“Ma, lapar,” rengek Ana saat mereka baru saja tiba di rumah.
Amber baru saja mengunci pintu dan wajahnya tampak terkejut. “Ya Tuhan! Maafkan mama ya, Sayang.”
Amber mengajak Ana duduk di sofa depan televisi dan meletakkan kedua tas mainan anaknya di atas meja. “Sekarang putri mama yang paling cantik mau makan apa? Biar mama pesankan,” ucapnya sambil mendudukkan dirinya di samping Ana.
Gara-gara takut bertemu dengan Darren, dia sampai lupa kalau belum memakan apa pun sejak siang dan sekarang sudah pukul tujuh malam. Amber segera mengambil ponsel di tasnya dan mulai mengetikkan sesuatu.
“Aku mau sushi saja, Ma,” ucap Ana dengan gaya imutnya.
“Oke.” Amber mengetik sushi dan menekan tombol pesan. “Alex, kamu mau pesan apa?”
“Apa saja, Ma. Samakan saja dengan Ana!!” teriak Alex. Bocah pintar itu tengah mengambil air dari dispenser dingin.
“Apa kau yakin? Ana menginginkan sushi.” Amber ragu Alex menyukai sushi, tapi jawaban putranya sungguh mencengangkan.
“Tidak apa-apa. Sushi bagus untuk tubuh dan otak,” jawab Alex dengan raut serius.
“Aih, anakku satu itu begitu cerdas. Siapa yang mengajarinya?” Amber terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.
Selesai memesan, kini Amber harus membersihkan tangan dan kaki kedua anaknya setelah bepergian dari luar. “Sekarang Princess Ana harus membersihkan tangan dan kaki dulu sambil menunggu bapak kurir datang. Oke?”
Setelah membantu Ana membersihkan diri, kini giliran Amber yang akan membantu Alex. “Cepatlah membersihkan diri sebelum makanannya datang, Alex.”
Amber menuntun Alex ke wastafel di dekat meja makan, mengangkat tubuh mungilnya ke atas kursi kayu agar bisa membersihkan tangannya sendiri. Alex segera membuka keran air, membasuh tangannya, dan mengambil sabun tangan.
“Rupanya sekarang kau sudah mahir,” puji Amber.
“Ma, sebenarnya tadi kenapa mama tidak jadi berbelanja baju kerja? Bukannya besok mama mulai bekerja?”
Amber meneguk ludahnya dengan kasar. Matanya menatap lurus ke arah cermin, ke arah pantulan putranya. “Mmm...”
“Apa karena ada tante dan om jahat?”
Amber langsung mengernyit. “Siapa yang kamu maksud?” Dadanya sontak berdetak kencang. Amber yakin suaranya ikut bergetar karena gugup. Bayangan Darren dan kekasihnya di mall berkelebat di pikirannya.
“Ada seorang tante yang sangat jahat. Dia membentak seorang anak karena sudah menyenggol putrinya.” Ana menyahut dari meja makan.
“Iya, betul. Padahal putrinya yang tidak memperhatikan jalan,” timpal Alex.
Amber langsung merasa lega. “Baiklah, sebaiknya kalian berhati-hati saat berjalan.” Amber menurunkan Alex dari kursi kayu.
“Sushinya datang, Ma!” seru Ana saat mendengar teriakan dari luar.
Gadis kecil itu berlari dengan gembira ke arah pintu, sedangkan saudara kembarnya hanya menggelengkan kepalanya. “Dasar bocah!” ujar Alex.
Amber tidak bisa membendung tawanya. Apa Alex lupa kalau mereka kembar?
Malam itu, keluarga kecil Amber menghabiskan sushi pesanan mereka dengan penuh kebahagiaan. Rumah sederhana dengan tiga kamar itu nyatanya mampu membuat Amber mengenal arti kata kebahagiaan dan kehangatan keluarga, sesuatu yang sudah lama tidak dia rasakan sejak ayahnya menikah lagi dengan Retno dan membawa serta putrinya, Kirana.
Selesai makan malam, tanpa dikomando, Alex dan Ana langsung membantu sang mama membereskan meja.
“Jangan lupa menyiapkan tas kalian!!” seru Amber dari dapur.
“Siap, Ma!” sahut kedua anaknya.
Amber tersenyum lebar. Dia benar-benar bahagia meski hanya hidup bertiga dengan Alex dan Ana. “Mama berjanji tidak akan menyia-nyiakan kehadiran kalian dalam hidup mama,” ujarnya lirih.
“Sudah beres, Ma!” Ana sudah berdiri di samping Amber menunggu tugas selanjutnya.
“Baik, sekarang minum s**u kalian dan mama akan membantu kalian berganti baju. Setelah itu, kita pergi tidur.” Amber mengelap tangannya yang kotor
“Aku ke kamar mandi duluan!” seru Alex. Kakinya yang kecil berlari ke kamar mandi, meninggalkan Ana.
“Kau curang! Harusnya kita bersama-sama,” rengek Ana.
“Kau sudah tahu tugasmu setiap malam. Kenapa kau selalu lupa?” Alex bersedekap.
“Alex, jangan menjahili adikmu,” tegur Amber. Matanya yang kuning kecokelatan menatap putranya tegas.
Alex mengela nafas. Bocah itu pun berbalik dan berjalan ke arah adiknya. Tangannya terulur meraih tangan Ana. “Ayo!”
“Kau tidak boleh melakukan itu lagi, Alex. Kita besaudara. Saudara tidak boleh meninggalkan.” Ana berusaha mengingatkan kakaknya dengan suara kecilnya yang lucu.
“Iya, aku tahu. Aku akan membantumu mengambil sikat gigi.”
“Dan aku akan membantumu menyisir.”
Mata Amber yang indah berkaca-kaca menyaksikan bagaimana kedua buah hatinya berjalan beriringan penuh kasih sayang. Sesuatu yang tidak pernah dia dapat dari Kirana, kakak tirinya.
‘Semoga kalian tidak akan mengalami apa yang sudah mama alami.’
--
FLASHBACK...
“Amber, mana baju biruku???” Suara Kirana menggelegar di seluruh rumah. Gadis sembilan belas tahun itu berteriak dari depan kamarnya di lantai dua.
Amber yang sedang menata piring untuk sarapan terpaksa harus meninggalkan tugasnya di meja makan dan bergegas menuju kamar kakaknya lantai dua.
“Ada di lemarimu, Kak,” jawab Amber lirih.
“Apa kau menuduhku buta??” Mata Kirana memicing tidak suka.
Amber langsung menggeleng.
“Tidak ada di sana! Cepat cari!! Aku ada jadwal kuliah pagi dan tidak ingin terlambat ke kampus.
Amber berdiri di depan lemari kakaknya. Dia cukup yakin sudah menyeterika baju itu kemarin. Kenapa sekarang tidak ada? “Bagaimana kalau memakai kemeja berwarna merah ini, Kak? Kulitmu akan terlihat bagus.” Amber mengangkat kemeja dengan kerah Victoria dan aksen pita. Kemeja yang sangat cantik.
Kirana mendengkus. “Kau itu masih SMA, tidak mengerti apa pun tentang kehidupan di kampus! Tidak mengerti bagaimana para mahasiswa berdandan. Kau tahu aku sangat menyukai baju itu. Itu baju yang sedang tren! Sudah, jangan banyak alasan! Carikan saja bajuku itu!!” Kirana memilih keluar dari kamar dan berjalan ke bawah. Dia sudah cukup puas melihat raut cemas di mata Amber.
Di dalam kamar, Amber terus berharap bisa menemukan baju kakaknya. Dia sudah membongkar lemari, tapi tidak menemukannya di mana pun. Air matanya sudah siap menetes. Gadis itu tidak pernah tahu kenapa ibu dan saudara tirinya tidak pernah menyayanginya semenjak ayahnya meninggal dua tahun yang lalu. Selalu saja ada hal yang membuat mereka marah dan menghukum dengan mengurungnya di gudang tanpa makanan.
--
“Selamat tidur, Sayang.” Amber mengecup kening Alex. Kemudian, dia berdiri dan mendekati Ana di kasur yang lain. “Mimpi yang indah, Sayang,” ucapnya sambil mengecup kening putrinya.
Amber pun berdiri dan mematikan lampu kamar, menggantinya dengan lampu tidur.
“Selamat malam, Ma,” ucap Alex.
“Kami menyayangimu, Mama,” kata Ana.
Amber tersenyum penuh kasih. “Mama juga menyayangi kalian,” ucapnya lalu menutup pintu kamar kedua anaknya.
Amber melangkahkan kakinya ke dapur. Dia membutuhkan cokelat hangat untuk meredakan tensinya setelah bertemu Darren tadi.
Bohong jika Amber merasa sudah aman. Ibu dua anak itu tahu betul apa yang bisa dilakukan seorang Darren Hutomo. Dengan semua kekayaan dan pengaruhnya, ditambah dengan kekejaman level iblis di hatinya, Darren bisa mengobrak-abrik kota ini dengan mudah.
Amber duduk di depan jendela kamarnya sambil menerawang langit malam. Cokelatnya masih mengepulkan asap panas di atas meja. Amber jadi teringat dengan pria iblis itu. Darren selalu berdiri dengan arogan dan kokoh dengan setelan mahalnya. Punggungnya lebar dan pinggulnya menyempit dengan indah. Matanya hitam, sangat gelap seakan mampu menyedot seluruh kehidupan Amber. Suaranya begitu dalam. Sekali berkata, seluruh pengawal dan anak buahnya akan langsung bergerak sesuai perintahnya.
Amber gemetar membayangkan apa yang akan terjadi jika Darren benar-benar menemukannya. Lima tahun ini Amber berusaha bersembunyi dan menjauh dari Banjarmasin, kota asalnya. Wanita itu bahkan selalu menghindari teman dan tetangga yang mengaku berasal dari kota itu. Amber berada dalam bayang ketakutan akan kekuasaan Darren yang luar biasa. siapa sangka mereka justru bertemu kembali di sebuah mall, tempat yang Amber yakini tidak akan didatangi oleh seorang Darren.
Dering ponsel membuyarkan lamunan Amber. Tangannya meraih benda canggih itu. Mata Amber tidak berkedip menatap nama yang menghubunginya. Setelah meyakinkan hatinya, Amber pun menggeser tombol hijau.
“Halo.”
“Amber, syukurlah kau mau mengangkat panggilanku.”
Amber mendengar nada lega dalam suara Juan. Dulu, Amber mengira Juan adalah malaikat penyelamatnya. Namun nyatanya, dialah yang menyebabkan Amber merasakan neraka Darren. Namun, pria itu juga yang sudah membantunya melarikan diri dari neraka itu.
“Ada apa, Om?
“Amber, aku baru saja mendapat informasi kalau Darren pergi ke Jogjakarta. Tolong berhati-hatilah. Jangan sampai kau bertemu lagi dengannya.”
“Hmm.” Kilasan memori di mall menyeruak hebat di pikiran Amber.
“Menurut orang-orangku, dia mempunyai proyek yang sudah lama dia tinggalkan. Dan sekarang dia bermaksud untuk meneruskannya.”
Kini, Amber tahu alasan Darren pergi ke Jogjakarta. Apa pun proyek Darren, Amber yakin tidak akan berhubungan dengan dia. Ada banyak hal yang bisa dia kerjakan di sini. Darren memang pebisnis handal.
“Amber, seandainya keadaanmu terdesak, bilang padaku. Aku akan berusaha semampuku.”
“Terima kasih, Om. Tapi aku yakin pekerjaan Darren tidak akan berhubungan dengan pekerjaanku. Aku baik-baik saja.”
“Apa kau yakin? Bagaimana dengan anak-anak?”
“Mereka juga baik.” Amber mengambil nafas dalam-dalam. “Aku tidak bisa pergi begitu saja, Om. Kau tahu aku baru saja diterima kerja. Anak-anak juga baru masuk sekolah. Apa yang harus aku katakan pada mereka, terutama Alex? Dia akan curiga.”
“Wajar saja Alex begitu cerdas. Dia mempunyai papa dan mama yang luar biasa.”
Amber terdiam. Dia menyadari betul bagaimana cerdasnya Darren. Jika tidak, mana mungkin perusahaannya bisa sampai sebesar itu? Dan DNA itu menurun dengan baik pada Alex.
“Hmm, baiklah. Kalau kau membutuhkan bantuan, aku siap. Jangan ragu untuk menghubungiku.”
“Baik, Om.”
“Hmm, tidurlah! Sudah malam.”
Dan panggilan pun berakhir.
Amber mengela nafas, meletakkan ponselnya, dan menikmati cokelatnya yang sudah tidak sehangat tadi.
Amber menyesap nikmatnya cokelat sambil memejamkan mata. Setidaknya, Amber punya keyakinan pekerjaannya sebagai editor tidak akan berhubungan sama sekali dengan perusahaan Darren.
“Semua akan baik-baik saja,” ucapnya lirih.