12

1041 Words
Shila menyalakan televisi. Tadi, ia sudah di ajarkan Arga bagaimana cara menyalakan TV LED miliknya. Shila menekan tombol power dan TV itu menyala. Shila tinggal merubah beberapa chanel saja sesuai dengan apa yang di inginkan Shila. Tubuh Shila di rebahkan di kasur yang empuk. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar tidur ini dan merasakan nikmat yang tak bisa di dustakan lagi. Berawal dari tabrakan, akhirnya Shila malah mendapatkan tempat secara gratis untuk tidur, dibelikan ini itu, dan makan secara bebas dan puas juga, masih dapat pekerjaan pula. "Hmmm ... Nikmat mana yang kamu dustakan Shila. Untung saja yang nabrak kamu itu Arga, Shila. Pria baik, tampan, dokter pula. Kurang apa coba?" ucap Shila di dalam hati. Lihat saja kamar ini begitu luas, wangi, mewah, kurang nyaman apa? "Papa ... Mama ... Shila bisa merasakan seperti dulu seperti Mama dan Papa ada. Sekarang kalian sudah tenang di Surga ..." ucap Shila begitu lirih. Shila selalu tak tahan menitikkan air mata jika mengingat kedua orang tuanya. Dulu shila adalah anak gadis yang selalu bahagia dan tida pernah kekurangan seperti saat ini. Ia tidak pernah bekerja karena kedua orang tuanya begitu memanjakannya. Namun, sekarang, Shila harus bisa bekera untuk menghidupi dirinya sendiri. Segitu sedihnya kehidupan Shila saat ini. Shila pun terlelap begitu saja dengan pakaian seadanya tanpa memakai selimut. TV masih menyala dan malah menonton dirinya. *** Arga masih stay di ruang IGD malam itu. Ia sebagai dokter umum yang harus siap dua puluh empat jam. Entah kenapa malam itu terasa dingin dan sepi sekali pasien. ida seperti biasanya. Kalau tidak bekerja, Arga malah menjadi lemas dan ngantuk. Apalagi sesiang ini dia pergi bersama Vira dan Shila hingga sore hari. Arga membuat kopi dan kembali ke meja kerjanya. Perutnay begitu lapar. Di meja ada beberapa kantong cemilan tetapi sama sekali tiak mengenyangkan. tanpa sengaja, Arag melihat kotak bekal buatan Shila yang hampir saja terlupakan. Maklum, tidak pernah membawa bekal dan kali ini dibuatkan bekal, rasanya tentu agak aneh dan canggung juga. Tapi, beberapa dokter dan perawat laki -laki juga sama, mereka membawa bekal karena malas pergi ke Kantin atau sekadar keluar dari area rumah sakit hanya untuk membeli sebungkus makanan. Arga mengambil tas bekal itu lalu mengeluarkan isinya. Ia membuka kotak bekal yang tertutup rapat dan melihat isinya nasi dan telur dadar sederhana dengan sambal sachetan serta potongan buah di kotak yang berbeda. Tumbler itu juga dibuka ada es kopi late yang wanginya super enak. Arga mencicipi kopi late itu dan rasanya sangat enak sekali. "Enak banget sih? Rasanya kayak kopi yang ada di kafe mahal." Batin Arga di dalam hati. Tanpa banyak mikir panjang, Arga mulai menikmati makananan sederhana itu. Kali ini telur yang dibuat Shila adalah telur yang mirip dengan omlete. Rasanya juga pas sekali seperti masakan rumahan pada umumnya. Ini rasanya enak dengan bumbu seadanya. Bagaiaman kalau bumbu itu lengkap. Shila pasti bisa memasak lebih enak lagi. Apa aku belanjakan saja besok. Mengisi kulkas sampai penuh saat Shila pulang kerja. Masakan Shila sangat cocok di lidah Arga. Arga merasa ada yang mempedulikan dirinya. Hidupnya tak lagi merasa sei karena ada Shila di dalam kamar kostnya. "Tumben bawa bekel. Dibawain sama Vira ya? Memang gadis itu sempurna banget ya?" ucap Rey teman Arga. "Apa sih ... Kamu juga bawa bekal. Sama kan?" ucap Arga singkat. "Istriku orang kampung. Dia bisa memasak juga masakan kampung. Lihat, cuma orek tempe, sayur sawi sama bakwan. Segini emang udah cukup banget sih, yang penting perut kenyang. Aku juga cuma perawat disini, gaji gak seberaap, diurus sama istri, dikasih makan, sudah lebih dari bersyukur," jelas Rey yang terlihat sangat menikmati makan malam yang tertunda itu. Sesekali Rey melihat isi kotak bekal Arga. "Itu telur diapain? Bisa gede gitu?" tanya Rey spontan. "Oh ... Ini? Kayaknya ini sih omlete gitu. Enak banget. Mau coba?" tawar Arga pada Rey. "Boleh dikit aja," ucap Rey begitu semangat. Arga pun memotong sedikit telurnya untuk Rey. Ia juga membagi kopi di tumbler pada Rey juga untuk mencicipi kopi buatan Shila. "Gimana? Enak gak? Telur sama kopinya? Beda ya sama telur biasanya," jelas Arga begitu bangga. Beso -besok lagi, ia bisa membanggakan masakan Shila kalau begini. "Enak. Enak banget tahu," ucap Rey memuji. "Gak salah kamu, pilh Vira. Udah pekerja keras, mandiri, wanita karir, eh ... Pintar masak lagi. Kopinya juga enak lho. Kayak kopi di sebuah kafe gitu," jelas Rey begitu antusias memuji. Arga hanya diam tak menanggapi ucapan temannya tentang Vira. Bahkan, Arga sudah tak mengingat lagi Vira. Gadis itu memang kekkasihnya. Tapi tidak ada getaran yang aneh. "Jadi kapan mau nikah? Jangan lama -lama kalau pacaran," titah Rey pada Arga. "Kenapa emang?" tanya Arga serius. "Keburu jadi batu!" ucap Rey tertawa keras. "Haish ... Kirain kenapa?" ucap Arag menutup kotak bekal yang sudah kosong itu dan menikmati es kopi late yang nikmat sekali. "Kamu itu dokter, Vira itu perawat, Ga. Apalagi yang kamu cari? Eum ... Maksudku, kamu mau cari wanita yang kaya apa lagi? Menurutku, Vira sudah sangat sempurna sekali," ucap Re yang juga menutup kotak bekalnya dan masih menghabiskan sisa bakwannya. "Aku sama Vira, biasa aja. Dulu juga jadian karena kalian juga kan?" uap Arga tetap tenang dan datar. "Hmm ... Masa sudah tiga bulan tidak jatuh cinta?" tanay Rey membulatkan kedua matanya. "Memang begitu kok. Masa harus pacaran pura -pura terus," ucap Arga menggelengkan kepalanya sendiri. "Terus? Kamu mau gimana?" Rey ikut penasaran dengan pasangan viral yang ada di rumah sakitnya itu. Dulu memang, Arga dan Vira itu jadian atas hasutan emua teman teman Arga yang meminta untuk menerima cinta Vira. "Aku mau putus aja," ucap Arga santai sambil menyeruput kopi latenya. "Serius? Mau putus? Vira itu sempuna lho, Ga? Kamu gak buta kan?" ucap Rey merasa aneh. banyak orang mau denagn Vira. Berlomba -lomba mendekati Vira. Tetapi Vira malah memilih Arga. Saat itu banyak wanita dan pria yang patah hati dengan jadiannya Argadan Vira. "Hu um ... Mamaku punya pilihan lain kayaknya," jelas Arga masih abu -abu. "Dijodohin gitu?" tanya Rey merasa aneh. "Ya gitu. Seperti dijodohkan tapi bukan dijodohkan sih. Mungkin takdir kali ya," ucap Arga tetap stay cool. "Aneh kamu, Ga. Ini Vira itu sudah pasti. Malah cari yang ga pasti," jelas Rey kurang setuju. "Hidup kan pilihan, Rey," ucap Arga tetawa. "Iya juga sih. Apapun keputusan kamu. Jangan sampai menyesal di kemudian hari."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD