7. Ketakutan

1408 Words
Tidak ada yang lebih membahagiakan Amber selain ketidakhadiran Darren ke kantor. Amber merasa sangat lega. Tidak seperti kemarin, sempit dan sesak hingga dia kesulitan untuk bernafas. Padahal dari pagi, dia sudah menyiapkan hati jika sewaktu-waktu pria iblis itu datang. Sebisa mungkin Amber akan menjauh dan tidak tampil mencolok. Namun, ternyata semua keresahannya tidak terjadi. Tuhan memang baik! Sudah pukul tiga sore dan ruangan Darren tetap terkunci tanpa ada yang memasukinya. Amber jadi bersemangat mengerjakan tumpukan naskah di depannya. “Amber, nanti malam kita mau keluar. kamu ikut?” Dina tiba-tiba berdiri de depan mejanya. Amber sontak mendongak. “Kita?” tanyanya dengan kening berkerut. Dina terkekeh, menyadari kesalahan kalimatnya. “Maksudku, beberapa karyawan ingin keluar makan-makan. Kamu mau ikut? Ada editor juga yang ikut. Lumayan ‘kan, sekalian kenalan.” “Oke, aku ikut! Jam berapa?” “Jam lima atau setengah enam. Nanti kita berangkat bersama-sama ya?” Amber mengangguk antusias. Untung saja kemarin dia sudah mendapatkan seorang baby sitter -atas rekomendasi sekolah- untuk Alex dan Ana. ‘Sepertinya bekerja di sini cukup menyenangkan. Hanya satu saja kekurangannya,’ pikir Amber sambil melirik pintu ruang kerja Darren. Amber jadi teringat kontrak kerjanya yang berakhir satu tahun lagi. Ibu dua anak itu mengela nafasnya dalam-dalam. ‘Sudahlah! Hanya satu tahun. Tidak akan lama.’ Tidak terasa, sekarang sudah pukul setengah lima. Dina sudah mengirim pesan pada Amber untuk bersiap-siap. Amber segera membalas dan mengatakan kalau dia butuh beberapa menit lagi dan akan berangkat sendiri ke cafe tempat mereka berkumpul. Amber segera menyimpan ponselnya dan melanjutkan pekerjaannya yang kurang sedikit lagi selesai. Suasana kantor sudah mulai sepi. Sebagian besar karyawan sudah pulang. Amber begitu fokus dengan pekerjaannya hingga dia mendengar suara langkah mendekat. Sontak saja dia mendongak. Lalu sedetik kemudian dia menyesali perbuatannya dan langsung menunduk kembali. Ibu dua anak itu merasa tidak bisa bernafas seolah udara di sekelilingnya lenyap begitu saja. Darren tersenyum miring melihat Amber yang langsung membuang wajahnya saat mata mereka bertemu. Pria itu bisa melihat Amber meremat kedua tangannya dengan erat. Rasanya Darren sudah tidak sabar untuk mendekat dan menyapa wanita yang tidak pernah pergi dari pikirannya selama lima tahun itu. Namun, pria itu yakin saatnya belum tepat. Tidak! Kali ini Darren akan bersabar. Tidak peduli sebesar apa keinginan Darren untuk menarik Amber ke ruangannya, pria itu akan menahannya. Dengan langkah tenang, penuh percaya diri, dan keangkuhan tingkat tinggi, Darren terus berjalan melewati meja Amber menuju ruangannya. Amber langsung mengambil nafas dalam-dalam setelah menahannya selama beberapa detik. Mama Alex dan Ana itu langsung menjatuhkan kepalanya ke atas meja, memegangi dadanya, mengatur jantungnya agar berdetak normal. Setelah beberapa saat, dia segera membereskan mejanya. Dia tidak akan bisa bekerja dengan baik jika pria bengis itu berada di dekatnya. Lebih baik dia segera bergabung bersama teman-temannya agar bisa langsung pulang menemui si kembar. Dua puluh menit kemudian, Amber sudah bergabung bersama teman-temannya di sebuah cafe yang cukup terkenal di Sleman. “Amber, sini!!” Dina melambaikan tangannya saat melihat Amber memasuki cafe. Bibir Amber menampilkan senyum lebar saat melihat teman-temannya. Perempuan itu melangkah ringan mendekati kursi yang dipenuhi teman-temannya dan meja yang sudah penuh dengan makanan. “Maaf, terlambat.” Amber menyalami semua orang. “Tidak masalah. Teman-teman, kenalkan ini Amber. Dia editor baru.” Dina me “Kau sudah kenal Reno, ‘kan? Dia juga salah satu editor.” “Hai, aku Reno.” Pria berkacamata itu mengulurkan tangannya. “Hai.” Amber menyambut uluran tangan pria itu. “Iya, aku tahu. Mejanya tepat berada di ujung, ‘kan? Dua meja dariku.” Dalam sekejap, meja berisi lima orang itu sudah ramai dan penuh kehangatan. Berkali-kali Amber tertawa. Rasanya sudah lama dia tidak mempunyai teman yang menyayanginya. Dia ingat hanya bisa tetawa dan bersikap lepas saat dia di sekolah. Di sana, dia bisa menjadi pribadinya tanpa ketakutan. Tidak ada yang merundung, memarahi, atau bahkan menghukumnya. Amber juga bisa berekspresi dengan semua tulisan-tulisan yang dia buat. Lepas dari sekolah, Amber justru mendapati dirinya hamil. Pergi ke Jogjakarta adalah pilihannya. Tidak akan aman baginya untuk tetap tinggal di Banjarmasin. Keluarga tirinya selalu menyiksanya. Dan Darren akan mengetahui kehamilannya dengan mudah. “Sebenarnya aku sedih karena hari ini Tuan Darren tidak datang ke kantor.” Amber menghentikan kunyahannya saat mendengar salah satu teman wanitanya mengatakan itu. “Iya, aku juga. Tapi, kita semua tahu kalau Tuan Darren memang jarang sekali datang ke kantor. Kalau pun datang, paling hanya beberapa jam. Aku sangat terkejut kemarin dia di kantor sampai malam.” “Iya, tidak biasanya.” Dan perbincanan tentang Darren pun terus mengalir. Amber tidak mau terlalu memikirkannya. Jadi, dia terus menikmati makan malamnya. “Sepertinya hanya Amber yang tidak tertarik membicarakan Tuan Darren.” Reno memperhatikan Amber dari balik kacamatanya. Mendengar namanya disebut, Amber langsung mendongak. “Hah? Ada apa?” “Lihat! Dia sama sekali tidak tertarik.” Reno tertawa keras. “Iya, bagaimana bisa?” Dina menatap Amber keheranan. “kemarin juga dia tampak biasa saja.” Amber mengambil tisu dan mengelap bibirnya. “Kalian sedang membicarakan apa?” “Apa kamu tidak tertarik dengan Tuan Darren?” Lima pasang mata menatap Amber lurus-lurus, menunggu jawabannya sebagai karyawan yang baru pertama kali kemarin melihat pemilik perusahaan. Ditatap sedemikian rupa, Amber merasa tenggorokannya kering seketika. “Ehm! Dar- maksudku Tuan Darren itu tampan. Tidak mungkin orang tampan tidak memiliki pasangan. Bisa jadi dia memiliki banyak pasangan dan skandal. Jadi, aku tidak tertarik,” jawabnya lugas. Reno, sebagai satu-satunya pria di sana, tersenyum puas. Sedangkan para wanita yang tergabung di meja sontak mengangguk setuju. “Iya, sih. Tidak mungkin pria setampan Tuan Darren tidak mempunyai pacar.” “Benar juga ya. Yang muka pas-pasan aja bisa selingkuh. Apalagi Tuan Darren yang juga sangat kaya.” Dan mereka kembali mengobrol. Atensi mereka tidak lagi pada Amber. Wanita itu sontak merasa lega. Amber hanya teringat wanita yang bersama Darren di mall beberapa hari yang lalu. Dia memanggil Darren dengan sebutan sayang. Mereka pasti pasangan, ‘kan? Getaran ponsel di saku mengganggu acara makan Amber. Wanita itu segera mengambil ponselnya. Melihat nama yang terpampang di sana, Amber memilih untuk mengangkatnya di luar. Dia tidak ingin teman-teman kerjanya mendengar percakapannya. Amber memilih melangkah ke taman samping cafe karena lebih sepi. Saat merasa sudah aman, dia pun menggeser tombol hijau. Mucullah dua wajah cantik dan tampan yang sangat imut. “Halo, Sayang.” Amber melambaikan tangannya ke arah ponsel. “Ma, apakah mama masih lama?” tanya Ana. “Apa pekekerjaan mama begitu banyak?” Alex menambahi. Tampaknya kedua buah hatinya begitu memikirkannya dan mengkhawatirkannya. Amber menjadi terharu. Dia merasa bersalah pada kedua anaknya. “Tidak, Sayang. Mama diundang makan malam dengan teman kantor mama. Pekerjaan mama sudah selesai dan sebentar lagi mama akan pulang. Apa kalian sudah makan malam?” “Sudah, Ma. Aunty Elena memasak omelet yang sangat lezat,” jawab Ana,”Alex, berikan ponselnya! Aku ingin menunjukkan piring kita yang sudah bersih pada mama.” “Tidak usah, Ana. Tidak penting. Mama pasti percaya kalau kita anak pintar dan penurut.” Mata Alex tanpa ekspresi, tapi nada bicaranya berusaha terdengar dewasa melebihi umurnya. “Alex! Tapi aku ingin mama semakin yakin.” “Tidak usah!” Alex masih saja memegang erat-erat ponselnya. “Kau pelit,” rengek Ana, “padahal tadi kau yang ingin menelepon mama untuk memberi tahu kita sudah makan dengan baik.” Alex mencebik, dia hanya melirik adiknya. Melihat interaksi kedua anaknya, Amber mendadak merindukan kedua buah hatinya. Dia pun terkekeh. “Tidak apa-apa. Aku percaya dan akan pulang sebentar lagi. Tunggu ya. Dadah!” Senyum Amber terus merekah meski layar sudah berubah gelap. Dia harus pamit lebih dulu pada teman-temannya sebelum jam tidur anak-anak lewat. “Ehm!” Sebuah deheman terdengar dari belakang. Deheman itu cukup dekat dan keras dan sukses mengagetkan Amber. “Ya Tuhan!” Amber terlonjak. Tangannya sontak memegangi dadanya yang berdegup sekencang genderang. Atmosfer di sekitarnya mendadak berubah. Belum sempat Amber menoleh, sebuah suara kembali terdengar. “Jangan sampai hubungan asmaramu mempengaruhi kinerjamu!” Sebuah suara bas yang dingin dan dalam menyentuh gendang telinganya, mengirimkan sinyal bahaya pada otaknya. Wanita itu sangat hafal siapa pemilik suara itu. Amber terlalu takut untuk menoleh. Dan memejamkan mata adalah salah satu cara yang bisa dia lakukan. “Bodoh!” Lalu sedetik kemudian, Amber merasa hawa gelap itu memudar. Dia langsung menoleh, menatap punggung lebar yang berjalan menjauh. Meski begitu, jantung Amber tidak berhenti berdetak dengan sangat keras. Sebuah ketakutan yang lain menghinggapnya. ‘Ya Tuhan! Apa tadi dia mendengar percakapanku? Apa dia mendengar aku mempunyai anak? Bagaimana ini?’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD