"Astaghfirullah, Dek. Kamu kenapa kayak kucing kecebur got begini."
Kilara yang baru sampai rumah langsung berteriak mencari keberadaan kakaknya dan ketika kakaknya muncul, Kilara langsung memeluk erat kakaknya tidak peduli dengan kondisinya saat ini. Kilara begitu merindukan Khavi karena saat ini ia hanya memiliki Khavi sebagai keluarga satu-satunya yang ia miliki. Berada jauh dari Khavi jelas membuat Kilara merasa sedih namun semua itu harus ia dan Khavi jalani karena pekerjaan Khavi yang mengharuskan pria itu pindah sementara waktu ke Surabaya.
"Namanya juga hujan, Kak. Ya, basah kehujanan dong masa kecebur got." Kilara merajuk mendengar ucapan kakak kesayangannya itu.
Khavi tertawa dan melepaskan pelukan diantara mereka, "Mandi dulu. Kakak bawa oleh-oleh buat kamu."
Mata Kilara berbinar mendengar kata oleh-oleh yang keluar dari mulut kakak laki-lakinya itu. Kilara dengan segera melakukan apa yang Kakaknya ucapkan dan begitu sudah selesai Kilara kembali mencari kakaknya. Keduanya duduk di ruang keluarga dan Khavi dengan wajah sumeringah menunjukkan sebuah paperbag besar yang membuat Kilara antusias bukan main.
Kehidupan Khavi dan Kilara yang tidak bisa dibilang mudah mengajarkan keduanya untuk saling menjaga satu sama lain dan saling menyayangi satu sama lain. Keduanya berusaha bertahan di tengah kerasnya dunia dan Khavi akan terus berusaha membahagiakan dan menjaga Kilara seperti yang sudah pria itu ucapkan pada Kilara di hari pemakaman mama mereka.
Kilara saat ini sudah berusia dua puluh tujuh tahun namun saat wanita itu berhadapan dengan Khavi, Kilara mendadak berubah menjadi anak kecil dan Khavi kadang gemas sendiri dengan kelakuan adik perempuannya itu. Kini wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu sudah selesai membersihkan diri dan kini sedang berlari menuju dirinya dengan binar bahagia yang terpancar di wajahnya. Adik kesayangannya itu membuka oleh-oleh darinya dengan wajah antusias membuat Khavi kembali bersumpah pada dirinya sendiri kalau ia akan terus menjaga binar bahagia itu tetap terpancar dari mata adik perempuan satu-satunya yang ia miliki itu.
"Kamu jadi pulang naik apa?" Khavi bertanya pada Kilara yang kini sedang sibuk mengeluarkan botol-botol sambel yang ia bawa untuk adik kesayangannya itu.
"Naik ojek, Kak."
"Duh, udah tau hujan kenapa masih naik ojek, sih."
"Biar cepet aja sih, Kak."
Khavi menyipitkan matanya menatap Kilara yang menjawab dengan nada enteng, "Cepet tapi nanti sakit gimana?"
"Doanya kok jelek begitu. Bilangnya jangan sakit dong." Kilara merajuk pada Khavi.
Khavi mendengus, "Kalau ucapan kamu baik tapi tingkah laku kamu enggak baik gimana mau jadi kenyataan juga, Ara?"
Kilara yang mendengar Khavi sudah memanggil nama kecilnya bukan panggilan Dek seperti biasanya pun auto diam. Kilara hafal betul kalau Kakaknya memiliki satu ciri khas. Pria itu akan memanggil nama kecilnya disaat pria itu sudah kesal padanya dan jika sudah ada tanda ini Kilara memilih diam dan menuruti kata kakaknya dari pada melihat kemarahan kakaknya yang membuatnya ngeri sendiri.
Tidak. Jangan pikir Khavi akan marah dengan nada tinggi meledak menggebu-gebu. Khavi yang marah akan menatapnya tajam dan pria itu memancarkan aura yang membuat Kilara bergidik ngeri. Hanya melihat ekspresi Khavi saja Kilara sudah merasa takut dan jika ia terus menentang Khavi akan memilih diam membiarkan Kilara melakukan apapun yang ia mau dan bersikap abai pada Kilara. Kilara pernah merasakannya dan Kilara malah merasa tersiksa dengan perubahan sikap kakaknya itu. Kilara kehilangan kakaknya yang selalu bersikap hangat dan semenjak merasakan hal itu Kilara memutuskan untuk tidak melawan Khavi lagi. Jika dipikir-pikir toh apa yang Khavi ucapkan memang adalah hal baik untuk dirinya.
"Gimana kerja sama Taren? Taren sehat?"
"Kerja sama temen kakak ya begitu, belum berubah. Temen kakak itu nyebelin pangkat tak terhingga kalau soal kasih kerjaan. Lagian kakak kenapa enggak mau tanya langsung sama orangnya? Kan kalian temenan. Lagian kok kakak dulu bisa sih temenan sama Demon."
Khavi tertawa, "Kamu itu punya berapa banyak julukan buat si Taren sih, Dek? Demon, Monster bigfoot, Kulkas, Yang Mulia, kakak sampe hafal rasanya..." Khavi menjeda ucapannya untuk meredakan tawanya, "Taren pasti tau kemampuan anak buahnya jadi dia kasih kerjaan juga enggak akan sembarangan. Kalau dia kasih kamu proyek ke kamu artinya dia percaya kamu bisa mengerjakan proyek itu," Khavi menjeda kalimatnya untuk menggaruk tengkuknya mendengar ucapan Kilara, "Kalau soal kontekan sama Taren, Kakak sungkan, Dek. Kakak takut dia salah paham karena kakak kontek dia nanti dipikir mau nepotisme lagi. Kakak inget sama cerita kamu soal interview kamu dulu jadi Kakak enggak berani kontek dia toh dia juga enggak tanya soal kakak ke kamu atau berusaha kontek kakak padahal dia tau kamu ini adik kakak yang kerja bareng dia."
Kilara meringis mendengar ucapan kakaknya sendiri. Pola pikir Tarendra memang unik.
Khavi menatap Kilara dengan wajah berpikir. "Tapi kalau dipikir-pikir mungkin Taren sering bertemu dengan orang yang suka melakukan nepotisme jadi dia antipati duluan, Dek. Kakak liat berita dia di internet kalau dia itu pewaris gurita usaha Bagaskara Group. Bagaskara Group itu gede loh, Dek. Bukan cuma konstruksi aja tapi juga ada penjualannya juga. Hemmm... Penjualan alat berat kalau tidak salah ya, Dek?"
Kilara mengangguk. "Pak Salim memang pebisnis yang pandai melihat peluang, Kak. Track itu melakukan banyak proyek dan memiliki alat berat yang cukup banyak dan perlu regenerasi alat berat. Alat berat yang tidak terpakai dibuat produktif dengan disewakan sedangkan yang sudah lama di jual kembali. Mereka membeli alat baru untuk digunakan sekaligus menjualnya. Bagian ini di kelola oleh Pak Harun, papanya Pak Taren."
Khavi mengangguk mendengarkan penjelasan adiknya, "Pantesan. Posisi Taren emang bikin dia leluasa buat narik siapapun masuk ke Bagaskara Group yang besar dan kalau orangnya enggak bisa kerja pada akhirnya Taren sendiri yang kesulitan karena ia yang membawa orang itu selain itu bisa jadi pisau bermata dua kalau orang itu bersikap semena-mena karena merasa orang yang masuk dibawa oleh Taren."
"Tapi enggak semua orang berniat melakukan nepotisme, Kak. Kita tidak bisa memukul rata semua orang memiliki niat yang sama."
Khavi mengangguk membenarkan ucapan adiknya, "Memang betul, tapi coba posisikan diri kita pada posisi orang yang pernah berhadapan dengan orang dengan niatan nepotisme. Kita dengan tulus berusaha menolong orang mencari pekerjaan tapi ternyata orang itu tidak memiliki kemampuan dan bersikap seenaknya saat bekerja dengan membawa-bawa nama kita sebagai tameng. Pada akhirnya orang yang kita bawa tidak perform dan nama siapa yang jelek? Nama kita kan? Karena kita yang membawa orang itu masuk tapi orang yang kita bawa masuk tidak bisa bekerja dan hanya menjadi beban perusahaan aja."
Kilara terdiam mendengar ucapan Khavi. Ucapan kakaknya memang benar tapi otak Kilara rasanya masih tidak bisa menerima alasan itu.
Khavi yang melihat jam sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam pun berdiri dan berjalan ke arah Kilara, pria itu menepuk puncak kepala adiknya. "Sudah, sekarang lebih baik kita istirahat. Besok kita kerja lagi. Kakak besok juga harus ke kantor karena ada yang perlu kakak selesaikan. Nanti kita berangkat bareng."
Kilara melihat jam dan wanita itu spontan mengangguk. Kilara membereskan kembali oleh-oleh yang kakaknya bawa ke dalam kantung spontan membulatkan matanya mengingat apa yang ia lakukan tadi. Besok kira-kira bosnya marah tidak ya?
***
Kilara melarikan diri dengan pergi meninjau lapangan yang akan menjadi proyek selanjutnya yang akan ia kerjakan. Jika dipikir-pikir ucapan Khavi memang ada benarnya, Tarendra memberikan pekerjaan pada anak buahnya sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Kilara dan Putri lebih banyak mengerjakan desain rumah tinggal dan sesekali mengerjakan desain kantor sementara yang lainnya mengerjakan desain lain. Bagas dan Bimo mengerjakan desain bangunan yang lebih kompleks seperti hotel atau resort, Wilson dan Ivan mengerjakan desain bangunan seperti pabrik atau pusat perbelanjaan.
Kilara mencatat hal-hal yang perlu ia perhatikan pada desain yang akan ia kerjakan lalu saat wanita itu merasa semua yang ia butuhkan sudah ia dapatkan, wanita itu melaju menuju kantor dan tepat setelah makan siang wanita itu sudah ada di ruangannya dan wanita itu berbicara pada Putri melalui tatapannya dan wanita itu spontan mengangguk. Kilara duduk di kursinya dan wanita itu menatap wanita yang duduk disebelahnya itu.
"Berapa temperatur suhu hari ini?" tanya Kilara dengan nada pelan.
Putri merubah lirikan matanya menatap Kilara sejenak, "Dari pagi udah minus seratus derajat. Jangan betingkah nanti muncul badai salju."
Kilara bergidik ngeri, Aje gile. Minus seratus? Siapa yang bikin ulah sampe bos sedingin itu?
Kilara mulai mengeluarkan laptop dan buku catatannya. Wanita itu mulai mengerjakan desain proyek baru yang ia tangani dengan fokus hingga fokus itu terpecah karena suara tarikan pintu yang cukup kencang. Kilara tanpa sadar komat-kamit dalam hatinya berharap bosnya itu tidak menghampirinya dengan kondisi mood pria itu yang sedang jelek. Jangan angkat kepala, Kilara. Jangan angkat kepala, Kilara. Pergi-pergilah kau Iblis Demon.
"Kamu sudah kembali dari lapangan rupanya. Siap-siap ikut saya meeting."
Kilara mengumpat kencang dalam hatinya. Kilara tau siapa yang Tarendra maksud. Hanya dirinya satu-satunya karyawan di ruangan itu yang pergi ke lapangan hari ini. Kilara pun perlahan mengangkat pandangannya dan menatap bosnya yang sudah memasang wajah datar. Fix suhunya minus seratus derajat. Dingin brooo dingiiinnnn... sumpehhh...
"Bawa barang-barang kamu dan sepuluh menit lagi, Kita ketemu di lobby kantor, Kilara."
Kilara pun spontan mengangguk dan tanpa menunggu Kilara menjawab ucapannya Tarendra sudah keluar ruangan dengan menarik pintu dengan kasar hingga pintu ruangan itu pun tertutup dengan menimbulkan suara.
"Duh, enggak sehat lama-lama jantung gue begini terus. Buru turun deh lo, Ki. Jangan sampe dia balik naik terus ada badai salju yang meluluhlantakkan ruangan ini." Bimo berucap dengan menatap Kilara dan sambil memegangi dadaanya sendiri.
Kilara meringis mengangguk sambil memasukkan kembali laptopnya. "Iya, Bang."
"Siapa sih yang bikin ulah nih? Si bos dari pagi dingin banget temperatur suhunya. Sampe takut beku gue." Bagas ikut-ikutan angkat bicara dengan nada menggerutu kesal.
Kilara berdiri sambil menggendikkan bahunya, "Mana gue tau, Mas. Gue kan baru dateng. Udah ya gue jalan dulu. Nanti si bos kesel lama nunggu, gue yang beku di jalan."
Kelima teman satu ruangan Kilara kompak mengangguki ucapan wanita itu dan Kilara dengan cepat melesat turun dan mendapati Tarendra kini sedang berbincang dengan Karnaka. Kilara berjalan mendekat dan dua ekspresi berbeda Kilara dapatkan ketika ia sampai di dekat kedua pria itu. Disaat Tarendra memandangnya dengan tatapan datar, Karnaka dengan wajah ramahnya tersenyum dan menyapa Kilara.
"Eh, ada kamu Kilara. Kamu yang diajak Taren meeting?"
Kilara hendak menjawab namun Tarendra dengan nada ketus langsung menyerobot menjawab pertanyaan yang ditujukkan untuk Kilara itu. "Gak usah basa-basi busuk, Ka. Ini proyek rumah tinggal jelas gue ajak Kilara bukannya si Bagas apa Bimo. Emang udah kerjaan dia jadi gue ajak dia pergi meeting. Udah jangan banyak tebar pesona. Mending jalan sebelum macet."
Kilara menahan ekspresinya. Mulut bosnya itu memang enggak kenal status. Sepupu pun masih kena mulut pedes ngegas maha dahsyat milik Yang Mulia Tarendra Demonio Bagaskara. Kilara sendiri malah takjub melihat ekspresi Karnaka yang menerima ucapan pedas layaknya seblak cabe sepuluh kilo itu hanya menggelengkan kepalanya. Mungkin pria itu sudah terbiasa.
Ketika mobil datang, Tarendra dengan cepat membuka pintu belakang dan masuk kedalam mobil meninggalkan Karnaka dan Kilara. Karnaka dengan santainya membukakan pintu penumpang depan dan memberi isyarat Kilara untuk naik sambil berbicara dengan nada pelan seolah berbisik, "Mending kamu di depan, Ki. Bos kamu lagi mode anjing heder. Salah dikit kena gigit kamu."
"Karnaka Bagaskara!" Tarendra memanggil nama lengkap Karnaka dengan nada peringatan.
Suara Tarendra spontan membuat Kilara kaget dan wanita itu langsung melangkahkan kaki mendekati mobil dan masuk ke dalam mobil. Karnaka spontan terkekeh melihat aksi Kilara. Karnaka menutup pintu dan pria itu duduk di kursi penumpang bagian belakang bersebelahan dengan Yang Mulia Tarendra. Jangan tanya bagaimana suasana dalam mobil itu. Rasanya dingin dari ac mobil bercampur dengan dingin aura yang dipancarkan oleh bosnya yang duduk di belakang. Kilara bergidik ngeri dan spontan Kilara mengambil ponselnya dan membuka ruang chat 'Squad Pembuat Keajaiban'.
Kilara : Please, Someone help me!