Suara Daffin mengalihkan perhatian yang lain, ikut menatap ke arah Joy.
"Kamu pekerja baru ... buruan duduk. Jangan berdiri saja."
"Ya, kami menyisakan satu kursi kosong sesuai dengan jumlah. Kursi itu memang jatahmu."
Sedangkan Daffin hanya menatapnya tanpa kata. Tatapan Daffin sungguh menyesakkan. Meski tanpa suara tatapan itu mampu menarik Joy duduk dengan patuh.
"Y-ya, aku duduk," jawab Joy terbata dengan tatapan ditujukan pada Daffin.
'Kenapa duduk saja harus banyak orang yang menyuruhmu untuk duduk? Heran aku.'
Setelah Joy duduk, Daffin langsung menggeser tabel menu tanpa kata. Dia hanya mengetukkan jari di atas tabel menu.
Joy menatap dengan antipati. "Maksudnya apa, apakah aku harus pilih menu sekarang? Kenapa tak bicara saja? Bicara juga gratis!" kesalnya lirih nyaris tak terdengar.
Namun Daffin menangkap pergerakan bibir Joy. Meski dia tidak tahu apa yang diucapkan, dia tahu kalimat yang meluncur dari balik bibir padat Joy adalah umpatan untuknya.
"Bicara yang keras agar terdengar. Di sini ramai sekali." Nyaringnya volume suara Daffin membuat yang lain terdiam. Tatapan Daffin tertuju pada Joy
Mereka pikir ucapan itu ditujukan untuk mereka, sebuah ucapan yang bermakna sindiran halus karena mereka berisik.
"Dok, kami nggak bermaksud berisik. Bila bertemu banyak orang begini mana bisa diam saja?"
"Bukan itu maksudku. Silakan, aku tidak suka saja bila ada seseorang yang membicarakan keburukanku di hari bahagiaku."
"Oh." Mereka saling tatap satu sama lain mencari siapa yang dimaksud Daffin dengan gugup.
Joy paham betul yang dimaksud adalah dirinya karena tatapan pria itu masih mengunci padanya. Ini semakin membuatnya bertambah kesal saja. Bila bisa dia ingin menyingkir saja dari tempat ini.
Namun semua rasa itu dia redam. Dia masih menghargai Daffin dan tak ingin mengacaukan acara perayaan ulang tahun ini. Dia hanya diam saja tak merespons perkataan pedas Daffin lagi dan memilih menu yang dipesan dengan mencentangnya tanpa bicara.
Selesai mengisi daftar menu dan mengembalikan daftar menu itu ke tengah meja, sorot mata Daffin masih mengikutinya. Meski tanpa kata rasanya dia seperti dikuliti. Padahal dia tidak salah sama sekali.
"Semua sudah pesan menu? Aku akan serahkan menu ini sekarang, bila ada yang belum bisa menambahkan sendiri."
Semua saling tatap. Tak ada yang bicara. "Sepertinya sudah semua, Dok."
Daffin kemudian menyerahkan daftar menu pada waiter. Mereka kembali mengobrol seperti sebelumnya hingga pesanan tiba.
Semua pesanan sudah terhidang di meja kemudian mereka mengambil satu per satu menu pesanan mereka ke hadapan masing-masing, termasuk Joy.
Joy yang lapar langsung menyuap makan ke mulut tanpa menunggu Daffin mempersilakan terlebih dulu. Namun dia seketika mendapat tatapan tajam yang dingin dari Daffin.
"Kita belum mulai sesi makannya. Berdoa juga belum. Ada baiknya kita berdoa bersama dulu sebelum menyantap hidangan ini." Secara khusus dengan suara menekan, Daffin kembali mengunci pandangan pada Joy.
Suaranya terdengar lembut kali ini tapi sangat menusuk bagi Joy. Membuatnya langsung menaruh sendok kembali ke piring. Padahal apa salahnya menyantap lebih dulu? Dia hanya ingin cepat selesai dan cepat pergi dari sini. Itu saja! Tapi rupanya masih salah saja.
Tatapan yang lain kemudian ikut tertuju pada Joy. Meski tak bicara, tapi tatapan mereka sudah menggambarkan isi hati mereka, menilai buruk Joy.
'Sia-lan! Apakah aku diseret kemari hanya untuk dipermalukan seperti ini?' Joy mengutuk keras dalam hati. Tapi tak ada yang bisa dia lakukan sekarang ini selain menghindari tatapan tajam mereka sembari meremas ujung bajunya.
Daffin puas melihat Joy yang ikut menunduk seperti yang lain. Padahal Joy menunduk bukan karena ingin berdoa, tapi karena menahan kesal. Dia kemudian memimpin doa di meja makan, barulah setelahnya semua mulai menyantap hidangan.
"Terima kasih hidangannya, Dok."
"Terima kasih traktirannya, Dok. Semoga sehat selalu."
"Tak perlu seperti itu. Silakan menikmati hidangan hari ini."
Baru kali ini Joy melihat Daffin tersenyum dengan wajah dinginnya pada semua orang. Sayang, bagi Joy Daffin tetaplah pria menyebalkan di hatinya meski pria itu semakin terlihat memesona dengan senyum tipis dan pendek tersebut.
Di saat yang lain sedang makan, Joy hanya menatap piring di hadapannya. Moodnya sudah hancur sejak Daffin menyinggungnya tadi. Tak ada keinginan sama sekali untuk menyantap hidangan lezat nan mewah ini. Padahal Joy sangat lapar. Tapi dia bisa menahan rasa lapar itu demi harga dirinya.
'Ada apa lagi dengannya? Kini dia nggak menyentuh makanan itu. Padahal tadi dia buru-buru makan.' Daffin menjeda sejenak makan, menatap Joy di hadapannya yang tertunduk.
Joy mendadak berdiri, keluar dari ruangan ini dan mencari toilet meski sebenarnya dia tidak ingin buang hajat apapun di sana. Hanya mencuci tangan saja. Lantas dia menuju ke halaman belakang restoran.
Ada dua kursi kosong di sana menghadap taman kecil. Dia pun duduk untuk melepas penat dan sesak di dadanya akibat tekanan Daffin dengan melihat bunga beraneka warna di sana, sembari meraup udara segar sebanyak mungkin untuk mengisi rongga dadanya.
Sampai makan hampir selesai, Joy belum kembali. Daffin bukan mengamati, namun dia merasa ada yang kurang saja. Kenapa Joy tak kembali dan tak menghabiskan menu yang dipesan?
Daffin terusik juga pikirannya hingga dia kemudian beranjak dari duduk, menuju ke toilet wanita. Di sana dia hanya memerhatikan dari kejauhan. Semua pintu toilet tidak terkunci yang artinya tak ada wanita yang sedang berada dalam toilet. Berati juga Joy tak ada di sana.
"Dimana dia?" gumamnya heran.
Daffin lantas menyeret kakinya menuju ke teras belakang restoran, entah kenapa dia ingin ke sana saja. Langkahnya terhenti karena dia melihat sosok Joy yang sedang bertelepon dengan seseorang entah siapa, yang jelas terlihat wanita itu tersenyum hingga membuat deretan gigi putihnya yang tersusun rapi terlihat.
Daffin membuang napas jengah melihatnya. "Dia ... bukannya makan hidangan yang sudah dipesan, tapi malah telepon di sini? Dia tak menghargaiku!" decak Daffin kesal lalu berbalik pergi dengan langkah cepat.
***
"Joy, kamu sudah tidak sibuk kan, tolong bantu aku serahkan hasil lab ini pada Dokter Daffin." Anita menghampiri Joy yang baru selesai melakukan tes laborat.
Mendengar nama dokter dingin itu disebut, Joy enggan membantu. "Aku ... aku mau telepon keluarga di rumah," ucapnya beralasan supaya bisa menghindar.
"Tolong Joy, yang lain masih sibuk hanya kamu yang sedang senggang. Hasilnya ditunggu untuk operasi beberapa waktu ke depan. Nanti kamu bisa telepon keluarga setelahnya."
Joy tidak setuju tapi hasil itu sudah ada di tangan Joy. Hasil cek darah untuk pasien yang menderita usus buntu. Tensi darahnya tinggi jadi dilakukan pemeriksaan menyeluruh sebelum operasi dilakukan.
Membaca hasil tes untuk pasien itu, Joy pun mengesampingkan rasa kesalnya yang masih tersisa di hatinya untuk Daffin. Baginya pasien di rumah sakit ini lebih penting dari urusannya atau masalah hatinya.
"Baik, aku akan mengantarnya." Joy beranjak dari duduknya kemudian menuju ke ruangan Daffin.
Di sana dia mengetuk pintu dengan malas.
"Masuk."
Joy memaksakan kakinya melangkah masuk ke ruangan setelah membuka pintu.
"Ini hasil tes darah pasiennya." Joy menghampiri Daffin yang sedang duduk di kursi lalu menaruh hasil tesnya di meja.
"Ya." Suara Daffin dingin seperti biasanya.
Dia lantas langsung membuka hasil tes untuk memutuskan tindakan apa yang segera diambil apakah akan tetap melanjutkan operasi hari ini atau mungkin menundanya beberapa hari?
Alis gelap Daffin terangkat membaca nama pasien yang tertera di sana. "Hari Suryonoto? Punya siapa ini? Apa aku ggak bilang nama pasiennya Hari Anggara? Pantas saja hasilnya jauh berbeda dari ekspektasi." Nada bicara Daffin semakin meninggi sampai akhir dan penuh tekanan di setiap katanya.
Dua nama itu jenis berbeda nama belakangnya. Kenapa begitu saja bisa salah?
Joy terbelalak. Dia tidak tahu menahu soal itu. Dia hanya mengantarkan saja yang diberikan oleh Anita padanya tanpa pertanyaan untuk mengecek lagi. Dia pikir itu sudah benar.
"Dok, aku hanya mengantarkan yang seharusnya diantar oleh Anita."
"Tapi ini salah. Kamu bila salah memberikan hasil maka itu akan berpengaruh besar pada operasi nanti. Bisa dipastikan keadaannya akan jauh berbeda!" Nada bicara Daffin masih meninggi dan semakin meninggi lagi.