Gia melangkah cepat menuju mobilnya, mencoba mengabaikan degup jantung yang belum juga reda. Tapi suara langkah tergesa terdengar dari belakang.
“Gia, tunggu!”
Gia menoleh. Romy setengah berlari menyusul, keringat di dahinya semakin banyak. “Boleh... aku minta nomor ponselmu?”
Gia terdiam, ragu. “Romy, aku…”
“Kita kan teman sekolah, Gia,” potong Romy cepat. Tatapannya serius, tidak seperti canda. “Aku serius. Aku nggak mau kehilangan jejak kamu lagi.”
Gia menatapnya lama. Ada sesuatu di sorot mata Romy yang membuatnya sulit menolak. Akhirnya ia menghela nafas, lalu mengambil ponsel Romy dan mengetikkan nomornya.
“Nih,” katanya singkat.
Romy tersenyum lega, seolah baru saja memenangkan sesuatu yang berharga. “Makasih. Aku bakal hubungi kamu.”
Gia hanya mengangguk, lalu buru-buru masuk ke dalam mobilnya. Mesin menyala, dan ia melaju pergi, meninggalkan Romy yang masih berdiri di trotoar dengan senyum penuh harap.
Malam harinya, Gia duduk sendirian di ruang kerjanya. Laptop menyala, proposal desain terbuka, tapi pikirannya melayang ke kejadian siang tadi. Pertanyaan Romy bergema di kepalanya: kamu mau nikah nggak sama aku?
Gia menutup laptop, menopang dagu dengan tangan. Kenapa dia harus muncul sekarang? Kenapa dia harus nanya itu?
Ia tahu ayahnya pasti senang jika mendengar ada lelaki yang serius mendekatinya. Tapi Gia masih bingung, apakah dirinya benar-benar siap?
Hari berganti hari. Tapi tak ada pesan, tak ada telepon dari Romy. Di kantor, Gia sempat tersenyum kecil sambil berceloteh pada dirinya sendiri.
“Ah, mungkin dia cuma bercanda kemarin. Atau… dia lihat aku bawa mobil mewah, terus jadi minder.”
Ia menertawakan diri sendiri, berusaha meyakinkan hatinya untuk tidak terlalu memikirkannya.
Dan sore harinya di hari yang sama, Gia pulang kerja lebih cepat. Jalanan macet, jadi ia memilih mengambil jalan alternatif yang jarang dilewatinya. Dan disitulah matanya terpaku.
Di depan sebuah masjid sederhana, gerobak Romy’s Fried Chicken terparkir rapi. Romy tak terlihat, tapi suara imam dari pengeras masjid terdengar.
Gia memarkir mobil di pinggir jalan, lalu turun pelan-pelan. Dari jarak beberapa meter, ia melihat Romy keluar dari masjid. Ia mengenakan koko putih dan sarung, wajahnya teduh setelah berwudhu.
Ia menggelar sajadah kecil di pelataran masjid, menunaikan shalat dengan khusyuk, meski hanya beralaskan lantai. Orang-orang di sekitarnya tak begitu memperhatikan, tapi bagi Gia, pemandangan itu menancap kuat di hatinya.
Tanpa sadar, bibirnya tersenyum. “Apa ini petunjuk-Nya? Biasanya aku nggak pernah lewat jalan ini. Tapi kenapa hari ini aku bisa lihat dia begini?”
Sebuah ide berputar di kepalanya. Sesuatu yang membuat dadanya hangat.
Gia melangkah pelan mendekati gerobak fried chicken itu dan berdiri di dekatnya, menunggu Romy selesai shalat. Ia pura-pura sibuk memperhatikan papan menu di gerobak.
Beberapa menit kemudian, Romy datang tergesa, masih dengan sarung, menata kembali gerobaknya. Ia tidak sadar siapa yang berdiri di depannya.
“Mbak, mau beli fried chicken-nya?” tanyanya ramah, sambil tersenyum.
Gia berbalik perlahan. “Romy.”
Romy sontak kaget, matanya membesar. “Eh, Gia! Astaga… aku kira pembeli.”
Gia tertawa kecil melihat ekspresinya. “Kamu kira aku pelanggan baru, ya?”
Romy garuk kepala, kikuk. “Ya… aku nggak nyangka kamu bakal muncul di sini.”
Gia menatapnya lebih lama, dan kali ini, senyumnya berbeda. Senyum yang mungkin menyimpan jawaban atas pertanyaan Romy tempo hari.
“Gia, duduk dulu sebentar. Aku goreng ayam spesial buat kamu.”
Romy menunjuk bangku kecil di samping gerobaknya.
Gia tersenyum ragu. “Nggak enak, nanti ganggu kamu jualan.”
“Tenang aja, pelanggan paling berharga nggak mungkin ganggu. Malah jadi penyemangat,” jawab Romy dengan nada setengah bercanda.
Akhirnya Gia duduk. Romy dengan cekatan menggoreng ayam, minyak panas berdesis, aroma gurih langsung menyeruak. Tak lama, sepotong fried chicken panas tersaji di atas piring sederhana.
“Nih, coba,” kata Romy penuh semangat.
Gia mencicipinya dengan hati-hati. Gurih dan renyah memenuhi lidahnya. Ia menutup mata sebentar, menikmati rasa itu. “Enak banget, Rom. Serius. Ini ayam goreng terenak yang aku makan belakangan ini.”
Romy tersenyum lebar, jelas puas dengan pujian itu. “Alhamdulillah. Berarti nggak sia-sia aku begadang nyoba resep.”
Mereka tertawa. Tak lama, Gia melihat jam tangannya. “Aku harus pulang, Rom. Tapi kalau nggak keberatan, ngobrolnya lanjut di mobilku sebentar?”
Romy tampak kaget, tapi mengangguk. “Boleh.”
Di dalam mobil Gia yang nyaman, suasana berubah lebih personal. Lampu jalan temaram menembus kaca, membuat bayangan wajah mereka terlihat lembut.
Romy menunduk sebentar, lalu berkata dengan nada sungguh-sungguh.
“Maaf ya, Gia. Aku belum sempat hubungi kamu. Soalnya setelah ketemu kamu itu… pesanan banyak banget. Ada acara sekolah sama pengajian ibu-ibu. Aku sampai kewalahan.”
Gia mengangguk pelan. “Ya nggak apa-apa kok, Rom. Justru aku senang dengarnya. Itu berarti usahamu jalan dengan baik.”
Hening sejenak. Gia lalu menoleh menatap Romy dengan tatapan serius tapi penuh kehangatan.
“Oh iya, Rom… aku mau tawarin kamu kerja sama.”
Romy berkedip, bingung. “Kerja sama apa nih?”
Gia tersenyum kecil. “Aku mau nanam saham di usahamu. Jadi nanti aku dapat untungnya juga.”
Romy terdiam, seolah tak percaya dengan apa yang baru ia dengar. “Saham? Kamu serius?”
“Serius,” jawab Gia mantap. “Aku kepikiran gini. Aku akan beliin ruko di lokasi strategis—pinggir jalan, dekat sekolah atau perkantoran. Nanti kamu yang jalanin usahanya, aku yang desain interiornya biar estetik dan menarik pengunjung. Aku juga kasih kamu modal tambahan buat nambah menu. Fried chicken kamu enak, tapi nanti bisa ditambah nasi, burger, atau paket hemat. Jadi usaha kamu lebih berkembang.”
Romy menatap Gia lama, matanya berbinar. Ia terlihat campur aduk antara terharu dan semangat.
“Gia… aku… nggak tahu harus bilang apa. Tapi aku setuju. Boleh banget. Itu luar biasa.”
Gia tersenyum, matanya ikut hangat. “Anggap aja aku sekalian investasi, Rom. Aku percaya sama kamu.”
Romy merasakan dadanya bergetar aneh. Kata-kata itu bukan sekadar bisnis, ia tahu. Ada sesuatu di balik tatapan Gia yang membuatnya yakin, mungkin Tuhan memang sengaja mempertemukan mereka lagi.
“Gia, kamu yakin? Percaya sama aku?” tanya Romy.