Tatapan Nana lekat pada benda di tangannya. Ia mendesah kesal karena nomer kakak maupun kakak iparnya sejak tadi tak bisa dihubungi. Ia akhirnya memutuskan mengirim pesan, Mbak, jadi ketemuan di sekolah Farhan, gak? Tentu saja ceklis satu. Namun setidaknya itu membuat Nana lega karena begitu nomer kakak iparnya aktif, pesan yang ditulisnya akan terkirim. Ia menghela napas saat menatap jam dinding, pukul delapan lewat tiga menit. Ia menimbang-nimbang sebaiknya ke kebun atau tidak. Kejadian kemarin masih membuatnya malu. Ia melangkah menuju dapur. Setelah membuat sarapan, gadis itu keluar rumah menenteng plastik berisi sayuran. Lebih baik, ia memasak untuk Aswin dan Deni di sana saja. Masih pagi. Ia yakin dua lelaki itu masih di kebun. “Aku ke rumah lama dulu, Bu,” katanya saat berpapasa