Waktu sudah menunjukkan dini hari. Sudah waktunya bagi Arga untuk segera pulang. Badannya sudah lelah semalaman tidak tidur. Sesampai di rumah, ia berniat akan tidur pulas hingga sore lagi sampai ia masuk kerja lagi.
Arga sudah membawa tas dan kotak bekal yang kosong ke adalm mobil. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Wajah lelahnya harus bertarung dengan sinarmatahari yang sangat menyilaukan kedua matanya.
Ponselnya berbunyi. Arga menatap sekilas ke arah ponselnya. Selvira meneleponnya sepagi ini.
"Hmmm ..." jawab Arga saat mengangkat telepon.
"Ga ... Jemput aku ya? Aku masuk pagi," pinta Vira dengan nada manja.
"Apa? Jemput kamu? Naik angkutan umum aja sih. Aku juga baru pulang," jelas Arga kesal.
Ia sudah capek, lelah, ngantuk, malah minta jemput. Kenapa perempuan tidak pernah tahu kalau laki -laki itu juga lelah sama kerjaannya. Bukannya malah di tambah capek dengan antar jemput. Emangnya dia supir apa?
"Kamu sayang gak sih sama aku, Ga? Pacaranya minta jemput aja kudu ceramah panjang lebar. Mau apa gak?" sentak Vira kesal.
"Enggak! Aku capek Vira! Aku baru kelar shift," jelas Arga jujur.
"Fix! kamu gak sayang sama aku! Kamu gak cinta sama aku!" ucap Vira kesal.
"Terserah mau bilang apa. Aku capek!" jelas Arga pada Vira.
Arga menutup ponselnya dan fokus lagi menyetir mobilnya agar cepat sampai di kost.
Beberapa pesan singkat yang di spam oleh Vira pun masuk ke adal ponsel Arga. Arga hanya melirik sekilas tanpa ingin tahu.
Mobil Arga sudah masuk ke dalam garasi di kostnya. Ia langsung masuk ke dalam dan naik ke atas menuju kamarnya.
"Pagi Kak Arga ..." Sapa Theo yang merupakan tetangga kamar kost Arga.
"Pagi Theo? Tumben bangun pagi?" tanya Arga mengerutkan keningnya.
Theo tersenyum penuh arti pada Arga dan mendekati Arga sambil berbisik pelan.
"Adik kamu, jodohin buat aku dong, Ga," ucap Theo lirih sekali.
Arga menoleh ke arah Theo dengan bingung. Arga lupa dengan keberadaan shila yang berada satu kamar dengannya.
"Adik aku? Siapa?" tanya Arga polos.
"Wih ... Pura -pura sok polos," bisik Theo sambil terkekeh.
"Shila," imbuhnya dengan cepat.
Tepat saat itu, Shila lewat dari sisi lain dan tersenyum pada kedua lelaki itu sambil membawa makanan yang sudah matang.
Shila hanya memakai celana hot pants dan kaos you can see. Pantas saja, Theo si buaya kadal ini termehek -mehek dengan Shila. Cara berpakaian Shila saja mengundang hasrat.
"Duh ... Senyumnya bikin sakit kepala ini," ucap Theo dengan lebay sekali.
"Lebay banget sih, Theo?" ucap Arga tertawa.
"Kok malah ketawa sih, Kakak ipar. Bukannya dibantuin. Udah punya pacar belum sih, si Shila itu?" tanay Theo lagi.
"Tanya aja sendiri. Udah ah, aku capek, Theo. Aku istirahat dulu ya?" ucap Arga langsung melanjutkan langkahnya menuju kamarnya.
Pintu kamar sudah di buka. Shila nampak sedang merapikan tempat untuk mereka makan pagi. Seperti biasa, kamar itu sudah bersih. Cucian kotor sudah tidak ada. Jemuran sudah di seterika dan pakaian Arga di tumpuk di meja kerjanya. Sesuai kesepakatan, Shila tidak boleh membuka lemari Arga, apapun alasannya.
Shila menatap Arga yang baru masuk dan menghampiri Arga.
"Makan Om. Sini tasnya," pinta Shila yang begitu tulus melayani Arga.
Shila mengambil jas dokter yang diletakkan di kursi lalu tas kerja arga yang di letakkan di atas meja kerja dan tas bekal yang usdah ksong itu di letakkan di dekat cucian kotor. Setelah sarapan ia akan mencuci dan mengisi kembali kotak bekal itu untuk menemani kerja Arga nanti.
Arga mengangguk dan menatap beberapa makanan yang cukup sederhana tapi aromanya sangat wangi sekali
Menu pagi ini, martabak tahu dengan nasi goreng dan telur dadar cabe. Tidak lupa setoples kerupuk.
"Ini kamu yang masak?" tanya Arga lalu duduk di atas karpet.
"Iya. Emang siapa yang masak? Tante Vira?" ucap Shila terkekeh.
"Hmm ... Dia belum pernah masakin buat saya," ucap Arga datar.
"Ah masa sih? Padahal masakin orang yang kita cinta itu terlihat dari masakannya. Ada ketulusan dari sana," ucap Shila yang sudah menyodorkan sepiring nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan martabak tahu serta kerupuk kepada Arga.
Arga menerimanya dan langsung melahap dengan nikmat. Tahu aja, perut lagi lapar, males keluar karena lelah semalaman begadang.
Arga mengunyah satu suapan nasi goreng yang penuh cita rasa enak itu. Ia tak henti -hentinya menatap Shila dengan lekat.
"Kenapa lihat Shila begitu, Om?" tanya Shila bingung.
"Ah ... Enggak. Kamu belajar masak dimana?" tanya Arga.
"Sama koki bintang lima dulu. Tapi, mereka sudah tiada," ucap Shila dengan raut wajah berubah sedih.
Shila jadi mengingat semua kejadian yang mengenaskan itu.
"Kamu dari mana sih, Asalnya?" tanya Arga mulai penasaran.
Shila hanya tersenyum dan menyuap satu sendok makanan itu ke dalam mulutnya. Ia malas menanggapi pertanyaan datar seperti itu. Apalagi menyangkut kehidupannya di masa lalu. Shila mau melupakan kesedihan itu.
"Kamu gak mau cerita? Biar saya yakin, kalau kamu itu gadis baik yang tidak akan macam -macam sama saya," ucap Arga menghabiskan makanan di piringnya.
"Memang Shila terlihat seperti gadis yang jahat?" tanya Shila teratwa.
"Enggak sih. Hanya saja, kita sekarang tinggal berdua. Saya harus tahu itu siapa? Rumah kamu dimana? Biar kalau ada apa -apa, saya bisa hubungi keluarga kamu," jelas Arga mengambil lagi nasi goreng dari mangkok besar.
Shila menunduk. Ini hal yang paling sulit.
"Kamu kenapa? Berat untuk cerita?" tanya Arga lembut.
Shila mengangguk kecol dan mengusap air matanya yang tiba -tiba menetes di pipinya.
"Hei ... Kamu kenapa? Nangis?" tanya Arga mengangkat dagu Shila dan menatap wajah sendu Shila yang penuh aura kesedihan.
Shila pun membalas tatapan Arga. Mereka sangat dekat sekali. Arga mengusap air mata Shila yang ada di pipi dengan ibu jarinya.
"Are you okey?" tanya Arga lirih.
Shila mengangguk kecil, "I'm okey, Om."
"Oke. Kita lanjutkan sarapan kita," titah Arag yang kemudian melepas dagu itu dan membiarkan Shla bergerak bebas.
Keduanya tadi sempat tegang dan canggung sekali.