Mobil yang ditumpangi Amber berhenti di sebuah gedung perkantoran. Dengan penuh percaya diri, Amber melewati pintu masuk dan menuju resepsionis.
“Selamat pagi. Ada yang bisa dibantu?” Sorang resepsionis menyapa Amber.
“Selamat pagi. Saya pegawai baru Elang Publishing Company.”
“Sebentar, saya konfirmasi dulu.”
Setelah mengkonfirmasi, sang resepsionis memberi Amber sebuah kartu akses yang harus dibawa setiap kali masuk. Amber pun berterima kasih.
“Elang ada di lantai 15.”
“Terima kasih.”
Tidak sulit bagi Amber untuk sampai di tempat kerja karena ada banyak lift yang bisa dipilih pegawai. Begitu pintu lift terbuka, Amber segera melangkah menuju pegawai yang bertugas di depan.
“Permisi, saya editor baru di sini.”
“Oh, Bu Amber ya?”
“Iya, benar.”
“Ayo! Saya antar langsung.”
“Terima kasih.”
Amber segera mengikuti langkah resepsionis yang terkesan terburu-buru itu. “Sebenarnya Bu Amber ini sudah ditunggu dari tadi.”
“Benarkah? Maaf.”
“Tidak apa-apa. Sepertinya umur kita tidak seberapa jauh. Saya panggil Amber saja bagaimana?”
Amber tersenyum lebar. “Tidak masalah. Saya juga sebenarnya masih 22 tahun. Oh iya, bukankah jam kerjanya dimulai pukul setengah sembilan?”
“Memang benar. Tapi biasanya pukul delapan kantor sudah ramai. Apalagi kalau pemilik kantor datang seperti hari ini. Para pegawai pasti heboh, terutama perempuan.” Resepsionis dengan name tag Dina itu terkekeh.
“Oh iya? Kenapa?”
“Apalagi kalau bukan karena ada pria tampan?”
Kening Amber berkerut. Dia benar-benar tidak faham. “Maksudnya?”
Dina menghentikan langkahnya. Gadis itu menoleh dan menatap Amber tidak percaya. “Kamu tidak tahu kalau pemilik Elang itu seorang pria?”
“Lho, bukannya pemilik Elang itu Bu Evi?” Amber tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Dina menggeleng. “Bu Evi itu editor senior. Pemiliknya Elang namanya Pak Darren,” jawab Dina lalu kembali melangkah.
Amber mendadak blank. Matanya hanya bisa mengerjap. Waktu seakan berhenti untuk beberapa saat. Tidak mungkin Darren yang itu, ‘kan? Setahu Amber Darren itu pemilik perusahaan batu bara dan logistik di Kalimantan. Tidak mungkin dia terjun di bidang penerbitan. Jauh sekali!
“Duh, Pak Darren itu benar-benar tampan, sempurna paripurna. Tingginya, lebar bahunya, matanya, pokoknya komplit tanpa cela.” Dina menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya sambil memejamkan matanya.
“Hehe, kamu sepertinya benar-benar mengidolakan Pak Darren.” Amber hanya bisa tersenyum kikuk.
“Nanti kalau kamu sudah melihat sendiri betapa sempurnanya Pak Darren sebagai seorang pria, kau juga akan mengidolakannya.” Senyum Dina melebar dan matanya penuh binar bahagia. “Sayangnya, dia sangat jarang kemari. Jadi, sekalinya kemari semua pegawai perempuan langsung berdandan. Apa kamu tidak memperhatikan?”
Amber baru menyadari kalau banyak pegawai perempuan yang memperbaiki riasannya.
Nafas Amber memberat. Setiap kali telinganya mendengar nama Darren, hatinya terasa sesak.
“Amber??” seru Dina. Ternyata perempuan itu sudah berjalan cukup jauh darinya.
“Eh, iya. Maaf.” Amber segera berlari menyusul.
Tiba-tiba saja beberapa pegawai berlarian dari arah belakang Amber. Ibu dua anak itu kebingungan. Wajahnya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari tahu. Namun, Dina tampaknya lebih dulu mengetahui apa yang terjadi.
“Ayo cepat! Sepertinya Pak Darren sudah datang.” Dina menyeret Amber menuju meja di sebelah kanan mereka.
Tanpa bisa ditahan, jantung Amber semakin berdetak tidak karuan. Demi apa Tuhan menakdirkan mejanya berada tepat di sisi lorong? Bukankah itu berarti dia tidak akan bisa bersembunyi dari siapa pun Darren pemilik Elang ini? Keningnya sudah basah karena keringat. Dalam hati, Amber benar-benar meminta pada Tuhan bahwa Darren yang ini bukanlah Darren Hutomo yang dia kenal. Wanita dua anak itu meminta untuk tidak lagi dipertemukan dengan si iblis Darren.
Amber sudah duduk di meja yang ditunjukkan Dina. Nafasnya tertahan karena gugup.
“Tanganmu dingin banget. Kenapa? Penasaran seganteng apa pemilik Elang?” goda Dina lagi. “Itu dia!” Dina meraih tangan Amber, menyuruhnya berdiri seperti semua pegawai yang lain.
Amber menundukkan wajahnya. dia sama sekali tidak berani mendongak. Semakin dekat suara langkah kaki terdengar di telinga Amber, semakin sesak pula nafasnya. Amber bisa melihat beberapa pria berjas lewat ekor matanya. Dia sontak memejamkan matanya. Mama Alex dan Ana itu meremat tangannya dengan kuat.
“Pst! Jangan menutup matamu! Tidak sopan. Kau akan dimarahi nanti,” bisik Dina.
“Hm? Iya,” jawab Amber lemas.
Perlahan, dia membuka matanya. Demi Tuhan Amber bisa merasa tangannya semakin dingin dan pucat!
“Siapkan saja semua!” Hanya itu kalimat yang bisa ditangkap telinga Amber. Namun, suara dingin dan kejam itu Amber yakin pernah mendengarnya. Dan pemiliknya adalah Darren Hutomo!
Amber langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi saat rombongan pria berjas itu memasuki ruangan pimpinan. Lututnya terasa lemas.
Itu benar-benar Darren! Darren Hutomo! Pria yang paling dijauhi Amber di seluruh muka bumi. Dari semua lini bisnis, kenapa Darren memilih penerbitan untuk mengembangkan bisnisnya?
Dina begitu antusias dan histeris menceritakan Darren si iblis, sang pemilik Elang publishing company. Amber tidak bisa menjawab. Suaranya seakan hilang. Dia sudah tidak bisa lagi mendengar kata-kata Dina yang histeris karena pria bengis itu.
‘Ya Tuhan, kenapa Engkau begitu gemar bercanda dengan hidupku?’ jerit Amber dalam hati.
Tanpa sadar, tangannya meremas kemejanya. Pikiran Amber buntu seakan dunianya runtuh. Demi Tuhan, dia baru mulai bekerja hari ini! Tidak mungkin Amber langsung mengundurkan diri di hari pertama dia bekerja.
Jantungnya berdebar begitu kencang hingga dia merasa sakit. ‘Seandainya aku tahu perusahaan ini milik Darren. Huft! Bagaimana ini? Bagaimana jika dia tahu tentang Alex dan Ana? Apa dia akan membawa mereka pergi dariku? Tidak! Aku tidak akan membiarkan Darren membawa mereka. Aku akan menjaga mereka dengan baik agar Darren sama sekali tidak akan bisa mengetahui mereka.”
Amber semakin kencang meremas kemejanya. Bibirnya bergetar dan terasa kering. Sesekali dibasahinya bibirnya.
‘Tenang, Amber! Kau hanya dikontrak selama satu tahun di sini. Setelah masa kontrakmu habis, kau bisa mengundurkan diri dan pergi dari kota ini, menjauh dari pria iblis dan kejam itu.'
"Amber, kau mendengarku?" Dina menepuk pundak Amber yang tampak melamun dari tadi.
"Eh, maaf. Apa tadi yang kau bilang?"
"Kamu kenapa?"
"Tidak apa-apa. hanya terlalu bersemangat untuk segera bekerja.," jawab Amber sambil menampilkan senyum palsu.
"Jangan bilang kau sudah tertarik dengan Pak Darren! Hahaha! Sudah aku bilang semua karyawan perempuan di sini mengidolakan Pak Darren."
"Jadi, apa saja tugasku?" Amber langsung mengalihkan topik pembicaraan. Dia sudah tidak sanggup lagi mendengar nama pria itu.
"Oh, iya. Jadi..." Dina memberi tahu tugas pokoknya dan mengenalkan Amber pada rekan-rekan editor yang lain.
Amber terus menyemangati dirinya. Matanya terus menghindari ruangan Darren yang -sialnya- berada tidak jauh dari mejanya. Mama Alex dan Ana itu terus menyibukkan diri, mempelajari seluruh tugasnya sebagai editor. Dan menghilangkan bayang Darren meski sulit.
--
"Edwin, kau tahu siapa dia?" Darren terus menatap Amber dari ruangannya. Untung saja kaca pembatasnya satu arah. Hanya yang di dalam yang bisa melihat keluar. Sedangkan yang diluar tidak bisa melihatnya.
Pandangan Edwin langsung tertuju pada sosok yang sedari tadi ditatap oleh bosnya. "Apa Tuan membutuhkan informasinya?"
"Semua. Aku mau sampai detail hingga nomor sepatunya."
Edwin mendelik. Tidak biasanya sang majikan tertarik pada seorang wanita, tapi itu bukan urusannya. Dia digaji untuk bekerja, bukan bertanya. "Baik, Tuan. Akan saya laksanakan segera."
"Aku tidak suka menunggu lama, Edwin."
"Baik, Tuan."
Darren tersenyum miring. Sebentar lagi, dia akan tahu apa saja yang sudah dilakukan gadis itu selama lima tahun ini.
'Pantas saja aku tidak bisa menemukannya di Banjarmasin. Rupanya dia melarikan diri ke Jawa. Jangan harap kau bisa lari dariku lagi, Amber!'