6. Tidak Bersalah

1379 Words
Edwin duduk di seberang Darren. Tangan dan matanya terus saja sibuk dengan laptop di depannya. Dibiarkannya sang majikan tertidur. Edwin tahu sepadat apa jadwal pria itu. Selama perjalanan udara, Darren hanya terdiam. Matanya terpejam seolah tertidur. Padahal faktanya pria jahat itu teringat dengan masa lalunya dengan Amber yang menyakitkan. Flashback... Amber duduk meringkuk tepat di samping jendela. Gadis kecil itu memeluk erat tas sekolahnya. Matanya terus menatap keluar. Tidak sedikit pun dia mengubah posisinya. Dia merasakan ketakutan yang hebat. Bahkan untuk bernafas pun, dia menahannya. Amber begitu takut jika sedikit saja gerakannya akan membuat Darren murka. Darren memang tidak mengucapkan satu patah kata pun. Pria itu duduk dengan tenang di sisi Amber. Namun, auranya yang gelap mengelilingi isi mobil. Hanya dengan lirikannya saja, Amber sudah gemetar. Sungguh, bagi Amber Darren adalah monster jahat berwujud pria tampan. Matanya hitam seperti sebuah lubang menakutkan yang akan menyedot seluruh tubuhnya. Rahangnya kuat dan bersih dari bulu. Bibirnya penuh dengan sedikit noda hitam. Amber yakin, dia merokok sesekali. Saat gadis itu menarik nafas, dia mencium parfum Darren dan sedikit aroma asing yang menenangkan. Seandainya saja hati pria itu sedikit lunak, Amber yakin dia akan terlihat jauh lebih manusiawi. Amber kira, Darren akan membawanya ke rumah yang kemarin. Namun ternyata dia salah. Mobil yang ditumpangi Amber dan Darren berhenti di sebuah rumah mewah di pinggir kota. Mata Amber terus memperhatikan sekitar. Dia merasa harus mempunyai rencana kabur kali ini. Halaman rumah ini begitu luas dengan gerbang otomatis dan penjaga di depan. Amber melihat ada banyak jendela besar dengan kain putih menutupinya. ‘Satu, dua, tiga.’ Amber berusaha menghitung jumlah jendela dalam hati. Untuk berjaga-jaga saja bila dia ingin kabur. Seorang pengawal dengan sigap membuka pintu untuk Darren. Pria itu turun dengan anggun. Dengan tangannya yang besar, dia merapikan jas yang sama sekali tidak kusut. Mungkin karena jas itu memang dibuat dengan kain berkualitas premium. “Turun atau aku seret!!” Suara Darren yang dalam dan dingin menerpa telinga Amber. Gadis yang ketakutan itu segera membuka pintunya sendiri dan turun. Melihat Amber yang patuh, Darren segera melangkah memasuki rumah. Amber berjalan dengan kaki pendeknya di belakang Darren. Edwin menyambut kedatangan mereka tepat di balik pintu.. “Dia sudah siap, Tuan,” ucapnya dengan sedikit membungkuk. Darren tidak perlu susah-susah menjawab. Dia melanjutkan langkahnya yang lebar. Di belakang, Amber melongo. Dia merasa sedikit iba dengan pria itu. Saat pandangan mereka bertemu, Amber menyunggingkan senyumnya dan sedikit membungkuk. Edwin tidak membalas senyum Amber dan mulai melangkah mengikuti tuannya. Senyum Amber sontak menghilang. Rasa iba yang tadi ditujukannya pada Edwin menguap begitu saja. Amber menyesal sudah tersenyum padanya. Di sebuah ruangan, seorang pria babak belur, terduduk lemas di atas lantai. rambutnya acak-acakan. Wajahnya penuh memar dan darah yang mengering. Jas mahalnya sudah sobek dan tidak bisa lagi dipakai. Kemejanya sangat kusut dan penuh noda darah. Beberapa kancingnya terlepas akibat pukulan yang dia terima. Juan mendongak saat pintu tiba-tiba terbuka. “Darren b******k!! Lepaskan aku!!” Juan segera menyerang Darren, tapi dua pengawal langsung menghentikannya sebelum dia menyentuh tuannya. “Lepaskan aku!! Aku tidak bersalah!! Kegagalan proyek itu tidak ada hubungannya denganku!!!” Juan terus saja memberontak. Kedua tangannya terus bergerak hendak melepaskan diri. Darren sama sekali tidak terusik dengan semua kebisingan yang diakibatkan oleh Juan. Dia terus melangkah dan duduk di kursi dengan angkuh. Matanya yang hitam tajam menatap Juan. “Adikmu terlalu mendramatisir! Aku sama sekali tidak bersalah, Darren!! Tanyakan saja pada semua orang!! Dino sendiri yang salah perhitungan!!” Juan terus memberontak. "Sepertinya orang-orangku kurang kuat memukulmu." Darren tersenyum miring. "Tidak!! Tidak!! Bukan begitu." Belum sempat Juan menyelesaikan kalimatnya, sebuah pukulan menerjang pipinya. Rasa ngilu yang hebat kembali dia rasakan. Darah kembali menetes dari sudut bibirnya. Beberapa pukulan di perut dan punggung juga dia terima. "Bukan begini caranya, Darren. Dengarkan aku!" Juan terbatuk. Darah muncrat dari mulutnya. Dia baru bisa tenang saat tanpa sengaja dia melihat Amber berdiri di dekat pintu. Juan tahu ada yang salah saat dia melihat wajah terkejut Amber. “Darren, dia tidak ada hubungannya dengan kita. Lepaskan dia!” Juan mengatakannya dengan hati-hati. Juan tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika gadis polos itu terluka karenanya. Amber kebingungan menatap dua pria di depannya. Kenapa Juan dipukuli? Apa hubungan Juan dengan iblis itu? Tangannya semakin erat memeluk tasnya. Amber merasa apa yang akan terjadi bisa lebih hebat dari kemarin. Darren tersenyum miring. Dia mengambil cerutu dari balik jasnya, mencium aromanya sebelum menyalakannya. “Kenapa aku harus melepaskan gadis sepertinya?” “Darren!!” teriak Juan. Darren, yang diteriaki, mengangkat alisnya. Sadar kan kesalahannya, Juan mengubah intonasinya. “Darren, dia tidak bersalah sama sekali! Urusanmu hanya denganku. Biarkan dia pergi.” Suara Juan melemah, mengiba. “Bayarkan ganti rugimu. Jika tidak...” Darren tersenyum miring, memainkan cerutu di antara jarinya. Juan menatap Amber. Pandangan mereka bertemu. Dalam hati, Juan meminta maaf. Jika bukan karenanya, gadis itu akan selamat. Mata Amber yang indah mengerjap kebingungan. Dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Bukankah Darren sedang marah pada ayahnya? Lalu Juan? Apa Juan juga berhubungan dengan ayahnya di masa lalu? Darren menjentikkan jarinya. Edwin segera berjalan mendekati Juan dengan membawa sebuah tab. “Aku sudah menulis alamat rekeningku. Kau harus mengganti semua biaya proyek ditambah bunga. Totalnya 250 milyar.” Juan membelalak. Dari mana dia mendapat uang sebanyak itu?? “Kau gila!! Kerja sama kita hanya bernilai 150 milyar.” “APA KAU KIRA HANYA KERUGIAN MATERIAL SAJA YANG AKU RASAKAN???” Suara Darren menggelegar. Darren teringat Doni, adiknya yang mengalami depresi karena kegagalan proyek pertamanya. Pertama kali terjun di perusahaan, Doni mengajak Juan bekerja sama. Namun, pria yang terkenal sangat menyayangi keluarganya itu justru menipunya habis-habisan. Adik Darren satu-satunya itu kini hanya memiliki kamarnya sebagai dunianya. Dia terus aja mengurung diri di kamar, menyalahkan dirinya sendiri atas kerugian perusahaan. Dia merasa malu pada mama dan kakaknya. Dia merasa tidak berguna. Tidak hanya sekali, dia berusaha menyakiti dirinya sendiri. Setiap kali dia merasa gagal, Doni akan membenturkan kepalanya di tembok atau menyayat nadinya. Darren dan mamanya tidak tega melihat keadaan Doni. Lalu kini Juan ingin menego harga kompensasi?? Dia pasti bermimpi!! Dengan jarinya, Darren mematahkan cerutu yang belum banyak terbakar itu dan melemparnya ke arah Juan. “Bayar!!! Lalu aku akan membiarkan dia pergi.” Edwin kembali menyodorkan tablet ke arah Juan. “Ak-aku...” Juan tidak bisa berkata. Dia kesulitan menelan ludahnya sendiri. Dia sudah tidak mempunyai simpanan sama sekali. Dengan apa dia akan membayar Darren? “Tidak mau? Kau tidak mampu??” tanya Darren dengan berang. Matanya tajam menghunus Juan. “Bawa gadis itu ke kamar!! Beri obat dan jangan biarkan siapa pun menolongnya!!” Dua pengawal segera mencengkeram tangan Amber. Gadis sontak memberontak. “Tidak!! Jangan!! Jangan lakukan itu padaku!!” Air mata Amber sudah membasahi pipinya. Kepalanya menggeleng keras. Tangannya terus bergerak dan kakinya menendang-nendang. Dua pengawal itu seakan tuli. Badan mereka yang kokoh tidak bergeming dengan segala pemberontakan Amber yang berbadan kecil. Mereka terus menyeret Amber keluar. Juan hanya bisa menunduk. Air matanya jatuh. Hatinya menjerit memohon maaf pada Amber. “Om!! Om Juan tolong aku, Om!!” Juan menoleh, menatap Amber dengan pilu. Dia akui dia memang b******n, tapi dia sama sekali tidak pernah berpikir untuk menyakiti seorang gadis. Karena baginya, dia selalu teringat putri satu-satunya. Sesuatu menghantam Darren saat dia mendengar kalimat Amber. “Tunggu!!!” Titah Darren terdengar jelas. Semua yang mendengar sontak membeku. “Dia bukan putrimu??” Darren menatap Juan penuh tanya. Juan menggeleng. “Dia senior putriku di sekolah,” ucapnya lirih. Darren menatap Amber tidak percaya. Jadi gadis yang kemarin dia siksa ternyata tidak ada hubungan sama sekali dengan musuhnya?? Takut-takut, dia melirik Amber. Di sana, air mata gadis itu terus turun. Matanya yang cantik menatapnya penuh permohonan. ‘Gadis SMA itu tidak bersalah! Kalimat itu terus terulang di pikiran Darren. Rasa bersalah menusuk hati Darren. Dia membalaskan dendamnya pada gadis yang salah. Dadanya sesak penuh penyesalan. Ototnya melemas. Dia menyandarkan punggungnya di kursi. Tangannya mengepal erat. Baru kali ini Darren merasa dia adalah seorang pecundang sejati. -- Darren membuka mata dan mengepalkan tangannya dengan erat. Setiap kali teringat kejadian itu, hatinya terasa sangat sakit. Dia membalaskan dendamnya pada gadis yang salah. "Sebentar lagi kita landing, Tuan," ucap Edwin perlahan. Darren mengangguk. Dia kembali memasang sabuk pengamannya dan bersiap turun. Dia harus segera menyelesaikan urusannya dengan Gisel agar bisa fokus dengan Amber. 'Tunggu aku, Amber!'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD