Shila menatap aneh pada laki -laki setengah tua yang ada di depanya ini. Makan pakai telur aja terlihat mewah banget buat dia. Sampai terlihat kekanakan sekali.
"E -enak Om?" tanya Shila sambil menyuapkan satu sendok nasi dan telur ke dalam mulutnya.
"Enak banget. Saya memang paling suka dengan dunia perteluran,"ucap Arga begitu semangat.
"Dunia perteluran? Semua suka?" tanya Shila memastikan.
"Iya suka. Semua telur pokoknya. Eh ... Kecuali telur buaya, telur cicak, telur tokek, telur ular ... Saya gak suka," jelas Arga lagi.
Sikap Arga seperti bukan Arga yang biasa dikenal Shila. Ternyata hanya dengan sebuah telur bisa membuat Arga berubah dengan drastis.
Spontan Shila tertawa mendengar ajwaban Arga yang terdengar sangat lucu itu. Memang Arga yang pandai melucu atau memang Arga sedang berada di sisi lain saat ini.
"Kenapa ketawa? Ada yang lucu?" tanya Arga menghabiskan suapan terakhirnya dan meneguk air teh yang sudah disediakan Shia.
Sholamenutp mulunya dan menggelengan ekpalanya pelan.
"Enggak ada kok. Sama sekali gak ada yang lucu," jelas Shila menahan ketawanya di dalam hati.
Arga sudah selesia makan dan ia sudah bersiap untuk berangkat. ia berdiri sambil membawa tas kecil yang biasa di sebut tas dokter karena berisi alat -alat kedokteran yang standar harus dimiliki oleh seorang dokter. Tidak lupa, Arga mengambil jas dokternya.
"Saya pergi dulu," pamit Arga pada shila. Arga sudah berdiri di depan pintu, lalu menoleh lagi ke arah Shila.
"Iya Om," jawab Shila singkat.
"Pintunya janagn dikunci ya. Nanti saya ga bisa masuk. Di sini aman kok," jelas Arga lagi.
"Siap Om," jawab Shila sambil tersenyum lebar ke arah Arga. Senyuman yang begitu ramah dan penuh ketulusan.
"Oke. Saya berangkat dulu." Pamit Arga pada Shila.
"Eum ... Om ... Ini bekalnya," titah shila yang berdiri lalu mengejar Arga dan memberikan satu kantong bekal yang berisi kotak makan dan tumbler yang masih misteri apa isinya.
Arga agak canggung menerimanya. Ia hanay berpikir, Shila seperti istrinya saja. Tinggal bersama, menyiapkan bekal untuknya bekerja, masak, dan lihat, kamar ini sangat bersih dan wangi.
"Kok bengong Om? Kenapa?" tanya Shila bingung. Takutnya Arga syok dan berubah menjadi patung.
"Ehm ... Enggak kok. Cuma aneh aja. Baru kali ini bawa bekal," ucap Arga masih merasa aneh.
"Malu?" tuduh Shila.
"Enggak malu. Aneh aja," jawab Arga masih berdiri di ambang pintu.
"Anehnya kenapa?" tanya Shila penasaran.
"Ya aneh dong. Saya ini dokter muda yang tampan malah bawa bekal sederhan begini. Kan lucu," jawab Arga ketus tidak sesuai apa yang ada di dalam pikirannya tadi. Ia sengaja spontan bicara kasar yang memuat hati Shila tersakiti.
"Dih ... Gitu maat jawabnya Om. Kirain mau bilang makasih gitu sama Shila. Malah dibilang aneh. ya udah kalau gak mau," ucap Shila sambil mengambil kembali tas bekal itu yang sudah digenggam erat oleh tangan kekar Arga.
Mereka malah tarik -tarikan. Shila ingin mengambil kembali sedangkan Arga tetap menahan tas iu.
"Katanya malu. Sini baikin," titah Shila kesal.
"Saya gak bilang malu. Cuma aneh aja," jawab Arga mengulang.
"Ah ...Itu sama aja maknanya," jelas Shila masih menarik keras tas bekal itu.
"Enggak dong. tetap beda antara malu dan aneh!" ucap Arga semakin tegas.
"Sini Om!" ucap Shila masih menarik keras tas bekal itu.
"Enggak! Awas! Saya mau berangkat!" ucap Arga tegas.
Arga menarik tas bekal iu hingga Shila terhuyung ke depan dan malah menubruk tubuh Arga yang tepat berada di depan Shila. Tangan Shila memegang pudak Arga dan Arga spontan memegang tubuh Shila agar tidak terjatuh denagn memegang pinggangnya. Mereka saling bertatapan beberapa detik karenag kaget dan i detik kesekian langsung tersadardan salin canggung.
"Saya pergi," titah Arga yang buru -buru keluar dari kamar dan meninggalkan Shila di kamar itu sendiri.
Shila sendiri membalikkan tubuhnya dan memnggungi Arga tadi. Jantungya malah ikut senam segala. Benar -ebnar aneh sekali.
Hal tadi itu bisa terjadi kapan saja, siapa saja dan di waktu apa saja. Kenapa harus kaget, terkejut dan merasa aneh.
Shila menarik napas dalam sambil memejamkan kedua matanya. kedua tangannya ikut bergerak ke atas dan saat mengembuskan napas itu perlahan, kedua tangan itu juga ikut turun. Persis seperti wayang orang yang sedang menari.
Shila menutup pintu kamar itu dan segera membereskan piring kotor dan sisa makanan yang masih ada. Shila berjalan keluar kamardan mencuci piring kotor itu.
"Hai ... Anak baru ya? Kamarnya yang mana?" tanya seorang laki -laki yang sedang merebus air untuk membuat kopi. Jelas terlihat cangkir kopi yang sudah bersii kopi instant tinggal seduh dan di aduk agar rasa manis dan pahitnya merata.
Merasa dirinya di ajak bicara, Shila hanya mengangguk kecil dan tersenyum ramah. "Iya." Jawabannya begitu singkat sekali.
"Kamarnya yang mana? Perasaan di sini udah full deh," ucap lelaki itu masih mengajak bicara Shila.
"Itu," tunjuk Shila ke kamar Arga. Di depan pintu kamar Arga ada stiker besar upi dan ipin. Jadi nampak berbeda dengan kamar -kamar lainnya.
"Itu kan kamarnya Arga?" tanya lelaki itu memastikan.
"Iya." Shila menjawab singkat.
"Adiknya Arga?" tanya lelaki itu lagi denagn penasaran.
"Sepupunya," jawab Shila lagi.
"Oh pantes. Beda raut wajahnya. Tapi cantik banget," puji lelaki itu pada Shila.
Shila hanya memakai celana pendek yang jauh dari lutut hingga paha mulusnya memang terpampang jelas dan kaos ketat yang menunjukkan beberapa tonjolan ditubuhnya. Sudah tentu membuat para lelaki yang melihat Shila akan berpikir macam -macam atau malah smepat membayangkan yang tidak -tidak.
"Makasih," jawab Shila yang sudah selesai mencuci piring dan meletakkan piring itu di rak piring.
"Mau nopi bareng gak? Kamar aku beda dua sama kamu," ucap lelaki itu mulai menunjukkan taring ke -playboy -annya.
Shila mengeglengkan kepalanya pelan. "Enggak usah. Gak suka kopi."
"s**u? Mau? Soalnay saa juga suka s**u," ucap lelaki itu sambil menatap kaos ketat Shila yang menunjukkan dua gunung kembarnya yang terlihat menggemaskan sekali tonjolannya. Ingin rasanya meremas pelan lalu pergi sebelum dihajar si pemilik gunung.
"Gak. Sudah punya juga," ucap Shla singkat. Memang Shila memiliki s**u kotak yang ada di kulkas Arga.
"Oh sudah punya. Ada dua ya?" ucap lelaki itu cepat nyambungnya. Sudah kayak antene digital yang tiak perlu effort cari chanel lagi.
"Iya ada dua. Kok tahu sih?" tanya Shila merasa aneh. Memang s**u kotak di kulkas ada dua lagi. Rasa coeklat dan rasa vanila. Kok bisa tahu sih? Shila terus membatin.
"Kan bener. Namaku, Theo, kamu?" tanya lelaki itu mengulurkan tangannya pada Shila.
"Shila," jawab Shila singkat.
"Namanya bagus."
"Shila mau ke kamar dulu. Mari Kak Theo."
Shila pamit kembali ke kamar dan menuup rapat kamarnya.
***
Arga sudah berada di dalam mobil. Ia menyalakan mesin mobilnya dan meletakkan kedua tasnya itu di jok depan. Arga menatap tas bekal yang simpel, entah milik siapa.
"Kamu lucu juga," ucap Arga memuji Shila.
Selain Mamanya, tidak ada perempuan yang perhatian seperti Shila. Aneh sekali perasaanku ini.
"Arga, kamu sudah punya kekasih," ucapnya di dalam hati.
Baru satu hari Shila menginap di kamar kostnya. Hidup Arga seperti berubah drastis. Tidur bisa lebih pulas karena tidak perlu melihat ke arah jam terus menerus. ia telat bangun atau tidak.
Seperti tadi, Arga pulas tidur sampai Shila membangunkan tepat jam lima sore. Kamar sudah bersih, cucian tidak ada, makan suah siap. Nikmat mana yang di dustaan coba? Mana dibawakan bekal lagi.