11. Dosa gak sih?

1905 Words
"Ngapain kamu diem di pantry masang muka ngenes gitu?" Tarendra berjalan menuju kulkas mengambil sesuatu dari dalam kulkas. Abaikan Kilara... A-bai-kan... Kilara memilih diam dan masa bodo dengan sopan santun. Kilara masih kesal dan di jam istirahat ini wanita itu memilih untuk duduk sejenak di pantry untuk menyeduh teh manis hangat demi memperbaiki moodnya. Ini adalah jam istirahat, sah-sah saja jika Kilara menghabiskan waktu istirahatnya dimana pun yang ia mau. Wanita itu merasa perlu menenangkan diri pasca badai salju yang menerjang dirinya perkara salah halaman yang membuatnya di maki-maki oleh Yang Mulia Tarendra Demonio Bagaskara tadi spontan memejamkan matanya mendengar suara si makhluk yang berasal dari alam lain itu. Tarendra mendengus melihat Kilara yang hanya diam tidak menjawab ucapannya. "Sudah diupload lagi revisi kerjaan kamu tadi?" "Sudah, Pak." Kilara menjawab dengan nada malas. Mengabaikan Tarendra terus menurus jelas akan membuat masalah baru dan pria itu sepertinya belum berniat meninggalkan Kilara seorang diri karena pria itu masih berusaha mengajaknya berbicara dengan mengajukan pertanyaan lainnya. Tangan kanan Tarendra memegang sebuah botol dan pria itu kini bersedekap bersender pada kulkas yang ada di pantry sambil menatap Kilara dengan alis terangkat sebelah, "Sudah tau salahnya dimana?" "Sudah, Pak." Kilara menjawab masih dengan nada yang sama. Tarendra mempertahankan ekpresinya, "Sudah yakin sudah di revisi?" "Sudah, Pak." "Sudah yakin tidak ada yang salah lagi?" "Sudah, Pak." Kilara membeo dengan nada yang sama walau dalam hatinya wanita itu sudah mengomel. Berisik banget sih! Cepet pergi sana! Pergiii! "Sudah sadar kalau kamu bodoh?" Tarendra menyeringai diakhir kalimatnya. "Sudah..." Kilara menatap Tarendra dengan wajah kaget "Lho, kok saya bodoh? Saya enggak bodoh!" Kilara ngegas karena sadar dikerjai oleh bosnya sendiri. Tarendra pun spontan mendengus. "Kalau orang tanya itu makannya jawab yang serius jangan kayak burung beo aja. Lama-lama saya bisa stroke punya karyawan badung kayak kamu. Dikasih tau ngelawan terus, ngomel terus, udah gitu kerja suka gak teliti." Kilara mengerutkan alisnya, kok dia malah ngeroasting gue begini? "Pak, duduk deh sini barengan saya. Kita jujur aja, Pak. Bapak lagi PMS apa gimana? Perasaan dari tadi marah-marah melulu." Tarendra berjalan mendekati Kilara dan menjentik dahi wanita itu hingga wanita itu mengaduh kesakitan. "Sembarangan! Badung banget sih kamu ini. Saya ini pria saya enggak kenal istilah PMS. Lagian kalo punya karyawan Badung kayak kamu, bos mana pun pasti bakal marah-marah terus. Kamu badung banget jadi karyawan." Tarendra berucap dengan nada kesal sambil menatap sengit anak buahnya itu. Kilara yang kesal karena ulah bosnya barusan pun tidak mau kalah. "Sembarangan aja, Si Bapak, mah! Saya enggak badung, Pak! Lagian Bapak duluan ya!" "Duluan apa?" Sambung Tarendra dengan nada tak kalah sengit. Ngapain marah-marah kayak orang kesurupan padahal cuma salah letak halaman! jawab Kilara dalam hati tentunya. Kilara mendadak sadar ia bisa mendatangkan gelombang badai salju jilid dua sehingga Kilara memilih menghela nafas pendek sambil memejamkan matanya sesaat meredakan emosinya yang lagi-lagi naik karena makhluk dari planet lain atau alam lain yang di hadapannya ini. Tarendra menghela nafas panjang, "Kamu tau alasan saya marah besar sama kamu tadi apa?" "Karena salah letak halaman, Pak." Tarendra mengangguk, "Dan itu adalah hal yang enggak perlu terjadi. Kamu bukan anak fresh graduate dan kalau pun anak fresh garaduate pun saya rasa enggak akan melakukan kesalahan sebodoh itu. Kesalahan konyol yang seharusnya enggak perlu sampe ada kalau kamu bekerja dengan fokus. Saya enggak melarang kamu dekat atau pacaran dengan siapapun tapi untuk urusan pekerjaan kamu harus serius, Kilara." Kilara hanya diam mendengarkan ucapan Tarendra namun harus diakui kalau ucapan bosnya benar. Salah peletakan halaman adalah sebuah hal konyol dan tidak seharusnya ia lakukan. Kilara sadar akan kesalahannya tapi seharusnya tidak perlu marah-marah sampe teriak menggelegar juga kali. Bicara baik-baik kan bisa. Namun pembelaan itu hanya bisa Kilara ucapkan dalam hatinya dan ia memilih tetap diam karena tidak ingin memperpanjang masalah yang sudah selesai. "Saya paham kamu ini bandel, suka ngelawan, ceroboh, kurang fokus, tidak teliti, kurang berusaha keras dan kurang motivasi tapi kamu harus berubah. Kamu ini pintar dan ide dalam kepala kamu kebanyakan bagus tapi kamu perlu usaha." Tarendra menatap Kilara dengan wajah serius. Kilara mengerutkan alisnya, "Kenapa image saya jelek banget ya, Pak?" Tarendra menyipitkan matanya memandang malas anak buahnya itu. "Gak usah mengalihkan pembicaraan saya. Seharusnya kamu bersyukur punya atasan yang teliti, pintar, suka berbagi ilmu dan sabar ngadepin tingkah badung kamu." Kilara kini sedang menahan diri untuk tidak merotasi bola matanya dan menutup mulutnya rapat-rapat mencegah lidahnya mengeluarkan kata-kata balasan yang ia ucapkan dalam hati saat ini. Sabar dari Hongkong?! Enggak sekalian murah senyum, rajin menabung dan nurut kata orang tua, Pak?! Kilara menahan diri dan memasang wajah senyum polos pada Tarendra. Tarendra yang melihat Kilara hanya tersenyum-senyum tidak jelas pun menggelengkan kepalanya menatap Kilara lalu pergi meninggalkan wanita itu sendirian di dalam pantry. Bagi Kilara bekerja di Track adalah pilihan terbaik yang ia miliki saat ini. Kilara butuh uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Kilara adalah seorang perintis dan bukan pewaris. Kilara harus berusaha berdiri dengan kedua kakinya sendiri untuk memenuhi kebutuhannya dan juga masa depannya nanti. Kilara sudah bertahan selama dua tahun dan selama dua tahun Kilara berjuang sambil mencoba mencari lowongan baru yang sayangnya belum ada lowongan yang bisa memberikannya pendapatan yang lebih dari yang ia terima dari Track sehingga Kilara bertahan dengan pekerjaannya saat ini sambil tetap berusaha mencari pekerjaan di tempat lain. Khusus hari ini Kilara tidak ingin lembur. Hari ini kakak laki-laki kesayangannya pulang dan Kilara ingin cepat-cepat bertemu dengan kakaknya. Bahkan sebelum jam makan siang selesai, Kilara sudah kembali mengerjakan pekerjaannya dan mengupload desain yang perlu ia upload hari ini agar ia bisa pulang tepat waktu. Kilara bekerja dengan fokus hingga pada akhirnya rencananya hari itu berjalan dengan lancar. Kilara bisa membereskan barang-barangnya mendekati jam pulang kerja dan tepat jam kerja berakhir Kilara berdiri dari kursinya membuat teman-temannya spontan angkat kepala menatap junior mereka itu. "Lo udah mau pulang, Ki?" Putri menatap Kilara dengan wajah kaget. Kilara spontan mengangguk, "Hari ini Kakak gue pulang, Mbak. Gue pengen cepet-cepet ketemu udah kangen." Berhubung apa yang harus Kilara kerjakan sudah ia kerjakan dan tidak ada lagi deadline mendesak, akhirnya Kilara bisa menjalankan rencananya dengan pulang on time kali ini "Kerjaan udah beres semua, Ki? Jangan bikin badai salju besok, ya." Bagas memperingatkan Kilara dengan wajah serius. Kilara mengangguk tegas, "Aman, Mas. Gue jamin besok enggak ada badai salju lagi." Bagas mengangguk lalu menunjuk awan kelabu yang menyelimuti kota Jakarta yang terlihat dari jendela ruangan mereka, "Sudah mau hujan, Pulangnya hati-hati, Salam sama kakak lo, ya." Kilara mengangguk cepat dan pamit pada teman-teman satu ruangannya. Kilara tau awan sudah gelap dan wanita itu harus bergegas tapi meloyor begitu saja saat teman-temannya mengajak bicara pun tidak sopan. Kilara pun akhirnya menanggapi dengan cepat lalu saat semua selesai Kilara berlari turun sambil memesan ojek online untuk pulang ke rumah dengan segera. Kilara pikir pulang menggunakan taksi online bisa membuatnya sampai lebih aman dari ancaman hujan namun sialnya taksi online bahkan ojek online begitu sulit ia dapatkan di jam sibuk seperti ini. Kilara mencoba beberapa kali hingga akhirnya wanita itu menyerah dan memesan ojek biasa yang memang mangkal di dekat kantornya ada dengan resiko kehujanan namun Kilara berdoa semoga saja ia selamat tanpa kehujanan sampai rumah. Namun Nasib kurang beruntung menghampiri Kilara, ditengah jalan hujan lebat membuat Kilara terpaksa berhenti dibawah jembatan bersama dengan puluhan pengendara lain. Setelah menunggu beberapa saat dan hujan tidak kunjung reda, Kilara memutuskan membayar ojek itu dan menepi di restoran cepat saji untuk mengisi perutnya sambil menunggu hujan reda. Kilara tersenyum sambil membuka ruang chat antara dirinya dan kakak laki-lakinya. Kak Khavi : Kakak sudah di rumah ya. Di rumah hujan, hati-hati dijalan, Dek. Kilara : Iya, Kak. Di sini juga hujan. Aku neduh sambil makan dulu. Kak Khavi : Ya, sudah. Ingat hati-hati. Jangan hujan-hujanan. Kilara : Siap 86. Pesanan aku dibawa? Kak Khavi : Kamu pesan apa memangnya? Kilara : Kak Khavi kok gitu sih?! Kakak lupa? Kak Khavi : Serius, Dek. Kamu emang pesen apa? Aku gak bawa apa-apa. Kilara : Ih, Kok lupa sama janji sendiri sih. Bete! Kak Khavi : Hahahaha. Ngambek terus. Kilara : Bodo! Kak Khavi kok gak bawa pesenan aku sih. Kak Khavi : Bawa kok bawa. Emang aku pernah ingkar janji sama kamu? Kilara spontan tersenyum membaca pesan terakhir dari kakak laki-lakinya itu. Khavi tidak pernah ingkar janji padanya. Kilara masih ingat ucapan Khavi dihari pemakaman mama mereka dulu dan sampai hari ini kakak laki-lakinya itu memegang teguh ucapannya membuat Kilara bersyukur memiliki kakak laki-laki seorang Khavindra Agung. "Kamu kenapa senyum-senyum begitu?" Kilara menegakkan kepalanya dan dengan syok Kilara memasang wajah kaget memandang Tarendra Demonio Bagaskara berdiri menjulang bak tiang listrik di depannya. Pria itu kini sedang membawa nampan makanannya dan dengan santainya pria itu meletakkannya di meja Kilara dan duduk berhadapan dengan Kilara. "Bapak kenapa bisa ada disini? Lho, kok duduk disini, Pak?" tanya Kilara dengan nada heran. Pasalnya, tempat Kilara ada saat ini sudah jauh dari kantor dan pria itu ada ditempat ini membuatnya merasa sedang dejavu, Dia lagi, dia lagi. "Tempat ini bukan punya kamu, Kilara. Lagian emang ada larangannya saya duduk disini? Saya ada janji sama orang lalu hujan bikin acaranya ditunda. Saya mampir kesini buat makan dan ternyata kamu ada disini," jawab Tarendra dengan nada santai sambil mulai bersiap menyantap makanannya. Kilara yang melihat Tarendra duduk dengan santai dihadapannya dan hendak memakan makanan miliknya pun membulatkan matanya, "Lho, kok makan disini, Pak. Meja lain kan masih ada yang kosong." Tarendra menjeda gerakannya dan memandang malas Kilara, "Diluar hujan, Kilara. Kalau orang mau neduh tapi enggak ada meja kosong kan kasihan. Lagian saya kasihan sama kamu sendirian. Tampang kamu juga menyedihkan banget bikin saya makin kasihan. Saya berbaik hati sama kamu jadi saya temenin biar enggak kesepian." Tarendra dengan cuek memulai kegiatan makannya sementara Kilara menatap pria dihadapannya dengan tatapan permusuhan. Jawaban macam apa itu. Kilara memang sendirian tapi tampangnya enggak menyedihkan sampe perlu ditemenin seperti kata bos sialannya barusan. Kilara memasukkan ponselnya dan menatap lurus ke arah jendela dimana derai hujan terlihat jelas. Rasa laparnya menguap tergantikan rasa kesal berhadapan dengan Bos Kulkas yang selalu berhasil membuat dirinya auto naik darah. Jika di ingat-ingat Kilara memang tidak pernah bersikap santai jika berhadapan dengan Tarendra. Ingatan pria itu meremehkan kemampuannya dan menganggapnya ingin melakukan tindakan nepotisme jelas mengusik ego Kilara. Di dunia ini memang ada orang yang seperti itu tapi bukan Kilara orangnya dan Tarendra harusnya tidak memukul rata seperti itu. Ketika Kilara dinyatakan lolos dan diterima menjadi karyawan Track lalu wanita itu tau kalau orang yang meremehkannya adalah bosnya sendiri, Kilara berusaha keras menunjukan bahwa ia memang memiliki kemampuan dan tidak pernah sekali pun bersikap sok dekat dengan pria itu dengan membahas mengenai hubungan bosnya dengan kakak laki-lakinya di masa lalu. Kilara memegang teguh bahwa ia akan menjaga jarak dan batas profesional sebagai seorang bos dan karyawan dengan pria bernama Tarendra Demonio Bagaskara. Namun seiring berjalannya waktu bekerja bersama dengan Bos Kulkas yang tidak memiliki nilai plus itu membuat Kilara merasa kesabarannya yang setipis tisue yang dibelah dua dan celupkan ke air itu diuji oleh sosok Tarendra Demonio Bagaskara. Semakin hari Kilara semakin berpikir Dosa gak sih belajar ilmu santet? Keinginan Kilara memahami ilmu santet makin hari makin besar seiring seringnya berinteraksi dengan Bos Kulkas yang kelakuannya minus ini. "Sudah, jangan mengumpati saya dalam hati kamu terus. Cara kamu liat saya udah kayak mau melenyapkan saya dari dunia ini aja. Cepet makan makanan kamu nanti pulangnya saya antar," ucap Tarendra sambil menatap Kilara sesaat kemudian kembali fokus dengan makanannya. Kilara mendadak diam, Eh? Gimana? Dia mau apa? Kok tumben.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD