Keberuntungan seorang karyawan saat bekerja adalah saat karyawan itu bisa meraih tiga poin ini dalam dunia kerjanya. Poin pertama adalah memiliki teman kerja dengan lingkungan yang menyenangkan dan mendukung, poin kedua adalah memiliki bos yang baik lalu poin ketiga adalah bekerja di perusahaan besar. Jika ketiga poin itu bisa dimiliki maka orang itu benar-benar beruntung. Kenyataannya bisa memiliki tiga poin itu sekaligus kadang terasa begitu sulit karena biasanya hanya dua poin bahkan satu poin yang bisa terpenuhi dari tiga poin yang sudah disebutkan tadi. Tragis memang tapi itulah kenyataan yang terjadi.
Kilara untungnya memiliki dua poin yang untuknya bisa membuatnya bertahan bekerja di Track selama dua tahun belakangan ini. Kilara memiliki teman kerja dan lingkungan yang menyenangkan dan Kilara bekerja di sebuah perusahaan besar yang tentunya berpengaruh pada gaji dan bonus yang ia dapatkan selama ini.
Kilara sendiri tergabung dalam ‘Squad Pembuat Keajaiban’ yang memiliki anggota Bagas, Putri, Ivan, Wilson, Bimo dan Kilara. Kilara adalah si junior yang bergabung paling akhir dalam squad itu. Keenamnya adalah seorang supervisor desain sekaligus seorang leader dari sebuah team desain yang mereka masing-masing pegang. Keenamnya masing-masing memiliki empat orang staff desain dan dalam Tim Kilara, Kilara memiliki empat orang staff yaitu Edo, Esti, Doni dan Zidan.
Keenamnya adalah karyawan Yang Mulia Tarendra Demonio Bagaskara yang sudah terbiasa mejadi ‘Si Pembuat Keajaiban’ karena apa yang Tarendra inginkan terasa sulit namun pada akhirnya keenamnya berhasil menghadirkan keajaiban dengan berpikir keras berusaha mengerti apa yang diinginkan oleh bos mereka itu.
“Kamu tau gak sih apa yang klien mau?” tanya Tarendra dengan aura gelap menyelimuti pria itu dan nada yang jelas tidak bersahabat.
Kilara mengangguk, “Klien ingin villa yang homey dan memiliki suasana hangat.”
Tarendra mengangguk, “Betul. Lalu kamu tau dimana letak villa ini akan dibangun?”
Kilara kembali mengangguk, “Di Lembang, Bandung, Pak.”
Tarendra mendengus kesal, “Kamu tau apa yang klien mau, kamu tau dimana lokasi villa ini akan dibangun, apa kamu memikirkan material yang kamu pakai ini apa bisa digunakan di lokasi itu?”
Kilara menundukkan kepalanya perlahan dan Tarendra mendengus lalu membuang gambar kerja yang Kilara bawa ke tong sampah dekat meja kerjanya dan memandang sinis Kilara, “Kamu menjadi supervisor di tim kamu karena saya melihat kamu memiliki kemampuan yang lebih dari anggota tim kamu yang lain tapi kenapa untuk urusan sepele seperti ini saja kamu tidak bisa memikirkannya?”
Kilara mengumpat dalam hati. Ia tidak memikirkan designnya sejauh itu karena ia terlalu berfokus dengan material apa yang belum ia gunakan dan tanpa sadar Kilara mengesampingkan efek penggunaan material itu di situasi dan kondisi proyek itu nantinya.
“Revisi dan presentasikan sama saya besok di jam yang sama,” ucap Tarendra dengan nada tegas.
Kilara spontan mengangkat wajahnya dan menatap horor Tarendra. Kilara mencoba peruntungannya dengan menego atasannya sendiri. “Saya minta waktu lusa ya, Pak...”
Tarendra memandang datar Kilara, “Besok, Kilara.”
Kilara memasang wajah memelas, “Besok saya harus maju bahas rumah yang milik pejabat di Bekasi itu loh, Pak.”
Tarendra mengangguk, “Bagus, kalau begitu sekalian saja. Kamu bisa presentasi soal revisi Villa ini setelah selesai presentasi desain rumah pejabat di Bekasi itu.”
Kilara semakin membulatkan matanya. Loh, kok jadi begini. “Pak, saya ini bukan Bandung Bondowoso yang punya pasukan jin yang bisa kerjain dua desain berbarengan loh, Pak...” Kilara berbicara dengan nada yang sudah dijaga sebaik mungkin supaya enggak terdengar ngegas.
Tarendra yang mendengar ucapan anak buahnya itu pun bersedekap, “Yang bilang kamu itu Bandung Bondowoso siapa? Lalu siapa juga yang nyuruh kamu kerjain sendiri? Kamu kan punya anggota tim. Kamu bisa delegasiin anggota tim kamu. Masa gitu aja perlu saya dikte?” Tarendra tersenyum sinis diakhir kalimatnya sambil menatap Kilara.
Kilara meringis, “Tapi, Pak-“
“Gak usah mencoba peruntungan kamu, Kilara. Saya sudah bilang besok ya besok. Keluar, sana!” bentak Tarendra diakhir kalimatnya.
Kilara meringis dan langsung beranjak dari tempat duduknya keluar dari ruangan Yang Mulia Tarendra Demonio Bagaskara.
Kilara berjalan menuju meja kerjanya dengan wajah kusut dan para teman satu ruangannya memandanginya dengan pandangan kasihan. Kilara adalah supervisor tim design dimana ia memiliki lima rekan kerja yang memiliki jabatan yang sama dengannya yaitu Putri, Ivan, Wilson, Bimo dan Bagas. Para supervisor masing-masing memiliki empat orang staff dalam tim mereka. Mereka menyebut grup mereka sebagai Pembuat Keajaiban Squad.
“Yang Mulia marah lagi?” tanya Putri dengan suara pelan sambil melirik ke arah pintu ruang kerja Tarendra.
Kilara menghela nafas panjang dan mengangguk lemas. “Desain gue ditolak lagi.”
“Kadang gue heran sama apa yang Pak Tarendra mau tapi sialnya kalo dia turun tangan hasilnya jadi bagus dan gue sadar kalo gue kurang usaha. Dia aja bisa kepikiran kenapa gue enggak.” Bimo menyenderkan posisi duduknya sambil mengungkapkan apa yang ada dalam isi kepalanya.
Bagas yang duduk di sebelah Bimo menganggukkan kepalanya, “Gue setuju. Tapi kapasitas otak kita dan otak Pak Tarendra emang beda. Dia itu jenius, Bro.”
Semua meringis mendengar kata jenius yang keluar dari mulut Bagas. Tidak ada yang menanggapi ucapan Bagas karena mereka semua kembali fokus dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ruangan kerja itu senyap hingga pintu ruang kerja Yang Mulia Tarendra tiba-tiba terbuka dan semua spontan tidak ada yang berani mengangkat kepala mereka dan memilih fokus bekerja termasuk Kilara.
“Kilara Daniella...”
Kilara spontan mengumpat dalam hatinya ketika namanya disebut oleh Yang Mulia Tarendra. Entah mengapa bosnya itu hobi sekali memanggil namanya dengan lengkap padahal dari dulu orang-orang biasa memanggilnya, Ki ata Kila. Kilara menghela nafas pendek sebelum wanita itu mengangkat kepalanya dan menatap bosnya itu. “Ya, Pak...”
“Progres rumah pribadi di Tangerang yang kamu bilang tujuh puluh lima persen itu jadikan prioritas. Besok pagi kita akan bertemu dengan pemiliknya.” Yang Mulia Tarendra tersenyum diakhir kalimatnya seperti iblis.
“Tapi, Pak masih tujuh puluh lima persen kalau harus selesai besok pagi-”
“Loh, kenapa suara kamu ngegas begitu?” Potong Tarendra dengan heran.
Kilara menarik nafas dalam dan berusaha tersenyum, “Saya enggak ngegas kok, Pak.” Kilara menjeda kalimatnya berusaha menghilangkan keinginan belajar menyantet orang yang sangat kuat dalam dirinya saat ini. “Tim saya sekarang lagi fokus sama dua desain loh, Pak.”
“Baru dua. Gak usah berlebihan kamu. Tim kamu bisa lembur, Kilara.” nada enteng dan pria itu meloyor pergi meninggalkan ruangan meninggalkan Kilara yang kini sudah emosi setengah mati.
Kilara memijit pelipisnya yang kini terasa berdenyut. Nah, kan!, Nah, kan!, Nah, kan! Kilara dipaksa membuat keajaiban lagi sama bosnya. Kilara pun mengubah posisinya dan memandangi layar laptopnya yang entah sudah berapa banyak window ia buka saat ini dengan tatapan kesal. “Gue bener-bener pengen cari dukun santet buat belajar nyantet itu Monster Bigfoot.”