CHAPTER 1

1176 Words
Andhara melangkah turun dari taksi yang ditumpanginya, di sinilah ia akan tinggal. Ia membawa kopernya melangkah masuk ke gerbang rumah sakit umum daerah yang tampak tidak terlalu besar itu. Lokasinya cukup terpencil, aksesnya lumayan susah. Dan di sinilah ia akan menghabiskan sisa hidupnya, di tempat yang sedikit terpinggir dari keramaian kota Solo itulah, ia akan mengabdikan ilmu dan tenaganya untuk menolong setiap nyawa yang membutuhkan bantuannya. Andhara mengangkat kopernya menaiki tangga menuju pusat informasi. Beberapa pasien yang menumpuk di ruang pendaftaran memandanginya dengan tatapan penuh tanda tanya. Yaa ... ini rumah sakit, bukan bandara, dan Andhara membawa koper yang begitu besar seperti orang mau terbang ke Alaska. Belum sempat ia bertanya pada security, sebuah panggilan keras itu hampir merontokkan jantungnya. “Dokter Andhara!” tanpa harus menoleh Andhara tahu siapa pemilik suara itu, siapa lagi kalau bukan Yohana, teman kampusnya yang sekarang dinas menjadi dokter umum di RSUD itu. “Selamat pagi, Dokter bawel!” selorohnya ketika sejawatnya itu menghampiri lalu memeluknya. Sekarang tumpukan pasien itu semakin bertanya-tanya, untuk apa seorang dokter pergi ke rumah sakit dengan membawa koper sebesar itu? “Dari bandara langsung ke sini?” tanya Yohana terkejut melihat koper yang dibawa sejawatnya masuk ke rumah sakit. “Iya, aku belum dapat kontrakan, Yo! Bisa bantu cari?” tanyanya sambil menarik troly kopernya. “Gampang! Tapi sekarang ganti baju, cuci muka! Dokter Ibrahim sudah menantimu!” Andhara tersenyum, tentu saja! mukanya sudah kusut masai macam tukang jahit kasur keliling. Mungkin nanti Dokter Ibrahim mengira ia tukang penjual makanan keliling ketimbang seorang dokter bedah syaraf. Ia segera mengikuti langkah Yohana, dan tentu saja membawa koper super besarnya. Ya ... hanya itu yang ia bawa, dan tentu saja ijazah dokter serta surat izin prakteknya, serta beberapa berkas penting lain. Selain baju dan berkas-berkas itu, tiada lagi yang ia bawa. Tidak kenangan masa lalunya, tidak pula dengan cinta dihatinya ... karena ia telah meng-euthanasia* semua kenangan itu sebelum ia mengajukan surat pengunduran diri dari rumah sakit swasta tersohor di Jakarta, rumah sakit yang menyimpan sejuta kenangan tentang kisah hidupnya. *** “Mengapa memilih rumah sakit ini? Rumah sakit tempat Anda bekerja sebelumnya lebih besar, tersohor, terbaik, dan masih banyak lagi kelebihannya dibandingkan dengan rumah sakit kecil ini," tanya Dokter Ibrahim sambil menatap Andhara yang duduk di hadapannya itu. Andhara menarik nafas, dipandanginya Dokter Ibrahim yang masih serius membolak-balik tumpukan berkas miliknya yang ia sodorkan pada direktur utama rumah sakit umum daerah itu. “Memang benar, Dok. Tetapi begitu saya mendengar bahwa rumah sakit ini kekurangan dokter bedah syaraf, hati kecil saya berkata bahwa saya harus pindah dan mengabdikan diri saya kesini.” Dokter Ibrahim membetulkan letak kacamatanya, kemudian menatap Andhara yang sudah rapi dengan snelli* miliknya dan kemeja warna maroon itu. “Perlu saya luruskan, rumah sakit ini bukan kekurangan dokter bedah syaraf, tetapi hampir tidak punya dokter bedah syaraf! Kami harus meminjam dokter bedah syaraf dari rumah sakit lain ketika ada pasien yang terpaksa harus dioperasi disini. Biasanya malah kami langsung mengopernya ke rumah sakit lain karena memang kami kekurangan medis di bagian bedah syaraf.” “Kalau begitu, izinkan saya mengabdikan diri di rumah sakit yang Anda pimpin, Dokter!” Dokter Ibrahim tersenyum, kemudian menganggukkan kepalanya dan mengulurkan tangannya. "Selamat datang dan selamat bergabung, Dokter Andhara Arunika!" *** “Gajimu tidak akan sebesar di tempat kerja lamamu, An! Kamu sudah siap mengencangkan ikat pinggang pas tanggal tua?” tanya Yohana sambil menyuapkan baksonya ke mulut. Andhara hanya tersenyum, ia bahkan tidak peduli seandainya ia tidak dibayar sekalipun. Ia merasa lebih tenang di sini. Berada di Jakarta hanya akan membunuhnya secara perlahan-lahan. Semua kenangan itu begitu menyiksanya, apalagi tempatnya bekerja. Ia harus bertemu dengan makhluk yang rasanya ingin Andhara sianida, makhluk yang menghancurkan kepercayaannya kepada laki-laki dan cinta, meskipun sebelumnya kepercayaannya sudah hancur oleh ayahnya sendiri. Yaa ... ayahnya yang juga seorang dokter itu berselingkuh dengan pasiennya yang bahkan usianya masih lebih muda, hanya selisih empat tahun lebih tua dari Andhara. Bisa dibayangkan betapa terpukul dan kecewanya Andhara? Sejak saat itu ia tidak lagi percaya dengan apa itu cinta, baginya tidak ada laki-laki yang baik, termasuk ayahnya sendiri! Namun ketika ia sedang menyelesaikan masa kepaniteraan klinik*nya, sesosok laki-laki mampu mengembalikan lagi kepercayaannya. Memberinya kebahagiaan yang meskipun setelahnya kepercayaan itu harus hancur lebih remuk lagi, dan kebahagiaan yang sekejap itu harus dibayar mahal ... sangat mahal sekali. "Andhara ...," Andhara tersentak ketika Yohana menyenggol lengannya. Ia tidak sempat menyembunyikan air matanya ketika wajah mereka bertatapan. Yohana meletakkan sendoknya, lalu menyodorkan tissue milik penjual tukang bakso yang disediakan di meja. “Lupakan semua masa lalumu, lupakan semua lukamu. Buka lembaran baru hidupmu, An!” Yohana meremas bahu sahabatnya sejak duduk di bangku kuliah itu. Ia tahu betul seperti apa luka hati Andhara. “Ini lebih menyakitkan, Yo!” Andhara mengusut air matanya, “Dan aku bersum ...,” Yohana membungkam mulut Andhara, kemudian mengebuk punggung sahabatnya itu dengan gemas. “Jangan sembarang mengucap sumpah, An!” “Tapi aku sudah sangat muak! Dengan cinta, laki-laki, janji ... semua itu omong kosong! Fatamorgana!” “Jangan begitu! Tidak semua laki-laki itu busuk, An! Tidak semua cinta berujung duka!” “Siapa bilang, ayahku juga berengsek!” “Huss ... bagaimana pun juga dia ayahmu, jangan berkata seperti itu!” "Ayah macam apa yang tega menghancurkan kebahagiaan keluarganya sendiri hanya demi menuruti nafsunya birahinya? Macam apa?" Yohana tidak membalas, ia hanya diam membisu membiarkan Andhara menyusut habis air matanya yang menitik itu. Ia sudah bosan berdebat dengan Andhara untuk masalah yang sama. Ia tahu betul apa yang begitu membuatnya trauma dan jijik dengan apa itu cinta dan laki-laki. Dan dia juga tahu betul apa yang membuatnya semakin benci dengan dua hal itu, dan kemudian melarikan diri sejauh ini. Yohana menatap iba sahabatnya itu, dari luar orang-orang akan menilai hidupnya begitu indah dan sempurna dengan kekayaan yang ia miliki. Padahal tidak banyak yang tahu bahwa ia begitu rapuh dan hancur dihancurkan oleh orang-orang yang ia sayangi, ia cintai. Dokter bedah syaraf termuda dan lulusan terbaik itu memang menampilkan kesan yang luar biasa. Parasnya cantik, dengan postur tubuh 167cm, rambut hitam legam, dengan kulit putih bersih dan wajah oriental keturunan sang papa. Dia menjadi primadona di kampus, bukan hanya karena cantik, tetapi juga kecerdasannya yang di atas rata-rata. Dia masuk kelas akselerasi dari bangku sekolah menengah pertama, dan masuk fakultas kedokteran Universitas Indonesia tepat di usianya yang ke tujuh belas tahun. Mendapatkan gelar sarjana kedokterannya di usia 20 tahun enam bulan. Dan langsung mengambil PPDS* di usianya yang belum genap dua puluh empat tahun. Masa residensi* bedah syaraf sebelas semester itu sudah selesai ia lalui dan jadilah sekarang sosok dokter bedah syaraf termuda yang berhasil lulus di usianya yang baru dua puluh sembilan tahun. Dokter spesialis muda dengan kecerdasan di atas rata-rata dan merupakan lulusan terbaik PPDS Bedah Syaraf UI itu harus melarikan diri sejauh ini di kota kecil bukan tanpa alasan! Ia hancur, ia rapuh dan ia ingin menyembuhkan dirinya sendiri dengan pergi jauh dan membuka lembaran baru. Yohan menghela nafas panjang, ia berharap bahwa sahabatnya itu dapat melupakan semua luka yang di deritanya. Karena ia tahu, Andhara pantas bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD