Tarendra berada di ruang kerja yang ada di apartemen pribadi milik pria itu. Tarendra berkutat dengan pekerjaan yang harus ia kerjakan. Tarendra sedang fokus mengerjakan desain untuk sebuah proyek gedung tumbuh kembang yang menjadi proyek Demonio Architeam. Perusahaan yang belum lama berdiri dan menjalankan usaha jasa arsitektur yang Tarendra bangun bersama adik tingkatnya Antonio. Pria itu fokus menatap layar laptopnya ketika sebuah panggilan dari adinya Anastasya Angely Bagaskara atau biasa ia panggil Tasya tiba-tiba masuk ke ponselnya. Tarendra mengerutkan alisnya sejenak melihat nama Tasya muncul di ponselnya di jam segini. Tarendra mengangkat panggilan itu.
"Ha–" Tarendra menghentikan ucapannya. Telinga pria itu mendengar suara tawa dari orang-orang yang ia kenal.
"Tapi ya, analogi lu lebay banget, Ki. Ya, kali seblak pake cabe sepuluh kilo. Meledak langsung tenggorokan sama usus pas makan." Suara Bagas terdengar.
"Beneran sepuluh kilo, Mas. Kalo cabe sepuluh doang kurang pedes itu mah, Mas Bagas. Lagian gue kaget aja ada ya orang kayak Si Demon itu. Mulutnya enggak kenal sodara apa bukan, dia semprot aja sama kalimat ketusnya. Untung Pak Karnaka orangnya sabar." Kali ini suara Kilara si karyawannya yang super duper badung terdengar.
Tarendra spontan mengumpat mendengar Kilara memuji Karnaka sedangkan wanita itu baru saja membicarakannya. Tarendra diam mendengarkan percakapan yang sedang terjadi. Tarendra dengan cepat mengerti situasi yang terjadi. Tasya mungkin sedang berada di tempat dimana para anak buahnya berada dan Tasya mengenal mereka disaat mereka tidak mengingat Tasya. Tidak heran Tasya memilih fokus di dunia medis karena Tasya memilih untuk menekuni bidang kedokteran dan hal ini membuat Tasya tidak pernah muncul di Track sebagai seorang Bagaskara.
Tarendra mendengarkan setiap percakapan anak buahnya hingga telinganya terasa panas. Tarendra mendengus kesal dan saat pria itu merasa telinganya hampir terbakar karena mendengarkan percakapan anak buahnya, Tarendra pun dengan cepat memutuskan sambungan dan dengan emosi menggebu Tarendra membuka aplikasi chat dan membuka ruang chatnya dengan Kilara. Tarendra dengan cepat mengetikkan sebuah pesan dan tidak lama kemudian ada tanda bahwa Kilara sudah membaca pesannya. Tarendra spontan menyeringai menyadari itu.
Tidak lama kemudian ada sebuah pesan masuk yang datangnya dari Tasya. Sebuah pesan yang membuat seringai Tarendra semakin lebar.
Si Kilara tiba-tiba berdiri dan celingukan kayak cari orang sambil liat ponselnya. Lo kirim apa ke dia, Kak?
Tarendra mendengus. Kalo bisa kirim bom udah Tarendra kirim bom. Berani-beraninya karyawan badung itu bikin ulah dengan membicarakannya dan malah memuji si Karnaka. Mengingat percakapan yang ia dengar tadi Tarendra spontan mendengus, Cari masalah banget tuh bocah badung!
***
Pasca pesan yang Kilara terima dari Tarendra. Kilara melalui weekendnya dengan suram. Kilara kesulitan makan dan tidur karena memikirkan apa yang akan terjadi hari senin dan sikap Kilara ini membuat Khavi khawatir.
"Udah deh, Dek. Taren pasti lupa. Kan ada jeda sabtu dan minggu. Kita berdoa aja si Taren lupa. Lagian kamu badung banget sih, Dek. Kenapa kamu kasih si Taren jari tengah juga. Kakak kaget denger cerita kamu."
Kilara memasang wajah lesu. Kilara yang masih memakai pakaian tidurnya dengan rambutnya yang kusut berantakkan kini sedang merebahkan dirinya di sofa sambil memeluk boneka minie mouse yang usianya sudah puluhan tahun itu.
"Tapi, Kak... Aku takut. Apa aku resign aja ya?"
Khavi berjalan mendekati adiknya dan menjentik dahi adiknya. "Jangan kabur dari masalah. Mama sama Kakak enggak pernah ajarin kamu buat lari dari masalah. Kamu salah dan kamu harus minta maaf. Apa yang kamu lakukan enggak sopan, Ara."
Kilara mengusap dahinya yang masih terasa nyeri karena jentikan Khavi. Kilara cemberut mengerucutkan bibirnya menatap kakak laki-lakinya itu. "Tapi, Kakkk...."
"Kamu salah, kamu harus hadapi. Kamu harus minta maaf sama Taren, Kilara Daniella." Khavi berucap dengan nada tegas.
Kilara menatap Khavi dengan tatapan ragu namun Khavi menatap Kilara dengan tatapan tegas. Kilara menghela nafas panjang. Wanita itu bergidik ngeri membayangkan luapan lahar kemarahan Tarendra tapi herannya bagaimana pria itu bisa tau kalau ia dan teman-temannya sedang membicarakan pria itu? Kilara sudah mengitarkan pandangannya ke seluruh penjuru cafe tapi tidak ada satu sosok pun yang ia kenal. Cafe itu cukup sepi dan jauh dari kantor sehingga tidak ada kemungkinan ada orang yang mengenali mereka selain itu Kilara yakin kalau Tarendra tidak ada di sana karena Kilara sampai memeriksa ke sekeliling cafe. Bagaimana pria itu bisa tau?
Kilara menggaruk-garuk kepalanya dengan kedua tangannya hingga rambutnya acak-acakkan. Kepala Kilara pusing memikirkan semua itu dan Khavi menggelengkan kepalanya melihat tingkah adiknya. Khavi menghela nafas panjang dan menepuk puncak kepala Kilara, "Kamu harus benar-benar minta maaf sama Taren. Lusa kakak sudah harus kembali ke Surabaya. Kamu harus menyelesaikan masalah kamu sebelum Kakak berangkat supaya Kakak tenang tinggalin kamu ke Surabaya."
Kilara menatap Kakaknya dengan tatapan seakan meminta pertolongan namun Khavi kembali menepuk puncak kepala adiknya, "Jadikan ini sebagai pelajaran, Dek. Kamu tidak bisa sembarangan membicarakan orang lain kalau orang itu tau pada akhirnya kamu bingung sendiri, kan?"
Tapi kalo enggak bicarain tingkah Tarendra yang tingkahnya enggak awam seperti manusia dari planet bumi itu rasanya ada yang kurang karena baginya dan teman-temannya membicarakan Tarendra adalah bagian dari upaya berbagi kebahagiaan ditengah-tengah gempuran pekerjaan yang tidak ada habisnya dengan bos yang memiliki kadar gila kerja yang tidak bisa diabaikan.
Bagaimana nasib Kilara besok?
***
Jika ada hari dimana Kilara terlihat begitu menyedihkan maka hari itu adalah hari ini dimana matanya terlihat begitu kelelahan dan lingkaran dibawah mata gadis itu tercetak sempurna. Kilara tidak memiliki semangat untuk memulai hari mengingat apa yang sudah ia lakukan dan apa yang akan terjadi nanti.
"Pagi, Kila–" Putri yang sedang menikmati kopi paginya mengangkat sebelah alisnya melihat Kilara datang dengan wajah jelas kurang istirahat, "Lo abis ngedrakor apa gimana? Lingkaran dibawah mata lo... Buset deh..."
Kilara memasang wajah cemberut, "Gue enggak bisa tidur, Mbak–" Kilara menjeda kalimatnya dengan cepat menoleh ke arah pintu ruangan kerja bosnya, "Yang Mulia udah dateng?" Kilara menatap ke arah Putri lagi dengan cepat menunggu jawaban teman yang duduk di sebelahnya itu.
Putri menggelengkan kepalanya. Kilara menghela nafas panjang perlahan sambil mengitarkan pandangannya. "Yang lain pada kemana?"
"Kan pada ke lapangan semua. Gue juga abis ini mau ke lapangan. Elo hari ini ke lapangan juga?"
Kilara memasang wajah nelangsa dan menggelengkan kepalanya pelan membuat Putri mengerutkan alisnya. "Lo kenapa deh? Ini hari senin dan masih pagi pula tapi muka lo udah suram abis gini."
Kilara menggelengkan kepalanya pelan. Menceritakan apa yang terjadi pada Putri yang ada ia akan mendapat ceramah jilid dua dari wanita yang lebih tua lima tahun darinya itu. Kilara memang tidak memberi tau perihal pesan yang Tarendra kirimkan pada teman-temannya. Kilara takut teman-temannya panik dan semua berubah. Kilara sudah terlalu nyaman dengan situasi kerja mereka saat ini. Kilara takut kalau ia memberi tau teman-temannya mereka akan berubah berhati-hati hingga kebiasaan mereka menghilang padahal berkumpul sekali di akhir minggu seperti mengisi ulang tangki semangatnya.
Kilara sibuk dengan isi kepalanya tersentak saat pintu ruangannya terbuka. Kilara spontan menegakkan posisi duduknya dan Tarendra muncul dari balik pintu berjalan melewati Kilara. Kilara yang sadar akan kedatangan Tarendra spontan menahan nafas sambil menatap lurus kearah ponselnya tanpa berani menatap pria itu.
Putri menyenggol lengan Kilara, "Lo kenapa enggak nyapa Pak Taren?"
Kilara spontan menoleh menatap Putri dan meringis tanpa menjawab pertanyaan seniornya itu, "Aneh banget lo hari ini, Ki."
"KILARA DANIELLA! KERUANGAN SAYA SEKARANG!"
Kilara dan Putri yang sedang saling berpandangan sama-sama kaget mendengar suara Tarendra yang menggelegar terdengar hingga ke luar ruangan karena ruangan milik pria itu tidak tertutup sempurna.
Putri menatap Kilara dengan pandangan kasihan, "Masih pagi ini padahal. Masuk gih lo sana."
Kilara memasang wajah memelas berharap Putri membantunya namun seniornya itu hanya memberikan ekspresi permohonan maaf. Kilara berdiri membawa buku catatan dan pulpen dan sambil berdoa dalam hati Kilara memasuki ruangan Tarendra. Pria itu kini sedang berdiri menatap ke arah jendela.
"Tutup pintunya!"
Kilara dengan patuh melakukan apa yang Tarendra ucapkan. Jika ada lagu disko, mungkin irama lagu disko itu akan seirama dengan detak jantung Kilara saat ini. Kilara bahkan merasa jantungnya terancam copot dari tempatnya karena terlalu cepat berdetak. Kilara berdiri tidak jauh dari pintu masuk. Jika dalam film dokumenter hewan di kehidupan liar, saat ini Kilara adalah mangsa yang sedang ketakutan menyadari adanya predator yang siap memangsanya bulat-bulat.
"Ada yang ingin bapak bahas?" Kilara memberanikan diri angkat suara setelah suasana hening berlangsung selama beberapa saat yang membuatnya kebingungan.
Tarendra tiba-tiba memutar tubuhnya dan menatap sengit Kilara membuat wanita itu tersentak kaget dan spontan mengeratkan pegangannya pada buku yang ada ditangannya.
"Kenapa harus saya yang bahas? Bukannya kamu yang harusnya ngaku sama saya?!"
ALERT! ALERT! SIAGA EMPAT! STATUS AWAS!YANG MULIA NGAMOK! MONSTER BIGFOOT NGAMOK! alarm di kepala Kilara berbunyi kencang. Kilara spontan menggigit bibir bagian dalamnya tanpa sadar karena terlalu gugup.
"Bapak bagaimana bisa tau? Saya enggak liat Bapak disana..."
Tarendra mendengus. "Kalau saya enggak ada di sana kamu bebas ngomongin saya sama temen-temen kamu gitu? Kamu tuh bener-bener badung ya, Kilara! Untung otak kamu ada isinya kalo enggak ada udah dari lama saya suruh HRD udahin kontrak kerja kamu tau! Saya sakit kepala ngadepin badungnya kamu!"
Kilara meringis. "Ya, namanya manusia, Pak. Suka ngomongin manusia lain ya namanya manusiawi."
Tarendra membulatkan matanya, "Masih berani jawab lagi kamu, HAH?!"
Kilara berjengit kaget dan menunduk.
Tarendra memijit dahinya sendiri karena ulah Kilara. Tarendra berkacak pinggang lalu mengangkat dagunya menatap Kilara, "Antara saya sama Karnaka. Menurut kamu Karnaka jauh lebih baik?"
Kilara mengangkat kepalanya dan mengerjapkan matanya mencoba mencerna pertanyaan yang tadi dengar. "Maaf, gimana tadi pertanyaannya, Pak?"
Tarendra mendengus. "Kamu bilang kemarin Karnaka orangnya sabar, kamu selalu muji si Karnaka dan saya sudah dengar itu beberapa kali. Memangnya dimata kamu Karnaka dan saya bertolak belakang banget?"
Kilara tanpa sadar menggaruk kepalanya dengan tangannya mendengar kalimat yang keluar dari mulut pria di depannya itu. Emang perlu gue jelasin lagi? Ya, jelas Pak Karnaka jauh lebih baik. Dia kaga suka marah-marah kayak elo dan dia kaga suka kasih kerjaan yang bertubi-tubi kayak ujian hidup.
"Jangan diem aja! Jawab pertanyaan saya!" Tarendra tidak sabar menunggu jawaban Kilara.
Kilara meringis. Kilara menarik nafas dalam-dalam dan menatap Tarendra tepat di kedua bola mata Tarendra yang kini sudah memancarkan kemarahan yang tidak ditutup-tutupi.
"Saya salah, Pak. Saya minta maaf." Kilara berucap dengan nada tulus dan tersenyum diakhir kalimatnya sambil menatap bosnya.
Sementara itu Tarendra yang sedang emosi pun mendadak diam mendengar ucapan Kilara dan senyum wanita itu. Kenapa Tarendra mendadak ngehank melihat senyum karyawannya yang badung itu?
Syntax Error!