Baik Joy maupun Daffin keduanya membeku kala tatapan mereka beradu. Daffin tidak menyangka saja Joy masuk ke ruangannya.
Dua perawat yang masuk bersama Joy sudah berdiri di hadapan Daffin. Senyum mereka terkembang manis seperti bunga merekah yang menawarkan madunya untuk menjebak lebah agar menghisapnya.
"Dokter Daffin, selamat ulang tahun yang ke-33. Semoga makin sehat, makin ganteng, makin banyak pasiennya dan makin yang lainnya yang bagus-bagus."
"Iya, Dok selamat ulang tahun. Semoga awet muda terus, segera mendapatkan pasangan."
Dua perawat menjabat tangan Daffin bergantian dengan penuh antusias. Mereka bahkan mau cipika-cipiki juga.
Bisa dibayangkan sendiri seperti apa reaksi Daffin. Dokter dingin itu menarik cepat mundur tubuhnya dengan ekspresi datar. Pipi mulus dua perawat yang hampir menyentuh pipinya malah saling bersentuhan sendiri.
'Beruntung, aku bisa lolos dari mereka. Mereka tak punya malu sama sekali.'
"Jadi gini hasilnya." Dua perawat saling tatap dan tertawa konyol dengan aksi mereka yang gagal.
Meski Daffin bertemperamen dingin namun pesona wajah tampannya tak bisa dielakkan lagi. Wajahnya dipuja banyak wanita di rumah sakit ini. Semua kagum pada pesonanya.
Joy yang melihat itu hanya mengangkat sebelah alis. Sampai sebegitunya perawat di sini bereaksi pada Daffin, membuang harga diri mereka.
"Dok, ini ... ada sedikit hadiah untukmu. Aku harap kamu menyukainya." Seorang perawat memberikan kado kecil yang dikeluarkan dari balik saku.
"Tidak perlu repot-repot memberiku beginian," tolak Daffin menyodorkan kembali hadiah yang ada di tangannnya.
Perawat menyodorkan kado yang dikembalikan padanya. "Dok, tolong terima ini. Bila kembalikan sama artinya tidak menghargai pemberian."
Daffin membeku dan terpojok dengan jawaban tersebut sehingga dia tak bisa melakukan penolakan lagi dan hanya pasrah menerima.
Setelah memberikan kado, perawat keluar dari ruangan Daffin. Pria itu nampak mengembuskan napas panjang lega. Namun setelah menatap ke arah lain napasnya kembali berat. Ada Joy yang menatapnya tegang.
"Kamu mau apa ke sini?" ucapnya untuk mencairkan kesunyian di antara mereka berdua.
Joy kembali dari lamunannya. "A-aku kemari hanya untuk ..." Suaranya tercekat untuk melanjutkan. Lantas, bagaimana dia bisa mengucapkan selamat dengan mudah untuknya?
Joy mengerjap cepat, lalu maju dengan tegang dan gontai. "Se-selamat, Dok." Joy mengulurkan tangan dengan gemetar untuk menjabat tangan.
Daffin hanya menatapnya tanpa membalas uluran tangan Joy. Joy yang merasa dicuekin, menarik tangannya lalu berbalik dan keluar dari ruangan itu tanpa kata meninggalkan aura dingin di sana.
"Dia benar-benar aneh. Wanita lain melempar dirinya padaku. Tapi dia? Dia membuat jarak denganku." Daffin kembali berdecak menatap punggung Joy berlalu hingga menghilang dari pandangannya.
Di ruangan laborat.
'Benarkah, aku dengar tadi bila Dokter Daffin mengidap aspermia? Tapi ... rasanya tidak mungkin. Bila itu benar, mana ada wanita yang mau? Tapi dua perawat tadi melempar tubuhnya pada pria dingin itu.' Joy masih terpikirkan pada percakapan yang tak sengaja dia dengar tadi.
Entah kenapa, obrolan itu terasa terus berputar dalam otaknya. Rasanya seperti ada sesuatu yang salah tapi dia tidak bisa menemukannya di mana letak titik kesalahan itu.
Menurutnya lagi Daffin adalah sosok sempurna tanpa minus, selain sikap dingin dan tabiatnya yang kurang sopan. Sosoknya sempurna tanpa cacat, tak mungkin pria itu mempunyai minus fatal seperti itu.'
Anita yang baru saja selesai melakukan cek darah, menatap ke arah Joy yang sejak tadi melamun. Padahal ruangan ini berisik, para laboran sedang bercanda. Tapi Joy masih bergeming di tempatnya.
"Joy."
Tak ada respons.
"Joy." Kali ini Anita memanggil lebih nyaring sembari menepuk bahu Joy.
Joy tersentak dengan tepukan itu yang membawanya bangkit dari kesadaran. "Anita, ada apa?"
"Aku yang seharusnya bertanya ada apa denganmu?" Anita bertanya dari balik bibir tipis pucat dimana lipstik yang biasa merekat di sana sudah pudar.
"Duduk lah." Joy menarik dengan Anita supaya wanita itu duduk di sebelahnya.
Anita duduk di samping Joy dengan penasaran, apa ada sesuatu yang serius? Atau ada apa sebenarnya?
"Apa yang kamu sampaikan?"
Joy menggeser kursinya agar jarak lebih dekat untuk mempermudahnya bicara. Bila bicara lantang membicarakan keburukan orang lain ghibah namanya. Sedangkan dia hanya mau klarifikasi saja.
"Ini tentang Dokter Daffin. Apa yang kamu maksud sebelumnya kondisi khusus pria itu adalah aspermia?" Suara Joy lirih sekali nyaris tak terdengar.
Mata Anita tersentak. Bagaimana Joy bisa tahu itu? Padahal tak ada yang memberitahunya.
Anita yang sudah rapat duduknya menggeser lagi semakin rapat agar tak ada yang mendengar percakapan mereka. Rasanya kurang nyaman saja membicarakan sisi buruk seseorang, terlebih itu adalah dokter di rumah sakit ini.
"Sebenarnya, aku nggak tahu kebenaran berita tersebut. Semua itu hanya kabar yang beredar. Tentang kebenerannya sendiri tak ada yang berani menanyakan. Ada apa kamu membahas itu?"
"Sebenarnya, tadi aku mendengar Dokter Daffin bicara dengan Dok--" Terdengar suara pintu dibuka dari luar.
Seorang petugas laboran dari lantai tiga menyembul dari baliknya. Laboran di rumah sakit ini ada di tiap lantainya, untuk memermudah dan memercepat layanan pasien di rumah sakit ini.
"Kalian semua sebaiknya cepat keluar. Rombongan yang lain sudah pada berangkat. Atau kalian akan ditinggal dan harus berangkat sendiri ke lokasi."
"Rombongan apa dan mau kemana?"
"Rombongan yang ikut acara traktiran Dokter Daffin."
"Astaga! Kami sampai kelupaan bila ini sudah jam istirahat karena terlalu asyik ngobrol."
Setelahnya laboran yang ada di ruangan langsung keluar dari ruangan, termasuk Joy yang diseret Anita karena enggan untuk keluar.
Joy dengan berat hati bergabung dengan yang lain duduk di mobil yang kemudian melaju menuju ke sebuah restoran yang sebelumnya sudah di booking secara khusus oleh Daffin.
Jujur, Joy sebenarnya ingin tidak ikut saja. Banyak alasan yang membuatnya ragu untuk datang. Pertama dia pekerja baru di rumah sakit ini. Kedua, dia tidak suka dengan cara Daffin memerlakukan dirinya. Ketiga dia masih merasa sebal dengan sikap Daffin yang jual mahal saat dia mengucapkan selamat tadi. Rasanya, harga dirinya sudah diinjak saat dia sudah merendahkan diri.
"Kita sampai."
Rombongan yang ada di mobil turun satu per satu. Joy yang turun terakhir bersama Anita. Dengan langkah berat dia masuk ke restoran. Sungguh bila disuruh memilih lembur atau latihan dia akan memilih lembur. Sayang, kali ini tak ada lembur.
Joy heran saja kenapa yang lain tampak bersemangat dengan traktiran. Padahal Daffin orangnya dingin dan angkuh. Harusnya tak ada yang suka padanya. 'Mereka aneh semua!'
Semua kursi yang ada di sana terlihat penuh. 'Duduk dimana aku? Apa menunggu di luar saja?'
Anita yang melihat itu langsung memanggil. "Joy, kamu mau ke mana?"
"Ke depan cari tempat duduk."
"Tunggu, masih ada satu kursi yang kosong untukmu kamu duduk di sana saja." Anita menunjuk kursi kosong tepat di depan Daffin.
Joy mencoba menatap ke arah yang ditunjuk tangan Anita. Wajahnya berseri kala melihat kursi kosong. Rupanya masih ada kursi untuknya. Namun ketika tiba di sana, dia ragu untuk duduk. Wajahnya berubah muram melihat Daffin.
"Kenapa harus di sini duduknya?" gumamnya lirih.
Rasanya Joy mau balik kucing saja. Entah, dia sial atau ketiban apes! Kenapa malah dihadapkan pada Daffin lagi, padahal dia sangat sangat menghindari pria itu setelah pertemuan pertamanya.
Joy membeku di tempat tidak bergerak sama sekali. Sedangkan Daffin saat ini masih mengobrol dengan beberapa rekan dokter yang duduk di sampingnya.
Di tengah riuhnya suasana dan yang lain pada sibuk dengan diri mereka masing-masing, entah kenapa Daffin tiba-tiba ingin menatap lurus ke depan. Tatapannya bertemu dengan tatapan Joy.
Dia tidak perhatian pada siapa saja yang belum datang hingga tersisa satu kursi kosong. Rupanya Joy yang terakhir datang.
"Kamu, kenapa terus berdiri di situ? Kamu mau ikut makan atau apa?" Daffin bicara dengan nada datar dan suara dinginnya.
"Aku ..." Joy gugup mendengar suara Daffin.