Romy menatap Gia dengan mata penuh keraguan bercampur haru. Di tengah suasana cafe yang hangat dan temaram, suara musik lembut mengalun di latar, namun yang terdengar jelas hanyalah detak jantung keduanya.
“Gia… kamu serius?” Romy bertanya pelan, nadanya nyaris bergetar. “Aku datang ke rumahmu, melamar secara resmi… kamu benar-benar mengizinkan?”
Gia menatapnya lembut. “Tentu saja, Rom. Aku tidak akan mengatakan itu kalau aku tidak sungguh-sungguh.”
Romy menunduk sejenak, menatap tangannya yang saling meremas di pangkuan. “Tapi… kamu nggak mempermasalahkan penghasilanku? Kamu tahu sendiri, usahaku baru mulai naik. Pendapatanku masih jauh banget dibanding kamu. Aku bahkan belum bisa membayangkan seimbang sama dunia yang kamu jalani.”
Gia menggeleng pelan, senyum menenangkan terpulas di wajahnya. “Rom, aku tidak pernah menilai seseorang dari seberapa besar uang yang dihasilkan. Aku lihat dari bagaimana kamu bekerja keras, bagaimana kamu berjuang tanpa menyerah.”
Ia berhenti sebentar, lalu menatap Romy lebih dalam. “Kalau soal rezeki, Tuhan yang atur. Tapi soal niat dan kesungguhan, itu yang aku lihat darimu. Kamu tulus, Rom. Dan aku yakin, kamu akan terus berkembang. Aku bangga sama kamu, bukan karena angka di rekening, tapi karena ketulusan dan kerja kerasmu.”
Romy terdiam, matanya sedikit berkaca-kaca. “Gia… kamu nggak tahu seberapa berartinya kata-katamu buat aku.”
Gia tersenyum tipis. “Aku tahu, Rom. Karena aku pun merasa hal yang sama.”
Romy menatap Gia dengan lembut. “Baiklah. Kalau begitu, aku akan datang ke rumahmu. Aku ingin bertemu ayahmu, minta izin langsung darinya. Aku nggak mau menunda-nunda lagi.”
Gia mengangguk dengan mata berkilat. “Ayah pasti senang bertemu kamu.”
Keduanya lalu terdiam sejenak—bukan karena canggung, tapi karena hati mereka sedang menyimpan kebahagiaan yang tak perlu banyak kata.
Suatu sore di akhir pekan , langit mulai berwarna jingga ketika suara motor berhenti di depan rumah Gia. Romy turun dengan rapi—kemeja putih bersih, celana bahan abu-abu, dan wajah yang tampak gugup tapi berusaha tenang. Di tangannya ada sekotak kecil berisi cincin sederhana, simbol kesungguhannya datang bukan sebagai teman lama, tapi sebagai calon suami yang ingin meminta restu.
Gia sudah menunggu di ruang tamu bersama ayahnya. Ia mengenakan gamis lembut warna krem dan hijab, wajahnya tampak tenang tapi jelas ada debar di matanya.
Romy mengetuk pintu, dan Farid yang membukanya langsung menyambut dengan ramah namun berwibawa.
“Masuk, Romy. Silakan duduk,” ujar Farid.
“Terima kasih, Pak.” Romy duduk dengan sopan, menunduk sebentar memberi salam hormat.
“Saya mohon maaf datang sendiri, Pak. Ibu saya masih tinggal di kampung, bersama adik-adik. Beliau belum bisa datang ke kota.”
Farid mengangguk pelan, matanya menatap Romy penuh pengamatan. “Tidak apa-apa. Yang penting niatmu datang hari ini baik. Saya senang kamu datang dengan cara yang terhormat.”
Romy menatap Gia sekilas, lalu kembali menunduk hormat. “Iya, Pak. Langsung saja ya pak. Saya datang untuk melamar Gia. Saya ingin, insyaallah, menikah dengannya kalau Bapak mengizinkan.”
Suasana hening sejenak. Hanya suara jam dinding yang terdengar, dan napas Gia yang tertahan.
Farid bersandar sedikit, menautkan jari-jarinya. “Romy,” ujarnya perlahan, “sebelum saya putuskan menerima atau tidak, saya ingin memberikan satu tes untukmu.”
Romy refleks menatap Gia, seolah mencari jawaban di wajahnya. Gia tampak bingung juga, tapi mencoba tersenyum memberi semangat.
“Test, Pak?” tanya Romy hati-hati. “Boleh saya tahu, tes apa?”
Farid menghela napas tenang. “Mudah saja, Nak. Saya hanya ingin kamu membaca Al-Qur’an, dan memperdengarkan bacaan shalatmu. Saya ingin memastikan Gia mendapatkan imam yang baik, terutama dalam ibadah.”
Romy sempat meneguk ludah pelan, namun kemudian tersenyum lega. Ia mengangguk. “Baik, Pak. Dengan senang hati.”
Farid mengambil mushaf kecil di atas meja, menyerahkannya. “Silahkan dibaca, Surah Ar-Rahman ayat 1 sampai 13.”
Romy menerima Al-Qur’an itu dengan tangan gemetar tapi penuh hormat. Ia menarik nafas, lalu mulai membaca. Suaranya tenang, jernih, dengan makhraj yang pas. Bacaan tajwidnya cukup baik, dan meski nada suaranya tak berlebihan, setiap ayat terdengar khusyuk dan menggetarkan.
Farid mengangguk kecil beberapa kali. Ketika Romy selesai, ia kemudian berkata, “Sekarang, bacakan niat dan bacaan shalatmu.”
Romy pun berdiri, menghadap kiblat, lalu mengucapkan niat shalat dan membaca Al-Fatihah beserta bacaan rukuk dan sujud dengan lancar. Tak ada keraguan di lidahnya—semua mengalir alami, seperti seseorang yang memang sudah terbiasa memimpin shalat.
Farid memandangnya lama, lalu menunduk sejenak sebelum berkata dengan suara bergetar, “Alhamdulillah… cukup.”
Suasana hening berubah menjadi haru. Gia menatap ayahnya, menunggu kata-kata berikutnya dengan mata berair.
Farid tersenyum perlahan. “Romy, saya menerima niat baikmu untuk melamar Gia. Saya lihat kamu punya adab, punya iman, dan punya kemauan. Itu sudah cukup bagi saya sebagai seorang ayah.”
Romy menunduk, hampir tidak percaya. “Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak.”
Farid menepuk bahunya dengan lembut. “Jagalah Gia. Dunia boleh kamu kejar, tapi jangan pernah lalai pada ibadah. Kalau kamu bisa menjadi imam yang baik untuknya, kamu akan jadi suami yang baik pula.”
Romy menatap Gia, matanya basah namun penuh cahaya. Gia tersenyum, bibirnya gemetar menahan haru. “Alhamdulillah…” ucapnya lirih.
Romy menghembuskan napas panjang, seolah seluruh bebannya runtuh bersama angin sore yang menembus jendela. Ia menatap Farid dan Gia bergantian, lalu tersenyum lebar. “Insyaallah, Pak. Saya akan jaga kepercayaan ini. Saya akan jaga Gia sebaik yang saya bisa.”
Di luar, langit senja mulai berganti malam. Tapi di hati mereka, cahaya baru telah menyala—cahaya sebuah awal yang penuh harapan dan restu.
Farid berdiri pelan dari kursinya, pandangannya lembut namun tetap berwibawa. “Baiklah,” katanya dengan suara tenang, “ayah mau ke kamar. Kalian boleh bicara berdua, tapi ingat, jaga jarak, ya. Kalian belum sah, dan itu tanggung jawab di hadapan Allah.”
Gia mengangguk sopan. “Iya, Ayah.”
Romy menunduk hormat. “Insyaallah, Pak. Saya paham.”
Farid tersenyum tipis sebelum berjalan meninggalkan ruang tamu. Suara langkahnya perlahan memudar di koridor rumah, menyisakan keheningan yang hanya diisi detak jam dinding dan degup jantung dua orang yang baru saja melewati momen besar dalam hidupnya.
Romy menatap Gia, senyumnya hangat, sedikit canggung tapi jujur. “Aku masih nggak percaya, Gi. Lamaran aku diterima,” katanya pelan, seolah takut suara bahagianya terdengar terlalu keras.
Gia tersenyum lembut. “Aku juga masih seperti mimpi, Rom. Tapi aku bersyukur.”
Romy menarik napas, menatap Gia dalam-dalam. “Tapi, Gi…” suaranya lembut, sedikit bergetar. “Aku harus jujur. Aku belum punya tabungan besar kalau kita mau langsung nikah dalam waktu dekat. Tapi aku pengen banget segera nikahi kamu. Aku mau semuanya halal, biar aku tenang. Gimana kalau… kita nikah dulu tanpa resepsi besar?”
Gia menatapnya lama, memikirkan kata-katanya. Ia paham niat Romy bukan karena ingin sederhana semata, tapi karena ingin segera menunaikan tanggung jawab dengan cara yang benar. Namun di sisi lain, Gia ingin sekali ayahnya bisa melihat hari pernikahannya berlangsung layak—sekali saja, bukan dua kali.
Setelah beberapa detik hening, Gia menghela nafas pelan. “Rom, aku ngerti maksud kamu. Tapi kalau memang mau nikah dulu, sekalian saja kita langsung adakan resepsi. Aku yang urus semuanya. Kamu nggak usah pusing. Kamu cukup siapkan mahar yang terbaik buatku.”
Romy menatap Gia dengan mata yang sedikit berkaca. “Kamu yakin, Gi? Kamu keberatan tidak kalau maharnya cuma dua puluh gram emas?”