Rani memutuskan mempertahankan janin yang ia kandung. Walau kehamilan Rani merupakan aib bagi keluarganya, tapi dia tak tega jika harus membunuh darah dagingnya sendiri. Rani tidak mau menambah dosa yang telah ia lakukan.
Rani dan sang Ibu akhirnya memilih pindah rumah ke tempat di mana tak ada seorang pun yang mengenal mereka. Para tetangga di sekitar rumah sempat menanyakan kepergian Rani dan sang Ibu yang begitu mendadak, begitu juga dengan teman-teman Rani di toko handphone tempat ia bekerja karena Rani tiba-tiba mengundurkan diri. Rani beralasan kalau dia mendapatkan pekerjaan di luar kota. Jadi, Rani terpaksa pindah rumah dan mengajak sang Ibu pergi bersamanya.
“Mama...”
Suara panggilan anak kecil membuyarkan lamunan Rani akan kenangan masa lalunya. Dia menoleh dan tersenyum melihat anak laki-laki yang berlari ke arahnya.
“Sudah selesai sikat giginya, Nak?” tanya Rani, menyambut sang anak ke dalam pelukannya.
“Udah, Ma,” jawab sang anak, menganggukkan kepalanya berulang kali.
“Anak pintar,” sahut Rani, mencium pipi anaknya dengan gemas. “Sekarang kita bobo, ya.”
“Oce.”
Rani menggendong sang anak dan membawanya ke kamar mereka. Dia membaringkan sang anak di atas ranjang kemudian ikut berbaring di sampingnya.
“Baca do’a dulu,” perintah Rani sebelum sang anak memejamkan matanya.
Rani tersenyum mendengar sang anak melantunkan do’a sebelum tidur sambil mengangkat kedua tangannya. Anak Rani sudah menghafal beberapa do’a harian walaupun bacaannya masih belum lancar dan suaranya masih cadel. Rani selalu mengajarkan anaknya untuk membaca do’a sebelum melakukan kegiatan sehari-hari.
“Selamat tidur, Sayang,” ucap Rani, mencium kening sang anak setelah selesai membaca do’a sebelum tidur.
“Selamat tidul, Ma,” balas sang anak, mencium pipi Rani.
Rani tersenyum dan mendekap tubuh sang anak ke dalam pelukannya. Tangan Rani bergerak mengusap punggung anaknya agar cepat terlelap.
Lima tahun telah berlalu semenjak Rani mengetahui kabar kehamilannya dan kini janin itu telah tumbuh menjadi sosok pangeran kecil setampan Ayahnya.
Ya, Rani mengingat pria tampan yang telah menghamilinya. Dia tak bisa menyalahkan Reza karena kejadian itu terjadi atas kemauannya sendiri. Rani tak ingin disebut sebagai wanita yang tidak tahu diri jika ia datang menemui Reza untuk meminta pertanggungjawabannya. Rani memilih membesarkan anak mereka seorang diri tanpa diketahui oleh ayah biologisnya itu.
Rani bersyukur kehadirannya dan sang anak diterima dengan baik oleh masyarakat tempat tinggal mereka sekarang. Walau terkadang masih ada warga yang membicarakan status anaknya, tapi Rani mencoba menulikan pendengaran dan mengabaikan omongan mereka selama hal itu tidak mengganggu tumbuh kembang sang anak.
Kebahagiaan anaknya merupakan prioritas utama Rani saat ini. Dia berharap anaknya bisa tumbuh seperti anak di luar sana walaupun tanpa kehadiran seorang ayah di sampingnya.
“I love you, Sayang,” ucap Rani, mencium kening sang anak yang telah tertidur dalam pelukannya.
oOo
Reza berada di dalam mobil dalam perjalanan menuju ke perusahaan cabang yang ada di kota kembang Bandung. Dia memilih pergi menggunakan mobil karena akan menginap selama beberapa hari di Bandung agar memudahkan dirinya ketika melakukan aktivitas.
Sudah cukup lama Reza tidak berkunjung ke perusahaan cabang yang ada di Kota Bandung. Biasanya dia hanya memerintah manager perusahaan untuk datang ke Bandung atau salah satu karyawan dari Bandung yang akan datang ke perusahaan pusat di Jakarta. Namun, kali ini Reza ingin dia sendiri yang datang ke Bandung untuk mengecek perkembangan perusahaan yang ada di sini. Reza sekalian ingin meliburkan diri dari padatnya aktivitas di Jakarta.
CIIIIIT...
Suara decitan mobil dengan aspal membuat fokus Reza teralihkan dari kertas-kertas yang ada di tangannya. Beberapa lembar kertas jatuh berserakan membuat Reza menghela napas kesal.
“Ada apa, Pak?” tanya Reza pada sang supir yang tiba-tiba mengerem mobilnya secara mendadak.
“I-itu, Pak. Ada a-anak kecil yang tiba-tiba menyeberang jalan di depan mobil kita,” jawab Pak Slamet, sopir Reza, tebata-bata. Raut wajahnya terlihat terkejut setelah kejadian yang baru saja terjadi.
“CK,” Reza berdecak kesal. Dia sudah hampir terlambat tiba di perusahaan, tapi sekarang harus mengalami insiden seperti ini.
“Bi-biar saya lihat keluar dulu, Pak,” ujar Pak Slamet, meminta izin.
“Ya sudah buruan,” sahut Reza, mengizinkan.
Pak Slamet mengiyakan kemudian bergegas keluar dari mobil.
oOo
Pak Slamet menghampiri anak laki-laki kecil yang jatuh terduduk di depan mobil. Anak itu menangis meraung memanggil sang ibu.
“Kamu nggak apa-apa, Nak? Mana yang sakit?” tanya Pak Slamet, berjongkok di samping anak tersebut.
“Ma-ma,” panggil sang anak sambil menangis sesenggukan.
“Hei, Nak, mana yang sakit? Coba Paman lihat,” ujar Pak Slamet dengan suara lembut.
Pak Slamet berusaha memeriksa tubuh sang anak untuk mengetahui apakah ada luka di tubuhnya atau tidak. Pak Slamet terpaku ketika melihat wajah sang anak yang masih menangis di depannya. Wajah anak itu mengingatkannya pada seseorang.
“RAFA!!!”
Seorang wanita paruh baya berteriak dan berlari menghampiri Pak Slamet dan anak itu. “Ya ampun, Nak, kenapa kamu ada di sini? Dari tadi Bibi nyariin kamu,” kata wanita paruh baya itu memeluk sang anak yang masih saja menangis.
“Maaf, Bu, tadi anak ini tiba-tiba menyeberang jalan di depan mobil saya,” kata Pak Slamet, menjelaskan.
“Astaghfirullah. Rafa nggak apa-apa, kan, nNak? Ada yang luka?” tanya wanita paruh baya itu dengan panik. Dia membantu sang anak berdiri kemudian meneliti tubuhnya dari atas hingga bawah. Wanita paruh baya itu menghela nafas lega saat tak melihat luka di tubuh sang anak, hanya ada lecet di kedua tangannya karena terjatuh tadi.
“Mama,” ujar sang anak masih menangis sambil memanggil Ibunya.
“Iya. Iya. Nanti kita ke Mama, ya,” sahut wanita paruh baya itu kemudian menggendong sang anak. “Maafkan dia, Pak. Tadi saya meninggalkannya sebentar di teras rumah. Saya nggak menyangka dia akan berjalan sendirian ke jalan raya,” kata wanita paruh baya itu kepada Pak Slamet.
“Iya, Bu, saya juga minta maaf karena kurang hati-hati saat menyetir,” sahut Pak Slamet. Dia menghela nafas lega melihat anak itu baik-baik saja.
“Gimana keadaannya, Pak? Apa anak itu terluka?” tanya Reza yang sudah keluar dari mobil. Dia terlihat penasaran karena Pak Slamet tidak segera kembali ke dalam mobil.
“Ti-tidak, Pak. Dia hanya menangis karena terkejut,” jawab Pak Slamet, menatap Reza. Dia kemudian memandang anak kecil yang kini sudah tenang di gendongan wanita paruh baya di hadapannya.
“Ya sudah ... tunggu apalagi? Saya sudah terlambat, kita harus segera tiba di kantor, Pak,” ujar Reza, menatap Pak Slamet yang masih terdiam di tempatnya berdiri.
“I-iya. Baik, Pak,” sahut Pak Slamet, tergagap. Dia menghentikan pikiran yang sejak tadi berseliweran di kepalanya. “Sekali lagi saya minta maaf ya, Bu,” ujar Pak Slamet, menatap wanita paruh baya di hadapannya lagi.
“Iya. Nggak apa-apa, Pak. Saya permisi dulu,” kata wanita paruh baya itu kemudian menganggukkan kepala kepada Reza untuk berpamitan.
Reza menatap kepergian wanita paruh baya itu. Matanya terpaku pada wajah anak laki-laki kecil yang berada di dalam gendongannya.
“Ayo, Pak,” ajak Pak Slamet, mengalihkan perhatian Reza dari anak laki-laki itu.
Reza mengangguk. Dia segera masuk ke dalam mobil diikuti oleh Pak Slamet. Mobil yang ditumpangi Reza kembali bergerak untuk melanjutkan perjalanannya.
oOo