Kilara duduk dalam ruangan meeting melakukan meeting singkat dengan keempat anak buahnya. Edo, Esti, Doni dan Zidan. Kilara duduk dengan bahu yang sedikit terkulai karena ia mendatangi timnya dengan berita buruk. Wajah keempat anak buah Kilara jelas kaget dan mereka semua kini sudah memasang wajah kebingungan plus kepusingan. Mereka sudah melakukan beberapa revisi namun semua ditolak oleh Tarendra. Kini Kilara berharap ia kembali bisa membuat keajaiban agar besok desain yang ia dan timnya ajukan pada Tarendra bisa di setujui oleh pria itu.
Kilara dan teman-teman satu divisinya memang akrab dengan lembur karena memang banyaknya proyek yang mereka tangani dan memang mereka digaji untuk memberikan kontribusi yang baik demi kemajuan perusahaan. Toh lembur mereka pun dihargai oleh perusahaan dengan adanya upah lembur yang mereka terima diakhir bulan berbarengan dengan masuknya gaji ke rekening.
Namun Kilara dan teman-temannya kadang terlalu overload dengan banyaknya proyek yang mereka tangani dan munculnya proyek-proyek yang tiba-tiba menjadi prioritas yang perlu mereka selesaikan dengan segera. Namun walau demikian menurut Tarendra anggota divisinya masih bisa mengerjakan semua pekerjaan tanpa perlu adanya tambahan anggota baru.
Ya, mereka memang harus bekerja sekeras itu karena kalau mereka sampai tidak berhasil memenuhi ekspektasi Tarendra maka mereka harus bersiap-siap menerima amukan Tarendra dan amukan Tarendra jelas tidak menyenangkan untuk didengar karena isi kata-kata pedas pria itu semua membuat telinga siapapun yang mendengarkannya jelas panas.
Namun sialnya pria itu bisa dalam sekejap mata membuktikan bahwa ia bisa menghadirkan desain sesuai dengan apa yang diinginkan oleh sang pemilik sehingga para anak buahnya tidak bisa membalas segala ucapan pedas itu karena Tarendra berhasil membuktikan bahwa ia bisa menghadirkan desain yang diinginkan sang pemilik. Mereka hanya kurang berusaha untuk berpikir mengenai hasil yang sesuai dengan catatan yang diberikan oleh sang pemilik.
Tepat jam sembilan, Putri, Bagas, Bimo dan Ivan pulang meninggalkan Kilara dan Wilson yang masih berkutat dengan desain pekerjaan mereka. Keduanya tetap fokus bekerja hingga pada jam sepuluh Wilson selesai dengan pekerjaannya.
“Ki, desain lo belom kelar juga?” Wilson bertanya dengan suara yang jelas sudah lelah.
Kilara menghela nafas panjang dan mengangguk, “Si Zidan izin bokapnya drop jadi bagian dia gue yang kerjain. Lo sudah kelar, Bang? Balik duluan aja...”
“Gak apa-apa kalo sendiri, kan? Gue capek banget ini. Kepengen cepet-cepet melepas rindu sama kasur gue.”
Kilara terkekeh, “Lebay lo, Bang. Kayak baru pertama lembur saja. Gih, pulang. Gue tahu semalem elo nginep di kantor, kan? Buru deh pulang sana.”
Wilson mengangguk membenarkan ucapan Kilara. Pria itu pamit meninggalkan Kilara seorang diri. Kilara bekerja dengan fokus. Kilara tidak bekerja seorang diri. Masih ada bosnya Tarendra Demonio Bagaskara yang ada di dalam ruang kerja milik pria itu. Pria itu tidak keluar dari ruangannya sama sekali semenjak sore pria itu kembali dari meeting dengan para petinggi Track.
Dari desas-desus yang Kilara dengar, Tarendra adalah salah satu kandidat pewaris Track Construction selain Karnaka Bagaskara yang menjadi saingan bosnya itu. Kilara sendiri mengenal Karnaka Bagaskara, pria itu adalah Manager Divisi Proyek yang bertanggung jawab mengenai pekerjaan di lapangan. Divisi Karnaka akan bekerja berdasarkan gambar kerja yang diberikan dari divisi Tarendra. Namun kebenaran desas-desus itu sendiri tidak bisa Kilara pastikan.
Tepat jam sebelas malam Kilara barus selesai mengerjakan desain yang harus ia presentasikan pada Yang Mulia Tarendra Demonio Bagaskara. Kilara akan berdoa dengan sungguh-sungguh nanti wanita itu tidur. Ia harus berdoa agar besok desain yang ia kerjakan malam ini diterima oleh Tarendra dan kalau pun harus ada revisi maka Tarendra hanya memberikan sedikit catatan saja.
Kilara merapihkan barang-barangnya dan wanita itu dan wanita itu berjalan meninggalkan ruangannya menuju lift. Untungnya Track Construction memiliki gedung sendiri dan ada security yang menjaga gedung ini tetap aman selama dua puluh empat jam karena ada beberapa divisi seperti divisi Kilara yang terkadang harus tinggal hingga tengah malam kadang subuh demi menyelesaikan pekerjaan mereka.
“Baru mau pulang?”
Kilara yang sedang menunggu sambil membuka aplikasi taksi online di ponselnya pun spontan berjengkit kaget dan spontan menoleh menatap orang yang kini ada disebelahnya, “Bapak, ngagetin saya aja. Untung saya enggak punya penyakit jantung.”
Tarendra menatap Kilara dengan tatapan datar, “Gak usah berlebihan, Kilara.”
Kilara mendelik mendengar ucapan atasannya itu dan kembali fokus dengan ponselnya. Kilara memilih fokus mencari taksi online dari pada meladeni bosnya yang sering membuatnya sewot setengah mati.
“Kamu lemburin apa sampe jam segini?”
Pertanyaan bernada datar yang keluar dari Kulkas dua pintu ini spontan membuat Kilara menoleh, ‘Ini orang pura-pura lupa apa sengaja ngajak ribut?’
“Kenapa kamu malah ngeliatin saya begitu?” Tarendra bertanya sambil mengerutkan matanya, “Mata kamu enggak akan berubah jadi belo kalo kamu sering melotot kayak begitu. Sudah sipit ya sipit saja,” lanjut Tarendra dengan enteng.
Kilara mendelik sewot mendengar ucapan Tarendra. “Pak, sudah jam sebelas malem ini. Kalo mau ngajak ribut saya ladenin besok saja ya.” Kilara meloyor masuk ke dalam lift yang terbuka begitu saja dan dengan cepat menutup pintu lift membuat Tarendra hampir saja tidak bisa ikut masuk ke dalam lift itu kalau saja pria itu tidak menahannya dengan memencet tombol lift yang ada di depan.
Tarendra masuk ke dalam lift dengan wajah sewotnya dan pria itu dengan kesal menjentikkan tangannya ke dahi Kilara. Membuat Kilara mengaduh dan menatap sengit Tarendra namun sebelum Kilara melancarkan aksi protesnya Tarendra sudah lebih dulu angkat suara, “Kalo sama atasan itu yang sopan, Kilara. Saya mau turun malah kamu tinggal!” Tarendra mendengus kesal, “Lagian siapa yang ngajak ribut kamu, sih. Saya cuma tanya kamu lemburin apa. Ditanya kok malah sewot. Saya curiga kamu ada penyakit darah tinggi. Marah-marah terus. Buru periksa gih!”
Kilara yang masih mengelus dahinya itu spontan memandang Tarendra, “Saya ini darah rendah, Pak. Tapi kalo ketemu Bapak darah saya mendadak tinggi." dan mendadak saya pengen cari dukun santet. Saya mau belajar santet biar bisa santet bapak! lanjut Kilara dalam hatinya.
Tarendra mengerutkan alisnya, "Loh, kok jadi gara-gara saya?"
'Kilara... Tahan Kilara... Inget masih mau kerja, kan? Bos itu... Bos... Calon pewaris Track...' Malaikat seakan berbisik ditelinga Kilara membuat Kilara menarik nafas dalam-dalam berusaha menetralkan emosinya. "Lupain, Pak. Lupain... Udah malem saya ogah berantem."
Tarendra mendengus kesal, "Yang ngajakin berantem kan kamu duluan. Kenapa jadi seakan-akan saya yang ajak kamu berantem."
Kilara sudah hampir meluapkan kekesalannya namun si Malaikat kembali berbisik, Tahan Kilara... Tahannn... Inget dia calon pewaris Track... Lo partikel debu... Inget masih butuh gaji... Ingaattt baik-baik Kilara...