Saat terbangun, Amber merasa tengkuk dan kepalanya sangat sakit.
“Ahh.” Amber meringis, memegangi kepalanya yang berdenyut tidak karuan.
Gadis SMA itu butuh beberapa detik untuk benar-benar membuka matanya. Hal pertama yang Amber sadari adalah kasur yang empuk dan seprei yang sangat lembut. Matanya sontak terbuka lebar saat menyadari dia tidak berada dalam kamarnya.
“Ini di mana?” Amber mengedarkan pandangannya. Ini adalah sebuah kamar yang sangat mewah dan luas. Jauh lebih mewah dari kamarnya yang dulu dia tempati semasa ayahnya masih hidup. Mungkin luasnya setara dengan tiga kali luas kamarnya.
Catnya diberi warna putih dengan hiasan dinding dari kayu. Sepasang kursi dan meja kecil dari kayu jati berada di dekat jendela. Gorden yang dipasang begitu panjang dan lebar menutupi jendela yang luas. Lantainya berasal dari marmer yang sangat indah dan mengkilat. Lampu di atas kasurnya begitu indah memantulkan cahaya.
Tunggu dulu! lampunya menyala?? Apa itu berarti sekarang sudah malam?
Amber segera berlari menuju jendela. Disibaknya tirai bermotif cokelat dan kuning itu. Benar saja, langit sudah gelap. Amber panik. Ibu tirinya pasti memarahinya. Amber tidak sanggup lagi jika harus dikurung di gudang dan tidak diberi makan seperti dulu. Tidak! Dia harus segera pulang.
Amber segera berlari ke arah pintu. Dikunci! Amber mengetuk pintu dengan jantung berdegup kencang.
“Halo? Tolong buka pintunya! Aku harus pulang! tolong buka!” Amber terus mengetuk pintu.
Tidak mendengar sahutan, Amber tidak lagi mengetuk, tapi menggedornya. Tidak peduli dia membuat keributan. Dia harus segera pulang agar tidak dimarahi Ratna, ibu tirinya. Demi Tuhan, dia benar-benar ketakutan. Air matanya siap meleleh kapan pun.
Merasa tidak ada jawaban, kini gadis itu berlari ke arah jendela. Dia akan mencoba untuk lari dari sana. Dengan sekuat tenaga, Amber mencoba membuka jendela. Tidak bisa! Kali ini, dia menggesernya. Benda itu tetap tidak bergerak. Amber semakin putus asa. Dia tidak bisa lagi menahan air matanya. Butiran itu terus menuruni pipinya yang mulus.
“Ayah, tolong Amber! Selamatkan Amber, Ayah!” jerit Amber dalam hati. Dia benar-benar putus asa. Tidak ada jalan keluar.
Tiba-tiba saja, terdengar suara kunci diputar. Amber langsung menoleh. Perlahan, pintu kamar terbuka. Sesosok pria berdiri di sana, menatap Amber dengan dingin. Matanya berkilat penuh amarah. Amber bisa melihat rahangnya mengetat. Gadis SMA itu merasa terancam. Hidupnya pasti akan berakhir sebentar lagi.
Pria itu berjalan perlahan, mendominasi. Suasana kamar semakin dingin seiring dengan semakin dekatnya pria itu. Amber semakin gemetar. Kakinya melemas hanya dengan melihat betapa jahat aura yang dikeluarkan oleh pria itu.
“O-om siapa? To-tolong lepasin Amber.” Gadis tujuh belas tahun itu mundur perlahan, menjauh sebisanya dari pria misterius yang Amber tidak kenal.
“Om, om sepertinya salah tangkap. Am-amber ti-tidak bersalah. Kita tidak saling mengenal.” Gadis SMA itu sekali lagi mencoba bernegosiasi. Air matanya semakin turun menganak sungai.
Pria jahat itu sama sekali tidak luluh. Hatinya sama sekali tidak tergerak melihat betapa ketakutannya gadis di depannya itu. Dia juga seakan buta dengan air mata Amber. Dia terus mendekat, bahkan matanya semakin menggelap setiap kali Amber bersuara.
Kaki Amber semakin mundur dan akhirnya menatap siku tembok. Dia tidak bisa ke mana pun. Pria jahat itu semakin mendekat dan mendekat. Jantung Amber berdetak tidak karuan. Ketakutan semakin menyelimutinya.
“Jangan salahkan aku! Salahkan papamu yang sudah membuat adikku menjadi depresi. Dia harus merasakan penyesalan yang sesungguhnya!!”
Papa? Amber kebingungan. Bukankah ayahnya sudah lama meninggal? Kenapa baru sekarang ada seseorang yang ingin membalaskan dendam pada ayahnya?
Otak Amber masih mencerna semua informasi itu saat pria jahat itu bertindak. Dengan sekali tarik, Amber sudah berada di atas kasur. Pria iblis itu sama sekali tidak mengindahkan tangisan Amber. Apa yang berada dalam benaknya harus segera terlaksana. Disobeknya kemeja Amber dan ditariknya roknya. Gadis kecil itu memberontak, memukul, dan menendang, tapi semua itu percuma.
Tanpa ampun, Amber dilecehkan. Berbagai permohonan keluar dari mulut Amber. Hingga dia tidak bisa lagi menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya dan akhirnya pingsan saat tubuhnya dimasuki dengan brutal.
“Jangan!!!” Mata Amber langsung terbuka lebar. Keringat dingin mengucur dari keningnya. Tenggorokannya tercekat. Nafasnya tersengal, terasa sangat sesak. Saat dia menyadari tengah berada di kamarnya sendiri, baru dia bisa bernafas lega.
Amber memejamkan matanya. Ternyata dia bermimpi. Mimpi buruk yang sudah lama tidak dia alami, kini kembali muncul setelah bertemu dengan Darren kemarin.
Kejadian buruk lima tahun yang lalu itu terus saja membekas. Entah sampai kapan Amber bisa menghilangkan mimpi buruk itu. Tidak mudah menghilangkannya. Juan pernah memperkenalkannya dengan seorang psikiater. Dokter memberikan obat untuknya, tapi mimpi itu masih saja muncul meski efeknya tidak sedahsyat dulu.
Amber mengela nafasnya lalu bangkit. Dia harus segera menyiapkan sarapan dan bekal untuk kedua anaknya.
Setelah lima belas menit di kamar mandi, Amber keluar dan segera membuka lemari untuk mencari baju. Dengan terpaksa, Amber mengambil celana kain panjang yang biasa dia pakai. Dia juga mengambil kaos. Terakhir, dia mengambil blazer untuk menutupi tubuhnya. Pekerjaan Amber sebagai editor tidak mengharuskan dia untuk memakai seragam kantor. Itulah kenapa kemarin dia ingin berbelanja baju kerja. Naas baginya, dia justru bertemu pria iblis yang membuat rencananya gagal.
“Stop it, Amber! Jangan terus mengingat iblis!” gerutu Amber.
Pukul tujuh pagi, meja makan sudah tertata rapi. Ada roti isi, teh hangat, juga s**u hangat untuk Alex dan Ana. Bekal sekolah untuk kedua buah hatinya juga sudah tersedia. Kini, tugas Amber membangunkan mereka.
“Sayang.” Amber membuka pintu kamar anak-anak.
Betapa terkejutnya dia saat melihat Alex sudah bangun. “Wah, jagoan mama sudah bangun. Pintar sekali!” Amber mendekat dan mengusap kepalanya.
Alex tersenyum lebar mendapat pujian sepagi ini dari mamanya. Alex begitu bersemangat sekolah meski meski matanya masih lengket.
“Aku mandi dulu, Ma.” Alex melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.
“Baik, Sayang. Mau dibantu?”
“Jangan, Ma! Aku sudah besar,” sahut Alex dengan cepat.
Amber terkekeh. Ibu dua anak itu pun segera menyiapkan baju sekolah untuk Alex dan Ana.
Setelah siap, kini giliran Ana dibangunkan. Untung saja Ana tidak pernah sulit saat dibangunkan. Sekali lagi Amber bersyukur diberi dua anak yang cakap.
“Aku mandi di kamar mandi mama ya? Alex kalau mandi suka lama,” ucap Ana sambil menggosok matanya.
“Boleh. Ayo berdiri!”
Tiga puluh menit kemudian, semua sudah duduk dengan tenang menikmati sarapan. Selesai sarapan, keluarga kecil itu pun berangkat.
“Bekalnya sudah mama masukkan ke dalam tas kalian. Belajarlah yang rajin! Mama akan menjemput kalian pukul lima.” Amber mencium pipi kedua anaknya bergantian saat tiba di depan gerbang sekolah baru Alex dan Ana.
“Baik, Ma.”
Ana dan Alex berjalan beriringan melewati gerbang. Ana berjalan dengan riang. Bibirnya terus saja menampilkan senyum. Mata hitamnya bersinar seperti langit malam dihiasi bintang-bintang. Kepalanya bergerak-gerak memperhatikan sekolah barunya. Rambutnya yang dikuncir bergerak lembut seiring dengan gerakan kepalanya.
Di sisinya, Alex berjalan dengan tenang. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku, sedangkan satunya lagi menggenggam jari adiknya penuh perhatian. Matanya yang berwarna terang menatap dingin. Sikapnya waspada, terutama pada setiap bocah laki-laki yang menatap adiknya.
Seorang guru pendamping menyambut kedua anak kembar itu. Guru perempuan itu tampak sabar dan telaten menyambut keduanya. Entah apa yang mereka bicarakan. Amber tidak bisa mendengarnya. Tidak lama kemudian, Ana dan Alex menoleh padanya dan melambaikan tangan. Amber segera membalas lambaian mereka. Sepertinya kedua anaknya tengah memperkenalkan dirinya pada sang guru. Setelahnya, guru tersebut mengantar keduanya memasuki kelas. Amber pun kembali memasuki mobil dan meluncur menuju tempat kerjanya.
Ini adalah hari pertamanya bekerja. Senyumnya merekah indah. Dengan semangat dan harapan yang tinggi, Amber melajukan mobilnya menuju masa depan cerah bersama kedua hatinya. Tidak akan lagi dia mengingat masa lalunya yang suram.