CHAPTER 2

997 Words
"Bagaimana?" tanya Yohana ketika mereka sampai pada unit perumahan yang disewakan oleh sang pemilik itu. "Bagus sih, yang penting dekat jaraknya sama RSUD, Yo." Perumahan itu kebetulan ada tepat di sebelah kanan RSUD hanya dibatasi oleh sepetak sawah yang masih terjaga fungsi dan kepemilikannya itu. Hanya sebuah kompleks perumahan kecil dan tidak terlalu ramai, namun bagi Andhara itu sudah lebih dari cukup. Andhara melangkah masuk ke sebuah kamar. Rumah itu ada dua buah kamar, satu ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Cukuplah untuk dia seorang bukan? Apalagi ia kesini tanpa membawa kendaraan pribadi apapun, dan rumah ini jaraknya begitu dekat dengan RSUD itu yang terpenting. "Isi rumahnya pelan-pelan aja deh, yang penting besok sudah mulai dinas." Andhara tersenyum, ia menatap sahabatnya sejak kuliah itu. Rasanya ia harus banyak berterimakasih pada Yohana atas segala bantuan yang ia terima. Mulai dari info lowongan kerja di RSUD itu sampai Yohana sudah repot-repot mencarikan kontrakan untuk ia tempati selama dinas di sini. "Makasih banget ya, Yo! Aku nggak tahu kalau nggak ada kamu apa jadinya aku," gumam Andhara tulus. "Halah, kita kenal dan sahabatan sudah dari lama kan, An. Jangan sungkan," Yohana merogoh kunci mobilnya, menyodorkan kunci itu pada Andhara, "Pakai mobilku buat belanja keperluan mu, aku masih ada dinas sampai nanti jam sepuluh malam." Andhara menatap nanar sahabatnya itu, sontak matanya berkaca-kaca. Ia menerima kunci mobil itu lalu memeluk erat tubuh Yohana dan terisak dalam pelukan sahabatnya itu. "Terimakasih banyak, Yo!" *** Andhara membawa mobil itu melaju sesuai map GPS setelah mengantarkan Yohana kembali ke RSUD. Ia hendak mencari supermaket untuk belanja semua kebutuhan pribadi dan dapurnya. Jajan terus pasti boros bukan? Dan yang perlu diingat, gajinya tidak akan sebesar ketika ia dinas di Jakarta. Andhara mulai menyukai kota ini. Kota yang dijuluki kota Bengawan ini benar-benar memukau meski hanya kecil. Tidak terlalu sepi dan tidak terlalu padat macam Jakarta. Di sini pun sudah banyak mall bertaburan. Hotel-hotel bintang lima bergedung tinggi dan restoran berkelas. Intinya kota ini tidak terlalu sepi dan tertinggal. Dan Andhara benar-benar suka. Ia sudah sampai pada salah satu mall yang ada di wilayah Kota Barat itu, sebuah Mall besar yang Solo punya. Ia bergegas memarkirkan mobil milik Yohana itu dan masuk ke dalam untuk mencari apa yang dia butuhkan. Ia tidak menyangka bahwa Yohana sudah membelikan dia kasur dan bantal guling, sungguh sahabat sejati memang orang satu itu. Andhara melangkah dengan santai, ia langsung menuju supermarket yang ada di mall itu, menarik troli dan mulai mencari benda penting yang ia butuhkan. Peralatan memasak sederhana, alat makan, mandi dan lainnya sudah ia dapatkan. Kini tinggal mencari peralatan mandi dan lain sebagainya. Ia tengah sibuk memilih produk-produk kebersihan itu ketika iPhone-nya berdering. Andhara mengerutkan dahinya, ia bergegas merogoh tas selempang yang ia bawa dan menemukan nama itu terpampang di layar iPhone-nya. Andhara memaki dalam hati, untuk apa laki-laki itu kembali menghubungi dirinya? Ia bergegas menolak panggilan itu dan kembali memasukkan iPhone-nya ke dalam tas. Rasanya kebencian Andhara makin menjadi-jadi. Tidak cukupkah sosok itu menorehkan luka? Tidak cukupkah sosok itu menghancurkan kepercayaan Andhara pada cinta dan pernikahan? Andhara benar-benar muak dan benci, semoga dengan perginya dia ke kota ini, ia bisa perlahan-lahan melupakan semuanya, menyembuhkan lukanya dan menemukan hidup barunya. *** "Aku masih belum percaya kalau dokter spesialis semuda dan secerdas itu mau mengabdikan diri di rumah sakit ini," Heru melirik Yohana yang sedang sibuk menyalin status pasien yang tadi ia tangani untuk data presentasi kasus besok pagi. "Kalau begitu kamu harus belajar percaya, karena mulai besok pagi dia sudah akan dinas di rumah sakit ini," Yohana mengangkat wajahnya, menatap Heru dan tersenyum manis. "Pasti ada alasannya bukan?" tanya Heru yang benar-benar penasaran dengan sosok itu. Cantik, muda dan sudah spesialis. Dengar-dengar bapaknya dokter juga. Hebat bukan? Dia dokter darah biru, privilege dia pasti kuat, dan ia memilih mengabadikan dirinya di rumah sakit kecil yang sedikit terpinggir lokasinya ini? Yohana menghentikan aktivitas menulisnya, memang, Andhara memang punya alasan lain kenapa ia lari hingga sejauh ini kemari. Namun rasanya tidak etis jika ia menceritakan kejadian buruk yang menimpanya itu. Ini semua sebuah aib. Mendadak Yohana merasa hatinya ikut pedih. Dulu ia sempat bahagia dan bersyukur akhirnya Andhara bisa menemukan dan mendapatkan laki-laki yang ia cintai dan mencintainya itu. Semua berjalan begitu indah, ia masih ingat betul bagaimana bahagia paras itu. Namun ... ah! Yohana menggeleng perlahan, ia tidak mau mengingat kejadian demi kejadian itu. Karena jujur hatinya ikut sakit, ia ikut terluka dan pedih. "Yo! Malah ngelamun!" Heru menyenggol lengan Yohana membuat pulpen yang ada dalam genggaman tangannya itu terlepas dan jatuh ke lantai. "Kampret, jangan bikin kaget kenapa sih?" damprat Yohana kesal, ia kemudian membungkuk untuk mengambil pulpen miliknya itu. "Kamu sih malah melamun!" Yohana memanyunkan bibirnya, ia tidak melamun, ia hanya kilas balik tentang apa yang Andhara alami itu. Sungguh malang nasibnya. Yohana berharap bahwa ia masih dapat merengkuh kebahagiaannya. Kembali mencintai dan dicintai, serta memiliki keluarga kecilnya sendiri. *** Andhara membawa barang-barang belanjaan itu dengan troli. Setelah sampai parkiran, ia bergegas membuka bagasi dan memasukkan barang belanjaan itu ke dalamnya. Untung saja antrian di kasir tidak terlalu banyak, jadi ia bisa segera pulang dan mengembalikan mobil Yohana. Ia benar-benar merasa tidak enak jika terlalu lama membawa mobil sahabatnya ini. Yohana sudah cukup banyak membantunya. Andhara mulai kembali menghidupkan mesin mobil, membawa mobil itu keluar parkiran. Rasanya mampir ke M*D dulu tidak ada salahnya, membelikan makan malam untuk Yohana yang masih ada jadwal jaga itu. Kota Solo benar-benar damai, rasanya hati Andhara begitu tenang bahkan sejak turun dari pesawat. Ia rasa tidak salah jika kemudian ia memutuskan untuk memilih kota ini untuk tempat mengasingkan dirinya. Kota ini benar-benar spesial. Andhara tersenyum, rasanya ia ingin menghabiskan sisa umurnya di kota ini. Ia sudah jenuh dengan hiruk-pikuk ibu kota yang penuh polusi itu. Ia ingin suasana lain, dan suasana kota ini benar-benar mencuri perhatian Andhara. Ia melihat logo M*D begitu besar di kiri jalan, sontak ia membelokkan mobilnya dan membawanya menuju layanan Drive thru. Rasanya beberapa nasi ayam, burger dan kentang goreng tidak masalah bukan untuk teman jaga malam?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD