15. Gencatan senjata

1605 Words
Kilara menggaruk kepalanya lagi karena bosnya hanya diam menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa Kilara artikan. Kilara sudah menyampaikan permohonan maafnya agar kemarahan bosnya itu menguap tapi bukannya nguap malah diam saja bosnya itu. "Pak..." Kilara memberanikan diri memanggil atasannya. Tarendra mendadak seperti orang linglung dan Kilara malah kebingungan. "Sudah keluar sana! Pagi-pagi bikin saya kesal saja!" Tarendra mengusir Kilara dengan nada ketus. Kilara meringis, "Maaf ya, Pak." Tarendra mendelik menatap Kilara, "Kamu itu habis badung minta maaf tapi habis itu badung lagi. Emang badung kamu itu." Kilara terkekeh. Entah berapa kali kata badung yang keluar dari mulut bosnya dalam kalimat yang pria itu ucapkan. "Gencatan senjata dulu ya, Pak. Saya udah minta maaf." Tarendra mendengus dan pria itu berjalan menuju kursinya dan menatap tajam Kilara. "NGAPAIN MASIH DI RUANGAN SAYA?! KELUAR!" Kilara memberikan isyarat hormat dengan tangan kanannya layaknya wanita itu sedang memberi pernghormatan pada bendera lalu berlari pergi meninggalkan ruangan Tarendra dan menutup pintu. Tarendra yang melihat aksi Kilara memandang wanita itu dengan tatapan datar lalu ketika pintu tertutup sempurna Tarendra spontan menghela nafas pendek lalu menggelengkan kepalanya pelan. Anak buahnya yang satu itu memang badung tapi untungnya otaknya masih berfungsi baik. Tarendra memijit pelipisnya yang mendadak sakit karena ulah Kilara. Tidak pernah terpikirkan dikepala Tarendra bahwa ia akan memiliki anak buah yang badung seperti Kilara karena anak buahnya yang lain bersikap normal dan tidak ada bertingkah aneh-aneh layaknya Kilara yang suka membuatnya sakit kepala. Tarendra menghela nafas panjang ketika ponselnya bergetar dan sebuah pesan masuk dari Karnaka. Tarendra baru ingat kalau hari ini ia harus pergi bersama dengan Karnaka menemui calon klien mereka dan apesnya ia harus mengajak Kilara karena Putri sudah mengirimkan pesan bahwa hari ini wanita itu pergi ke lapangan dan Kilara adalah satu-satunya karyawan yang ia miliki yang bisa ia bawa ke meeting itu terlebih meeting kali ini membahas proyek hunian rumah tinggal yang memang bidang biasa ditangani Kilara dan Putri. Tarendra berdiri dari kursinya dan berjalan keluar dari ruangannya dan berhenti di depan kubikel Kilara. Wanita yang tadi sedang fokus menatap layar laptopnya kini sudah menatapnya dengan senyum yang sama dengan senyum wanita itu tadi. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Tarendra psati sudah gila. Pria itu salah tingkah sendiri entah kenapa hanya karena senyum Kilara. "Siap-siap. Kamu ikut saya meeting dengan Karnaka." Kilara dengan cepat mengangguk, "Baik, Pak." "Good." Tarendra memutar tubuhnya hendak kembali ke ruangannya namun baru dua langkah Tarendra sudah kembali memutar tubuhnya menatap Kilara membuat Kilara spontan kembali menatap bosnya itu. Tarendra menatap tajam Kilara, "Ingat. Jangan bandingkan saya dengan Karnaka lagi. Saya yang terbaik. Paham?" Ya sallaammm, percaya dirinya melebihi jarak bumi ke bulan! Kilara hampir tersedak ludahnya sendiri mendengar ucapan bosnya barusan. "Paham, Kilara?" Tarendra mengulangi pertanyaannya dengan nada menuntut. Kilara dengan cepat mengangguk, "Paham, Pak!" Kilara tentu akan mengiyakan apapun yang bosnya katakan. Mereka baru saja gencatan senjata tadi. Kilara tidak mau merasakan perasaan tidak tenang seperti yang ia rasakan dua hari kemarin. Tarendra masuk ke dalam ruangannya dan Kilara dengan kecepatan kilat membereskan barangnya dan membawa apa yang perlu ia bawa dan ketika Tarendra keluar dari ruangannya, Kilara dengan sigap mengikuti bosnya itu dan keduanya turun ke lobby menggunakan lift dan dalam perjalanan lift turun ke lobby mereka bertemu dengan Karnaka dan Karnaka dengan santai mengambil tempat disebelah Kilara. Karnaka dan Kilara berdiri di belakang Tarendra. Karnaka pun dengan santai mendekatkan dirinya pada Kilara dan Karnaka mendekatkan kepalanya ke arah telinga Kilara, "Bos kamu kenapa? Kok auranya mencekam sekali?" Karnaka sudah berucap dengan suara pelan tapi bagaimana pun mereka berada di dalam lift, jelas Tarendra masih bisa mendengar ucapan Karnaka. Tarendra pun berdeham dengan kencang membuat Karnaka langsung menegakkan posisi tubuhnya menoleh pada Kilara spontan tertawa kecil mendengar ucapan Karnaka dan reaksi Tarendra. Sesungguhnya interaksi Tarendra dan Karnaka menjadi hiburan sendiri bagi Kilara. Tarendra berjalan cepat keluar kantor dan langsung masuk ke dalam mobil kantor yang akan mengantarkan mereka pergi. Karnaka yang berjalan di sebelah Kilara kembali berbisik, "Bos kamu abis makan beling apa? Kok serem banget begitu?" Kilara tertawa, "Kuda lumping dong bos saya, Pak? Bapak kayak enggak tau aja, temperatur suhu Pak Tarendra kan emang selalu begitu. Minusss..." Karnaka tertawa mendengar ucapan Kilara dan tangan pria itu dengan lancarnya hinggap di kepala Kilara dan mengacak pelan poni Kilara sebelum pria itu membuka pintu penumpang bagian depan untuk Kilara. Kilara menahan nafas saat merasakan tangan besar Karnaka menyentuh poninya. Kilara dengan patuh masuk ke dalam mobil dan tangan Kilara mendadak sedang saling bertaut. Yang diacak-acakkan poni gue tapi kenapa yang berantakan malah hati? *** Tarendra duduk diapit oleh Kilara dan Karnaka. Mereka bertiga berhadapan dengan Sania Soejipto dan managernya. Sania Soejipto seorang artis papan atas yang sedang naik daun karena kesuksesan artis itu dalam memerankan peran dalam film terbarunya. Wanita itu hendak membangun sebuah rumah pribadi sesuai dengan apa yang wanita itu inginkan. Tarendra, Kilara dan Karnaka mendengarkan penjelasan Sania mengenai lokasi dan luas tanah yang wanita itu miliki. Sania juga menjabarkan bagaimana rumah impiannya lengkap dengan gambar ilustrasi yang wanita itu bawa untuk ia tunjukkan pada Tarendra, Kilara dan Karnaka. Ketiganya diam mendengarkan tanpa menyela membiarkan Sania menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan dan tidak lupa Kilara mencatat hal-hal penting dari ucapan Sania serta meminta izin untuk merekam percakapan mereka untuk ia putar ulang nantinya saat mengerjakan desain yang Sania inginkan. "Apa desain yang aku inginkan bisa kalian penuhi?" Sania bertanya dengan nada gugup memandang ketiga orang yang duduk dihadapannya. Tarendra, Kilara dan Karnaka saling berpandangan satu sama lain beberapa saat sebelum Tarendra menatap Sania menjawab pertanyaan wanita itu. "Sebenarnya apa yang kamu inginkan tidak begitu rumit. Kilara bisa mengerjakan desain yang kamu mau dengan segera tapi masalahnya ada pada waktu pengerjaan. Menyelesaikan pembangunan dan interior dalam waktu enam bulan semua selesai dan kamu bisa masuk menempati rumah itu. Enam bulan terlalu singkat untuk rumah dengan luas yang kamu inginkan ini." Sania memasang wajah santai, "Aku rasa enam bulan waktu yang cukup. Kalian hanya perlu mengirimkan banyak tenaga agar proses pembangunan berlangsung dengan cepat lalu setelah bangunan jadi interior bisa langsung dimulai." Karnaka dengan tegas menggelengkan kepalanya, "Tidak bisa semudah itu, Sania. Walau pun saya mengerahkan semua pekerja yang saya miliki untuk mengerjakan rumah kamu tapi sekarang ini sedang musim hujan. Pengerjaan akan otomatis terhenti saat hujan turun." Sania menghela nafas pendek memasang wajah berpikir keras, "Aku ingin rumah itu jadi sebelum aku ulang tahun. Aku pikir aku bisa mengadakan pesta ulang tahun sekaligus pesta merayakan rumah itu." Kilara yang sedari tadi hanya diam pun dalam hatinya meringis. Bagaimana wanita dihadapannya itu bisa dengan santainya merencanakan sebuah hal yang mustahil. Tarendra diam berpikir dan pria itu kembali menatap Sania. "Satu tahun. Saya rasa satu tahun adalah waktu yang cukup untuk menyelesaikan semuanya. Mengingat saat ini sedang musim hujan maka pekerjaan akan terhenti saat hujan turun tapi saat cuaca mendukung semua akan dikebut agar bisa memenuhi tenggang waktu satu tahun pengerjaan itu." Sania memasang tampang kecewa. Jelas wanita itu kecewa karena kenyataan tidak bisa sejalan dengan apa yang wanita itu inginkan. Tarendra, Kilara dan Karnaka diam menunggu respon wanita itu atas ucapan Tarendra. Sania nampak sedang berpikir sambil memandang managernya sesekali. Sania berdiskusi dengan managernya selama beberapa saat hingga akhirnya wanita itu menatap lurus ke arah Tarendra yang duduk berhadapan dengannya. "Oke, satu tahun. Tolong desain rumah itu dengan baik sesuai dengan apa yang aku jabarkan tadi." Tarendra dengan tegas mengangguk, "Baik kalau begitu. Tim dari Track akan membuatkan surat perjanjian kerja yang akan dikirim ke manager anda. Anda bisa membaca isi surat perjanjian itu dan setelah semua ditanda tangani, proses selanjutnya bisa berjalan dan setelah urusan administrasi selesai maka pengerjaan desain akan dimulai." Sania menoleh saling bertukar pandang managernya dan ketika managernya mengangguk Sania kembali menoleh pada Tarendra dan wanita itu menganggukkan kepalanya. Sania dan managernya berdiri. "Aku rasa pertemuan ini selesai. Aku harus menuju tempat reading segera. Kalau ada apa-apa kalian bisa menghubungi managerku." Sania berucap sambil berdiri dan mengulurkan tangannya. Tarendra, Kilara dan Karnaka spontan berdiri dan Tarendra menyambut uluran tangan Sania sambil mengangguk. Sania menyalami satu per satu orang yang ada dihadapannya sebelum wanita itu pamit pergi meninggalkan tempat itu. Sepeninggal Sania, Tarendra kembali duduk yang diikuti Kilara dan Karnaka. Tarendra menoleh menatap Kilara, "Kamu sudah mencatat semua yang Sania katakan tadi, kan?" Kilara dengan tegas mengangguk, "Sudah, Pak. Tadi saya juga merekam untuk berjaga-jaga kalau ada bagian yang saya lupa catat." "Good." Tarendra mengalihkan pandangannya menatap Karnaka. "Lo harus mulai cari pekerja. Proyek ini perlu di kebut. Kita punya waktu yang cukup singkat untuk ukuran rumah tinggal seluas itu. Inget, Ka... Satu tahun itu termasuk interior. Ini risky but worth to try." Karnaka dengan santai mengangguk. "Percaya sama gue." Kilara yang melihat jawaban penuh percaya diri yang dilontarkan oleh Karnaka spontan tersenyum. Karnaka memang tipe pria penuh semangat dan ramah. Pria itu berbanding terbalik dengan pria yang berada di sisinya saat ini. Tanpa sadar Kilara kembali membandingkan Karnaka dan Tarendra dan cara Kilara tersenyum menatap Karnaka membuat Tarendra menatap Kilara dengan tatapan datar. Karnaka pamit lebih dulu karena pria itu harus menuju lokasi proyek meninggalkan Tarendra dan Kilara. Kilara tersenyum ramah membalas Karnaka yang bersikap sama padanya. Tarendra yang melihat Kilara yang masih tersenyum padahal Karnaka sudah pergi menjauh pun memandang wanita yang berdiri di sebelahnya dengan wajah datar. Kilara spontan menoleh menatap Tarendra yang menatap dirinya dengan tatapan datar. "Kenapa, Pak?" Tarendra mendengus, "Sudah saya bilang jangan bandingkan saya dengan Karnaka." Kilara menatap kaget Tarendra dan dengan cepat menggelengkan kepalanya, "Enggak–" "Gak usah bela diri. Muka kamu itu kebaca banget." Tarendra berucap dengan nada ketus dan Kilara spontan memegang wajahnya sendiri. Tarendra berjalan meloyor meninggalkan Kilara yang masih diam ditempatnya. Hih! Kenapa lagi itu orang?! Salah mulu perasaan gue!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD