Progres Kerjasama

918 Words
Romy duduk tegak di kursi penumpang, menatap Gia dengan serius. Sorot matanya tak main-main, membuat Gia ikut terdiam. “Gia…” suaranya pelan, tapi dalam. “Apa kamu yakin? Percaya sama aku?” Gia menarik napas, lalu menoleh padanya. Ada keraguan, tapi juga keyakinan yang perlahan tumbuh. “Ya,” jawabnya hati-hati. “Aku harap kamu tidak mengecewakan, Rom.” Senyum perlahan mengembang di wajah Romy. Senyum manis yang sederhana, tapi penuh janji. “Aku akan jaga kepercayaan kamu.” Suasana mobil hening beberapa saat. Hanya suara kendaraan di jalan yang terdengar samar. Gia menunduk, jarinya memainkan ujung kerudung. Sementara Romy tampak gelisah, seperti sedang menimbang sesuatu. Akhirnya ia memberanikan diri. “Lalu… gimana tanggapan kamu soal… ajakan menikah dariku kemarin, Gi?” Pertanyaan itu membuat Gia terdiam. Pipi terasa hangat, jantungnya berdegup cepat. Ia menunduk lebih dalam, berusaha menguasai diri. “Romy…” suaranya lirih. “Aku mau kamu fokus dulu sama usahamu. Semoga kamu sukses, dan kerja sama kita ini juga sukses.” Romy terdiam sebentar, lalu tersenyum lagi, kali ini penuh semangat. “Aku mengerti, Gi. Aku janji… aku akan giat bekerja, aku akan sukses. Supaya… kita bisa segera menikah.” Gia menatapnya sekilas, lalu kembali menunduk dengan senyum samar. Ada perasaan hangat yang menyusup ke hatinya, sesuatu yang lama ia pikir sudah tak mungkin datang lagi. Malam.itu, Gia pulang dengan hati yang masih hangat oleh percakapan di mobil. Sesampainya di rumah, ia mendapati ayahnya sedang duduk di ruang tamu, membaca koran dengan kacamata tipisnya. “Ayah belum tidur?” tanya Gia sambil meletakkan tas di sofa. Farid menurunkan koran dan tersenyum. “Nungguin kamu pulang. Gimana harimu?” Gia duduk di samping ayahnya. Ia terdiam sebentar, lalu menarik napas dalam. “Yah, aku ketemu teman lama. Namanya Romy. Dulu kita satu sekolah.” “Oh iya? Terus?” Farid mengangkat alis, penasaran. “Sekarang dia lagi usaha sendiri, jualan fried chicken. Sederhana, tapi menurutku potensinya besar. Aku sudah coba masakannya, enak banget. Jadi aku kepikiran… untuk kerja sama sama dia.” Farid menatap putrinya dengan penuh perhatian. “Kerja sama bagaimana maksudmu, Nak?” Gia menjelaskan dengan antusias. “Aku mau beliin ruko untuk tempat usahanya. Nanti aku desain interiornya biar menarik dan lebih profesional. Aku juga kasih modal tambahan buat kembangkan menu. Jadi usahanya bisa naik kelas.” Farid mengangguk pelan, matanya berbinar. “Bagus sekali, Gia. Ayah bangga. Kamu bukan cuma berpikir bisnis, tapi juga membantu orang lain tumbuh. Itu sikap yang mulia.” Gia tersenyum tipis, lega mendengar respon ayahnya. Farid menatap putrinya lebih lama, lalu berkata dengan nada penuh makna, “Ayah rasa langkahmu tepat. Siapa tahu, Gia… mungkin ini bukan sekadar kerja sama bisnis. Mungkin ini jalan Allah.” Gia menunduk, bibirnya tersenyum samar. “Aku juga kepikiran begitu, Yah. Tapi aku nggak mau terburu-buru. Kalau Romy memang jodohku… kita akan menikah nanti, Ayah.” Farid meraih tangan putrinya, menggenggam erat dengan penuh kasih sayang. “Ayah akan selalu mendukung keputusanmu, Nak. Yang penting kamu bahagia.” Hening sejenak, hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Gia menatap wajah ayahnya, lalu dalam hati ia berdoa: “Ya Allah, jika Romy memang yang terbaik, dekatkanlah. Jika bukan, maka beri aku kekuatan untuk tetap ikhlas.” Suatu hari di sebuah ruang meeting kecil di lantai atas ruko, Romy dan Gia duduk berhadapan dengan map berisi proposal kerjasama. Di atas meja tersusun beberapa draft perjanjian, laptop Gia, serta kopi buatan Romy yang aromanya memenuhi ruangan. “Jadi, konsepnya seperti ini, Gi,” ujar Romy sambil menunjuk presentasi sederhana di laptopnya. “Aku ingin mempertahankan ciri khas usaha ini, tapi dengan dukunganmu di bidang promosi dan branding, aku yakin bisa naik level.” Gia menatap Romy serius, tapi senyumnya lembut. “Itu poin penting, Rom. Orang datang bukan hanya karena rasa, tapi juga pengalaman yang kita suguhkan. Aku akan bantu di sisi strategi pemasaran, media sosial, dan juga kemasan produk. Kita buat brand ini lebih profesional.” Romy mengangguk mantap. Ada kilatan kebanggaan di matanya—ia merasa diangkat dari mimpinya yang dulu hanya sederhana, kini mulai terwujud. “Aku bersyukur kamu percaya sama aku. Semoga kerjasama ini bukan cuma soal bisnis, ya.” Gia sempat terdiam, lalu tersenyum. “Kita lihat nanti, Rom. Kalau Tuhan izinkan, siapa tahu ada jalan yang lebih dari sekadar bisnis.” Tiga bulan berlalu. Usaha Romy benar-benar melejit. Review positif dari food blogger dan influencer memenuhi media sosial. Hashtag usaha Romy sering masuk trending lokal. Antrian di depan rukonya semakin panjang, bahkan ada yang rela datang dari luar kota. Romy sendiri tidak pernah berhenti bekerja keras. Tapi semua itu ia lakukan dengan rasa syukur—karena dukungan Gia menjadi pondasi kesuksesan ini. Suatu sore, setelah menutup ruko lebih awal, Romy mengajak Gia untuk bertemu di sudut kafe kecil yang tenang. Ia tampak lebih rapi dari biasanya, mengenakan kemeja putih dan jaket hitam sederhana. “Gi,” ucapnya pelan, menatap gadis itu dengan penuh keyakinan. “Tiga bulan ini aku belajar banyak. Tentang usaha, tentang kerja sama, tentang arti kepercayaan. Dan aku semakin yakin…” Romy menarik napas panjang, lalu menatap Gia dalam-dalam. “Aku ingin melangkah lebih jauh. Aku ingin melamarmu secara resmi. Bolehkan aku datang menemui ayahmu?” Gia terkejut, pipinya memerah. Jantungnya berdegup kencang, tapi senyuman perlahan muncul di wajahnya. Ia menatap Romy dengan mata yang berkilat, lalu mengangguk pelan. “Kalau kamu benar-benar yakin, Rom, datanglah. Aku akan perkenalkan kamu pada ayah. Dan kita lihat, apakah memang ini jalannya.” “Kamu Serius? Boleh? Kamu tak mempermasalahkan pendapatanku jauh di bawahmu?” Tanya Romy.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD