya berdering, dia berdecak dengan sebal meraih ponselnya lalu matanya membulat melihat siapa yang ada di layar itu. Arkan mendekat, matanya pun ikut membulat. "Bunda Arini." Surya dan Ibnu terdiam. Beda cerita jika sudah menyangkut wanita kesayangan Shadha. Sebenarnya mereka pun sampai sekarang merasa bingung dengan pikiran wanita itu. Apa yang di inginkan Shadha? Bukankan dia sudah mendapatkan semuanya? Kasih sayang, orang tua lengkap, harta bergelimang, agama yang kuat lalu apa lagi? Surya, Ibnu dan Arkan saja merasa tidak mengerti akan pikiran wanita itu. Shadha menghembuskan nafas pelan lalu menggeser tombol hijau dan menempelkannya di telinga. "Assalamualaikum, Bunda." "Waalaikumsalam, sayang. Shadha lagi dimana?" Dia mengigit bibir bawahnya. "Lagi di rumah temen, Bun. Kenapa?" "Bisa pulang sekarang nggak Sha?" "Pulang Bunda?" "Iya. Ada sesuatu yang mau Bunda sama Ayah omongin." Shadha menghentakkan kakinya jengkel. "Penting banget Bun? Soalnya Shadha lagi ada mau pengajian." Arkan, Surya dan Ibnu memalingkan wajah mereka. Pengajian? Yang benar saja. Ini bukan pengajian namun Shadha menantang malaikat maut untuk cepat mencabut nyawanya. Wanita ini memang benar-benar sudah tidak waras. Terkadang mereka merasa perbuatan Shadha ini terlalu brutal. Tidak bisakah wanita itu memahami kondisi orang tua angkatnya yang sudah menyayanginya dari kecil. Lalu untuk apa lagi mencari sosok Ibu yang sudah membuangnya? Mereka lebih baik melupakan sosok Ibu itu di banding harus mencarinya dengan susah. Mereka sudah tahu masa lalu Shadha dan bagi mereka bertiga, kenapa harus di cari? Apakah wanita yang melahirkannya pun mencarinya? Kadang Shadha berpikiran idiot. Bunda mendesah di ujung telpon sana. "Kakakmu Shafa juga dateng, Nak. Dia lagi di perjalanan ke rumah, kalau memang Shadha nggak bisa, nggak apa-apa biar Bunda bilang sama Ayah kalau Shadha nggak bisa." Shadha menghembuskan nafas lagi. Dia jengkel jika sudah akan pergi malah di tahan dengan urusan konyol semacam ini. "Ya udah Bunda, Shadha mau izin dulu ke temen buat nggak ikut pengajian. 1 jam lagi Shadha pulang ke rumah." "Alhamdulillah. Ya udah Bunda tunggu yah, jangan naik angkutan umum, kalau ada naik Taxi saja." Shadha memutar bola matanya malas. Dia merasa Bunda nya terlalu lebay, jangan naik kendaraan Umum. Memangnya di kendaraan umum ada apa? Selama ini tanpa sepengetahuan orang tuanya, Shadha pulang pergi naik kendaraan umum tapi dia enjoy saja. Lalu kenapa Bundanya slalu heboh? Hais! entahlah tidak peduli. "Oke, Bunda kalau gitu Sha tutup telephon nya, assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Shadha langsung mematikan ponselnya dengan kesal. Rumit sekali jika seperti ini. Tidak bisakah mereka membebaskannya pergi tanpa harus banyak ini dan itu? Shadha memutar balik tubuhnya lalu masuk ke dalam kamar dengan bantingan pintu sampai berbunyi dentuman. Arkan, Ibnu dan Surya hanya menggelengkan kepala. Mereka tidak bisa melakukan apapun karena ini pilihan hidup seorang Zayba Shadha Rumaisya. ??? Shadha menghentikan langkahnya saat melihat banyak mobil terparkir di depan rumahnya. Ada apa? Apakah ada tamu yang mampir ke rumah? Shadha sebenarnya enggan untuk masuk ke dalam namun sedari tadi Bunda terus menelpon, membuatnya kesal sampai mematikan ponselnya. Jika Bunda bertanya nanti bilang saja baterainya habis lupa di cas. Shadha kembali melangkah, matanya melihat beberapa mobil mewah terparkir cantik di sana. Matanya memicing melihat sebuah motor trail yang membuat matanya berbinar. Astaga! Motor itu adalah impian hidupnya. Sayangnya Shadha tidak akan bisa mendapatkannya sampai kapanpun. Dia harus tetap terkurung di balik jilbabnya yang lebar seperti mukena ini. Dan dia harus memakai pakaian ini seumur hidupnya. "Assalamualaikum." Shadha mengucap salam dengan mimik wajah tersenyum. Namun hatinya dongkol luar biasa saat melihat banyak tamu sudah duduk di rumahnya. Ini pukul tujuh malam, biasanya dia di larang keluar rumah. Hanya saja karena dengan alibi akan ikut pengajian, Bunda mengizinkan. "Wa'alaikumsallam. Loh, kamu naik apa Sha pulangnya?" Bunda menyongsong putrinya. Shadha meraih tangan Bunda lalu menciumnya. "Naik angkot Bunda, terpaksa karena nggak ada Taxi tadi." "Astagfirullah, kenapa nggak minta jemput Ayah aja sih, nak?" Khawatir Bunda. "Tanggung Bunda. Lagian kayanya ada tamu deh, rame banget." "Iya. Sahabat Ayah baru pulang dari luar negri mereka mampir ke sini. Ya udah sana masuk ke dalem, mandi dan ganti baju yang sopan kita makan malem sama-sama." Shadha menganggukkan kepala. Lalu dia berlalu pergi dari ruang tamu itu. Matanya tidak sengaja bertatapan dengan satu pasang mata yang menatapnya tajam. Shadha mengerjap. Sial! Untuk apa pria itu ada di sini? Tanpa di sadari tangan Shadha sudah mengepal kuat. Jika saja di sini tidak banyak orang, sekarang sudah dia tarik pria itu keluar dari rumahnya. Shadha begitu dendam pada pria itu, dendam yang sampai kapanpun tidak akan pernah bisa di lupakan olehnya. Shadha memalingkan wajahnya lalu pergi cepat ke arah lantai kamarnya. Dia masih bertanya-tanya, kenapa pria itu ada di rumahnya? Shadha sudah berjanji di dalam hatinya jika bertemu dia akan memberikan sebuah pelajaran padanya. Namun sekarang bukan waktu yang tepat sepertinya. Shadha masuk ke kamar lalu melempar tasnya begitu saja. Kerudung yang menutup rambutnya di buang ke sembarang tempat. Dia melepaskan semua baju-baju yang ada di tubuhnya. Gerah. Satu kata itu yang membuatnya tidak tahan. Shadha bahkan tidak tahu baju apa yang di pakainya karena Bundanya yang membelikan semua fashion baju-bajunya. Dia hanya tinggal memakai tanpa perlu repot-repot untuk berkeliling Mall mencari baju kesukaannya. Bagi Shadha yang penting warnanya tidak mencolok dan dia menyukai warna monokrom. Menghembuskan nafas kesal. Tiba-tiba sebuah tangan kekar melingkar cantik di pinggangnya membuat Shadha menolehkan kepalanya. "Lo?" Shadha meronta minta di lepaskan. Tapi orang itu semakin memeluknya dengan erat. "Aku rindu." "Lepasin gua sialan." "Kemana aja kamu? Aku cari kamu berbulan-bulan." "Gua nggak minta Lo cari." "Kamu nggak rindu sama aku?" Shadha tersenyum kecut. Merindukan orang ini? Dalam mimpi. "Lepasin gua, brengsek." Shadha terus meronta sampai akhirnya dia di lepaskan membuatnya menghembuskan nafas lega. Shadha berbalik menatap orang yang di depannya. Dia mendelik tidak suka namun langsung memeluk tubuh kekar itu. Tidak berapa lama bibir mereka saling bertabrakan. Setitik air mata jatuh dari pelupuk mata Shadha membuat sebuah aliran sungai menghiasi pipinya. Setelah itu bibir keduanya terpisah, menyisakan saliva yang bercecer di dagu masing-masing. Tangan kekar itu menghapus air matanya, "Jangan nangis." "Kangen." Senyuman terbit muncul di bibir pria itu. "Aku juga." "Jangan buat gua khawatir lagi. Gua capek kaya gini terus, kenapa Lo slalu susah di tebak? Apa Lo udah nggak mau pertahani hubungan ini?" Kepala orang itu menggeleng. "Aku mencintai kamu tapi kamu harus sabar, semuanya butuh proses." "Sampai kapan?" "Sampai semua urusan keluargaku selesai." Shadha mengerucutkan bibirnya. "Haidar sampai kapan Lo diem aja? Apa Lo nggak mau berjuang buat hubungan kita? Terus ngapain Lo disini? Gua benci sama elo tapi gua kangen juga." Orang yang bernama Haidar terkekeh. Dia mengecup bibir itu dengan gemas. "Aku diam bukan berarti mengalah sayang. Aku juga lagi berjuang buat hubungan kita. Aku kesini cuman mau bersilaturahmi sama keluarga kamu. Jangan terlalu benci karena kamu nggak akan pernah bisa jauh dari aku." Shadha mengalungkan tangannya di leher Haidar bibirnya mengecup rahang itu. "Jangan berbuat ulah. Kita bisa melakukannya nanti di luar, jangan memancing gairahku. Aku sudah bertahan selama 2 tahun ini karena di tinggal pemiliknya." "Suruh siapa ngilang? Gua bahkan bersedia layani elo seumur hidup." Haidar tertawa. "Istriku paling manja memang selalu buat aku rindu setengah mati." "Kalau rindu cepet selesain urusannya." Haidar menghela nafas berat. "Aku akan ceritakan semuanya sama kamu tapi nanti. Aku tunggu di depan komplek nanti malam buat jemput kamu." Shadha tersenyum lebar. Dia memajukan bibirnya meminta di cium kembali. Haidar tersenyum kecil lalu kembali bibir mereka bertemu meluapkan rasa rindu yang sudah lama tidak bertemu. Haidar memeluk tubuh mungil itu dengan erat merasa takut kehilangan. Sudah cukup dua tahun ini dia mencari hingga akhirnya bertemu tanpa di duga. Hanya wanita ini yang bisa membuatnya tenang di kala semua masalah menghampirinya. Hanya wanita ini tempatnya untuk pulang. Dan hanya wanita ini yang akan menjadi tempatnya mencurahkan semua keluh kesahnya. Karena dialah pemilik hatinya. Haidar melepaskan tautan bibir mereka, dia bisa melihat bibir Shadha bengkak. Tangannya terangkat mengusap bibir itu dengan halus. Jika saja mereka sedang berdua mungkin sekarang sudah bergumul di ranjang, menghabiskan malam indah bersama sang kekasih hati. Sayangnya hal itu harus di tahan sampai nanti malam karena mereka sudah di tunggu banyak orang. Haidar meminta izin pamit ke toilet saat matanya bertemu dengan sosok yang di carinya selama ini. "Aku tunggu di bawah. Pakai, pakaian yang aku belikan buat kamu. Jangan memakai parfum atau pun bedak." "Iya,iya,iya." Haidar membenarkan rambut yang menghalangi wajah cantik Shadha. "Tolong yah rambutnya di cat lagi jadi warna coklat. Aku nggak suka kamu pake warna ini, berasa mau gaulin bule aja." "Apaan sih Lo." "Kamu juga ngapain rambut di warnai gini, ngambek karena aku nggak ada kabar jadi ngelunjak?" Shadha hanya memutar bola matanya. "Udah sana turun kebawah nanti yang ada mereka malah curiga lagi." "Oke, aku kebawah. Nggak usah dandan." "Iya bawel." Haidar mengecup bibir itu dan melumatnya sebentar sebelum pergi meninggalkan Shadha seorang diri. Shadha menatap punggung lebar itu yang menjauh. Ah rasa benci dan rindu itu tidak bisa pergi begitu saja. Shadha rindu memeluk tubuh itu. Rindu bergelayut manja di punggungnya dan pasti rindu mendesah di bawah kukungan tubuh pria itu. Shadha tersenyum, matanya memandang ke arah jam di dinding, sebentar lagi dia akan melepas rindu. ??? "Sha dengerin penjelasan aku dulu yah." Shadha mendelik kesal. Hatinya masih dongkol dengan percakapan beberapa jam yang lalu antara keluarganya dan keluarga besar Haidar. "Sono nikah sama cewek pilihan Nyokap Lo, kasih dia cucu sebanyak mungkin biar puas, kalau bisa 1 lusin bikinnya." "Nggak gitu. Dengerin dulu makanya penjelasan aku." "Taulah. Niatnya males banget gua ketemu kalau akhir endingnya begini." Haidar menghela nafas, dia menarik pinggang ramping itu lalu menghadapkan wajah Shadha untuk menatapnya. "Aku emang mau nikah-" "Tuh kan ngaku lagi. Cowok emang brengsek." "Dengerin dulu sayang." "Nggak mau." "Kalau gitu gimana kita bisa selesain semua masalah ini, kalau kamu nya ngambek gini?" "Yah elu kan punya Hak buat nolak Haidar. Emangnya apa susahnya sih nolak nggak mau?" "Yeah aku nggak bisa nolak gitu aja." "Tuh kan! Bilang aja Lo juga suka kan sama dia." "Astagfirullah. Kamu tuh yah suudzon terus sama orang, jangan di biasain sayang." "Itu karena elo yang minta gua suudzonin" Haidar tersenyum. Untungnya Tuhan memberikannya sebuah kesabaran yang besar untuk menghadapi wanita yang di cintanya ini. Haidar menangkup pipi Shadha lalu memandang mata cantik itu dengan dalam. "Dengar, aku emang bakal nikahi dia hanya sebatas status nggak lebih. Kamu nggak perlu khawatir karena ini hanya sebuah pernikahan bisnis. Aku nggak bisa nolak gitu aja karena semua usaha aku bakalan sia-sia kalau mereka tau apa yang aku lakuin di belakang mereka. Aku lagi beli beberapa aset perusahaan atas nama kamu sayang. Supaya mereka nggak curiga karena 60 persen aset perusahaan udah ada di tangan aku. Dan ini satu-satunya cara supaya aku bisa ngambil sisanya dari mereka." Shadha memandang mata Haidar yang menatapnya dengan tulus. Namun karena rasa cemburu membuatnya mengabaikan tatapan penuh kasih itu. "Ish, Lo harus tau yah gua tuh udah banyak banget baca buku novel kaya cerita-cerita yang Lo bilang barusan. Akhir endingnya kalian hidup bahagia karena saling mencinta dan gua disini yang jadi pelakor nya, miris banget sih." "Astagfirullah, sayang. Kamu itu gimana sih? Kamu lupa siapa kamu? Kamu itu Nyonya Haidar, kamu yang pegang semua aset aku selama ini, kamu yang ngurus semua keperluan aku, kamu yang selalu dukung aku apapun yang aku lakuin, harusnya kamu doain supaya aku bisa berhasil dalam misi ini." Shadha mencibir. Dia mendumel di dalam hati, nggak tau apa kalau gua cemburu. Gimana kalau mereka di suruh honeymoon? Terus mereka ena-ena? Ih Ya Allah Aku nggak rela. Haidar yang melihat wajah merengut Shadha tersenyum geli. Shadha dengan kecemburuannya memang slalu membuatnya meledak-ledak. Shadha bukan wanita yang gampang di tipu, otaknya yang ber-IQ tinggi membuatnya sulit untuk di bodohi. Terkadang Haidar saja ingin mencoba melakukan sebuah kebohongan tapi akhirnya dia sendiri yang sengsara. Shadha itu tahu apa kesengsaraan nya maka dari itu dia tidak mungkin berbuat masalah dengan wanita ini. Shadha masih bergelut dengan pemikirannya. Semua aset Haidar sudah atas namanya, lalu apa lagi yang di takutkan? Hello, Shadha itu bukan wanita matre. Kalau di pikir lagi semua aset Haidar memang ada di tangannya lalu untuk apa aset itu jika Haidar tidak bersamanya? Shadha menggeleng, dia akan menjadi pelakor di tengah-tengah rumah tangga Haidar, lihat saja nanti. Jangan panggil Shadha Haidar jika dia tak bisa membuat siapapun bertekuk lutut padanya. "Kalau Lo macem-macem awas yah?" Ancam Shadha. "Nggak akan. Punya satu aja aku kadang susah nge-baginya, gimana dua?" Mata Shadha melotot membuat Haidar tertawa. "Udah nggak usah mikirin itu, lebih baik sekarang layani aku, aku rindu sama kamu. 2 tahun loh dia terkurung di sana, nggak kasian apa kamu sama dia?" Shadha seketika tersenyum lebar, jiwa mesumnya dengan cepat mengambil alih akal sehatnya. Shadha menaik turunkan alisnya. Haidar tidak bisa menahan gairahnya, dia mengangkat tubuh itu lalu menjatuhkan keduanya di ranjang. "Aku minta berkali lipat karena dua tahun dia nggak bebas." Shadha meliukkan tubuhnya dengan menggoda. "Dia menantinya sayang." Shadha tertawa saat melihat Haidar tergesa-gesa menindih tubuhnya. Shadha mencintai pria ini dengan sepenuh hatinya. Dan dia pun membenci pria itu sepenuh hatinya. Jangan bertanya bagaimana caranya? Karena bagi Shadha jatuh Cinta itu menyenangkan dan menyakitkan. Terkadang dia ingin mengakhiri semuanya namun Haidar slalu menyakinkan jika mereka akan berakhir happy ending. Iya berakhir happy ending tapi kapan? Selama ini Shadha slalu bersabar dengan semua kelakuan Haidar. Menahan emosi untuk tidak menerjang pria itu dengan membabi buta. Di saat dia sudah membenci Haidar pria itu datang kembali padanya dengan cinta yang besar. Shadha yang memang tidak kuat iman akhirnya kembali pada pelukannya. Shadha mengingat bagaimana Haidar mengejarnya mati-matian saat dia duduk di bangku SMA. Shadha memang biasa saja tidak merasa takut sama sekali namun saat melihat apa yang terjadi membuatnya berpikir kembali. Awal kelas 2 SMA dia memang menerima Haidar dengan setengah hati namun setelah mengenalnya lebih dekat dia malah kecanduan dan mencintai pria itu. Shadha bukan percaya diri tapi jika suatu saat dia yang meninggalkan pria itu, Haidar lah yang akan mengalami kesengsaraan. "Aku mencintaimu, Shadha." Shadha mengganggu kan kepalanya dia memeluk leher Haidar yang bergerak di atas tubuhnya. "Gua juga cinta sama Lo, Haidar." Nafas keduanya tersengal-sengal, keringat sudah membasahi tubuh keduanya. "Kamu masih pakai KB?" Shadha menganggukkan kepala. Keringat Haidar menetes di hidung mancung Shadha. Haidar yang melihat anggukan Shadha menghembuskan nafas lega. Bukan, bukan dia tidak menginginkan seorang anak dari wanita yang di cintai nya, hanya saja akan ada waktunya mereka bahagia. "Aku keluar di dalam yah?" "Itu lebih baik." Gumam Shadha. Tubuh Shadha menegang, tidak lama desahan wanita itu terdengar menandakan dia sudah mendapatkan organisme nya di susul oleh Haidar. Tubuh Haidar jatuh lunglai, nafas keduanya tersengal namun ada kelegaan di wajah mereka. Shadha berbisik, "Gua cinta sama elo, Haidar." Haidar tersenyum lalu menggulingkan tubuhnya ke samping. Dia meraih tubuh Shadha lalu memeluknya dengan sayang. "Aku juga mencintaimu, sayang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD