7. Penasaran

1825 Words
"Jadi Pak Taren kemaren denger percakapan kita, Ki?" Kilara yang saat ini sedang makan siang bersama dengan kelima teman-teman satu ruangannya dengan cuek mengangguki pertanyaan Bagas sambil menikmati semangkuk soto ayam lamongan yang menjadi menu makan siangnya hari ini. Kilara baru saja menceritakan pada teman-temannya mengenai percakapan abstrak dengan bosnya kemarin siang. "Serius? Pak Taren denger semua percakapan kita, Ki?" Bagas memastikan masih dengan wajah kagetnya. Kilara berhenti menyantap sotonya untuk menatap Bagas dengan wajah berpikir lalu menggendikkan bahunya santai, "Enggak tau sih, Mas. Gue kaga sampe berani nanya dia denger mulai dari mana. Dia abstrak gitu bahasnya ya gue jawab abstrak juga." Kilara terdiam beberapa saat mencoba menggali ingatannya mengenai percakapannya dengan Yang Mulia Tarendra Demonio Bagaskara kemarin. "Mukanya kesel sih tapi enggak dia perpanjang." Bagas menggelengkan kepalanya mendengar jawaban Kilara. "Elo sih pake bahas dan muji-muji timnya Pak Karnaka. Apes kita si bos denger dan jadi baper, kan. Semoga aja enggak berpengaruh sama bonus akhir bulan gue. Kalo sampe si bos potong bonus akhir bulan gue nanti bonus akhir bulan elo yang gue sunat, Ki." Bimo yang sedari tadi menyimak percakapan Bagas dan Kilara pun angkat bicara, "Kayak karyawan baru aja lo, Gas. Pak Tarendra enggak bakal otak atik bonus kita kalo performa kita bagus." Bagas meringis. "Ya, bener sih. Tapi elo emang badung banget, Ki. Bener kata Pak Taren, kalo dia ngomong elo jawabin mulu. Untung aja dia kemaren enggak perpanjang." Kilara mengangkat wajahnya sambil menatap Bagas dengan ekspresi datar mendengar ucapan pria itu. "Lah, dia kan ngajak gue ngomong, Mas. Masa gue diem aja. Salah lagi entar gue." Putri yang sedari tadi diam pun kini angkat bicara, "Emang kita pernah bener di depan Pak Taren?" "ENGGAK!" Bagas, Bimo, Kilara bahkan Ivan dan Wilson yang sedari tadi hanya diam ikut-ikutan angkat suara menjawab pertanyaan Putri dengan kompak lalu mereka semua tertawa bersama membuat warung soto lamongan yang menjadi langganan mereka itu menjadi begitu riuh. Kilara termasuk beruntung bisa bertemu dengan kelima teman-temannya. Mereka memiliki kepribadian yang berbeda-beda namun untungnya mereka bisa kompak satu sama lain terlebih dalam hal membahas atasan mereka. Mereka bisa membedakan mana waktunya fokus bekerja mana waktunya bercanda dan kedatangan Kilara dalam divisi itu konon membuat divisi itu semakin berwarna. Kerjaan udah bikin pusing masa suasana di kantor mau dibikin suram juga. Setidaknya begitu yang Kilara pikir. "Ayo, buruan balik ke kantor. Jam makan siang udah mau habis. Jangan sampe Yang Mulia sampe liat ruangan kosong padahal jam makan siang udah abis. Nanti kita bisa kena amuk." Kilara dan keempat teman-temannya yang lain kompak mengangguki ucapan Putri yang selalu bertindak menjadi induk squad pembuat keajaiban. Wanita berusia tiga puluh dua tahun itu baru saja selesai membayar soto lamongan yang menjadi makan siang mereka hari ini. Keenam anggota squad pembuat keajaiban itu meninggalkan warung soto lamongan yang menjadi langganan mereka menuju kantor mereka. Sesampainya di kantor, keenam anggota squad pembuat keajaiban itu langsung duduk di kubikel mereka masing-masing. Dalam ruangan itu terdapat enam kubikel kerja dimana saat masuk ke dalam ruangan di sisi sebelah kiri akan ada kubikel Bimo yang bersebelahan dengan kubikel Bagas lalu dihadapan keduanya ada kubikel Wilson dengan Ivan. Sementara itu di sisi kanan ada kubikel Putri bersebelahan dengan Kilara dan jika lurus dari pintu masuk maka akan mendapati pintu masuk ke dalam ruangan Tarendra sang manager divisi. Keenamnya langsung fokus pada meja kerja mereka masing-masing bersiap untuk kembali melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing. Ditengah-tengah kesibukan keenam karyawan itu tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan Tarendra muncul. Pria itu berjalan lurus ke arah ruangannya namun pria itu menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya berdiri di depan pintu ruangannya sambil menatap Bagas. "Gas, revisi desain klinik dokter gigi di Sepong udah kelar?" Bagas dengan santainya mengangguk, "Sudah, Ren. Sebentar saya kirim." Tarendra dengan cepat mengangguk lalu mengalihkan pandangannya ke arah Bimo yang duduk bersebelahan dengan Bagas. Duo B itu memang tidak terpisahkan karena mereka ternyata memiliki tanggal, bulan bahkan tahun lahir yang sama. Sebuah kebetulan. Tidak, mereka bukan anak kembar. Kedua orang tua mereka berbeda. Tidak ada hubungan darah atau hubungan keluarga dan murni sebuah kebetulan yang membuat keduanya menjadi dekat. Usia Bagas dan Bimo sendiri sepantaran dengan Tarendra membuat keduanya bisa bersikap santai pada atasannya itu di waktu-waktu tertentu. "Kalau desain ruang kantor yang di SCBD udah selesai, Bim?" Bimo dengan cepat mengangkat kedua jempolnya, "Sudah dong, Bos." "Good. Tolong kirim semua desain yang sudah selesai. Saya akan cek satu per satu nanti kalau ada koreksi akan saya kirim via portal," ucap Tarendra sambil mengitarkan pandangannya pada anak buahnya satu per satu. Tarendra masuk ke dalam ruang kerjanya sementara keenam anak buahnya pun mulai melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing sambil tidak lupa melakukan apa yang dititahkan Yang Mulia Tarendra. Ruang kerja divisi Tarendra berada di satu lantai khusus dimana ada ruangan khusus untuk para staf desain yang terletak bersebelahan dengan ruangan para supervisor yang jadi satu dengan ruangan Tarendra dan kedua ruangan itu berdinding kaca sehingga ketika keluar dari lift, orang bisa langsung melihat ke dalam ruangan tapi tidak sampai ke dalam ruangan Tarendra. Ruangan Tarendra dipasangi sticker buram sehingga orang yang berada di luar tidak bisa melihat lurus ke dalam ruangan Yang Mulia Tarendra Demonio Bagaskara. Kilara pun ikut melakukan apa yang dititahkan Tarendra lalu wanita itu kembali fokus mengerjakan project lain yang sudah didelegasikan Tarendra pada timnya. Tarendra mendistribusikan pekerjaan pada anak buahnya menggunakan portal web yang memang sudah dirancang khusus oleh perusahaan untuk mempermudah pekerjaan setiap divisi. Seperti karyawan pada umumnya, Kilara fokus bekerja, melakukan segala kewajibannya dengan baik. Istirahat saat jam istirahat tiba dan kembali bekerja saat jam istirahat selesai lalu pulang saat jam pulang tiba. Namun untuk pulang tepat waktu agak sulit terealisasi karena tumpukan deadline yang harus mereka kejar. Semakin banyak proyek yang bisa mereka kerjakan maka semakin banyak proyek yang akan dikerjakan oleh tim Pak Karnaka dan artinya Track Construction memiliki pendapatan untuk membayar segala kerja keras mereka. "Ki, malem ini lo lembur lagi?" Putri bertanya dengan wajah lelahnya. Kilara menggelengkan kepalanya, "Gue kerjain di rumah aja, Mbak. Kayaknya badan gue udah mulai mau drop nih. Kemarin gue lupa bawa payung. Keujanan deh." Putri berdecak, "Lo sih. Udah tau musim ujan kenapa pake lupa bawa payung. Cari penyakit aja lo mah." Kilara meringis. "Namanya lupa, Mbak." "Ya udah balik deh lo sana. Nanti drop bahaya. Kerjaan kita semua lagi numpuk jadi jangan coba-coba drop. Enggak ada yang bisa back up lo, Ki." Kilara pun dengan cepat memberikan hormat pada Putri yang duduk disebelahnya, "Siap, delapan enam." Putri merotasi bola matanya dan kembali bekerja disaat Kilara terkekeh dan membereskan barang-barangnya. Kilara pamit pada Putri lalu wanita itu keluar dari ruangannya dan menunggu lift yang sedang turun dari lantai atas. Kilara menunggu dan ketika pintu lift terbuka wanita itu kaget mendapati Si Bos Kulkas dengan ekspresi datarnya kini menatapnya dari dalam lift. "Kamu mau masuk atau cuma mau bengong? Kalau cuma mau bengong saya tutup pintunya." Kilara masuk ke dalam lift, "Pintu lift juga baru kebuka, Pak. Sabar jadi orang, Pak. Biar kuburannya nanti lebar." Tarendra menatap Kilara yang sudah berdiri di dalam lift dengan bombastic side eyesnya, "Kenapa bawa-bawa kuburan? Kamu doain saya mati?" "Ih, Suudzon nih bapak sama saya. Saya mana tega doain bapak mati. Nanti yang jadi manager divisi siapa atuh, Pak?" Tarendra menggeser posisi tubuhnya dan bersedekap menatap Kilara dengan ekspresi datarnya, "Kamu tuh selalu punya jawaban ya?" Kilara menatap Tarendra dan memberikan senyum lebar pada atasannya itu. "Orang nanya ya mesti di jawab dong, Pak. Itu namanya tau sopan santun." Tarendra tersenyum sinis, "Sopan, heh?" Pria itu menjeda kalimatnya untuk menggelengkan kepalanya dan kembali merubah posisi tubuhnya menghadap ke pintu lift, "Kamu ini masuk divisi saya paling terakhir tapi malah paling badung." 'Bapak juga bos saya yang terakhir tapi yang paling sering bikin darah tinggi!' ucap Kilara dalam hati tentunya sambil merotasi bola matanya usai mendengar ucapan bosnya itu. Ketika pintu terbuka, Kilara dengan sopan pamit pada bosnya dan buru-buru berjalan lurus ke arah pintu keluar namun langkah wanita itu terhenti saat ia berpapasan dengan Karnaka Bagaskara. Karnaka dengan keramahannya mendatangi Kilara membuat Kilara spontan tersenyum. "Hai, Kilara. Baru mau pulang?" Kilara mengangguk, "Halo, Pak Karnaka. Iya, Pak. Saya baru mau pulang. Bapak kok jam segini malah kantor?" Karnaka menggaruk lehernya sendiri sambil meringis, "Ada yang ketinggalan di ruangan saya. Kamu sudah mau pulang? Tunggu sebentar ya... Saya naik dulu nanti saya antar kamu pulang." Kilara mendadak panik. "Eh, enggak perlu, Pak. Saya bisa pulang naik ojek online, kok." "Ojek online jam-jam segini susah, La... Tunggu sebentar saya naik, ya..." Karnaka meloyor begitu saja pergi tanpa menunggu respon Kilara. Kilara menatap Karnaka yang sudah berlari ke arah lift lalu menyapa Tarendra singkat saat berpapasan dengan wajah kebingungan. Kilara takut Karnaka tersinggung kalau ia pergi begitu saja. Namun di waktu yang sama, Kilara pun menyadari kalau ternyata Tarendra dan Karnaka memiliki satu persamaan. Kedua pria keturunan Bagaskara itu ternyata memiliki kebiasaan yang sama. Meloyor pergi begitu saja meninggalkan lawan bicara mereka tanpa repot-repot menunggu respon lawan bicara mereka. Sementara itu Tarendra yang bisa melihat interaksi karyawannya yang badung itu dengan sepupunya dengan jelas pun spontan menegerutkan alis. Tarendra bersedekap menatap Kilara, "Kamu punya berapa banyak kepribadian?" "Hah? Maksudnya gimana, Pak?" Tarendra mendengus mendengar jawaban Kilara. "Orang nanya itu dijawab bukannya ditanya balik. Itu pengetahuan umum yang anak SD saja tau." Kilara menahan diri mendengus karena ucapan bosnya barusan. "Saya tau, Pak. Tapi masalahnya kalau bapak yang nanya itu suka abstrak pertanyaannya dan saya perlu perjelas supaya enggak salah jawab." Tarendra berdecak. Pria itu sadar kalau memperpanjang percakapan dengan Kilara hanya akan membuat Tarendra kesal. Sesungguhnya Tarendra tidak begitu mengenal Kilara walau Kilara adalah adik dari teman semasa SMAnya dulu. Khavi hanya memperkenalkan mereka secara sekilas karena mereka berpapasan dan pertemuan-pertemuan selanjutnya mereka cuek satu sama lain karena Tarendra lebih banyak berada di kamar Khavi untuk mengerjakan tugas kelompok mereka. Untungnya selama bekerja Kilara tidak pernah membahas apapun tentang Khavi. Tarendra bersyukur karena peringatannya di awal pertemuan mereka nyatanya membekas di kepala Kilara. Wanita itu tidak pernah berusaha mendapatkan perlakuan khusus walau Kilara tau Tarendra dan Khavi saling mengenal di masa lalu dan wanita itu membuktikan bahwa ia memiliki kemampuan yang bisa diandalkan oleh Tarendra. Selama hampir dua tahun bekerja dengan Kilara, Tarendra merasa baru melihat anak buahnya dalam versi yang berbeda. Kilara yang selama ini ia temui adalah seorang karyawan badung yang hobinya membuatnya sakit kepala. Wanita itu suka sekali marah-marah dan menatapnya sengit padahal Tarendra ini adalah bosnya. Kilara akan bersikap berbeda saat sedang bersama teman-temannya. Wanita itu akan bersikap konyol dan ceplas ceplos saat bersama dengan kelima teman-temannya dan barusan rasanya Tarendra baru saja melihat sisi lain karyawannya yang badung itu. Tarendra melihat Kilara bersikap malu-malu dan lebih banyak tersenyum saat dengan Karnaka. Menyadari hal ini spontan membuat Tarendra berpikir. Rasa penasaran muncul dalam diri Tarendra. Sebenarnya ada berapa kepribadian yang Kilara memiliki? Jangan-jangan sesuatu sudah terjadi diantara Kilara dan Karnaka tapi Tarendra tidak menyadarinya. Kenapa ada rasa kesal yang merayap masuk ke dalam hatinya memikirkan bahwa sudah terjadi sesuatu yang sudah terjadi diantara sepupu dan karyawan badungnya itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD