Bab 11 | Satu Fakta Tentangnya

2200 Words
Kali ini Sera tidak gagal bangun lebih dulu dibanding suaminya, dengan cekatan dia langsung ke kamar mandi, cuci muka lalu mengambil wudhu. Saat dia keluar dari kamar mandi, ternyata masnya juga sudah bangun, dan pria itu langsung tersenyum manis lalu beranjak mendekati Sera. “Sudah wudhu, Dek?” “Sudah, Mas. A-aku siapkan alat solatnya.” “Solat di mushola rumah saja, ya? Ada di lantai bawah. Sebelah kamar tamu.” “Ooh … Okay, Mas.” Sera mengangguk, lalu mengambil mukena dan memakainya selagi menunggu suaminya itu selesai wudhu. Ini subuh kedua, juga merupakan hari kedua Sera menjadi istri dari sosok yang masih terlihat begitu sempurna tanpa cela. Sempurna dalam perangai dan tutur katanya, juga sempurna secara penampilan, ah jangan lupakan masnya juga terlihat baik dan mampu membimbing secara agama. Lantunan ayat suci Al-Quran yang dibacakannya kemarin terdengar begitu merdu dan masih membekas di ingatan Sera. Menurut Sera, masnya itu bukan hanya sekedar tampan, namun tubuhnya pun sangat proporsional dengan tinggi sekitar 180 cm. Rahangnya tegas, dengan hidung yang mancung dan alis yang tebal. Dan, dia benar-benar menyukai berada di belakang pria itu sebagai makmum, bukan hanya makmum solat, namun makmum dunia akhirat. “Assalamualaikum Warahmatullah …” “Assalamualaikum Warahmatullah …” Sera langsung mendekat saat masnya membalikkan badan, dan pria itu langsung tersenyum seraya mengulurkan tangannya. “Hari ini mau ikut Mas bekerja, Dek?” Sera langsung mengernyit saat mendengar hal itu. “Memang boleh, Mas? Kok, ikut? Nanti aku mengganggu? Memang tidak dimarahi oleh atasan Mas?” Renjana terkekeh kecil, tangannya meraih Al-Quran yang ada di atas meja nakas. “Tidak. Aman, kok. Kemarin tentang pekerjaan Mas belum terjawab lengkap, kan? Mas mau visit beberapa tempat. Tapi kalau kamu mau saja. Siapa tau bosan sendiri di rumah. Atau kamu memiliki agenda hari ini?” Dan Sera sungguh penasaran, juga butuh mengenal lebih dalam lagi tentang sosok yang sudah menjadi suaminya itu. “Mau ikut jika tidak mengganggu Mas.” Renjana mengangguk, lalu mengusap puncak kepala Sera dan tersenyum. “Boleh, Mas senang bisa ditemani istri di Senin pertama setelah menikah.” Masnya kembali mengerling. “Kalau mau tidur lagi boleh, Dek. Nanti Mas bangunkan jam enam. Mas biasanya langsung olahraga, si. Sarapan gampang, nanti kita bisa cari bubur ayam sambil berangkat. Jangan terbebani pokoknya, okay?” “Aku … Mau memasak saja, Mas. Ingin sarapan yang segar dan berkuah. Mas mau sup daging?” “Boleh. Sudah lama Mas tidak makan sup.” “Okay, deh. Aku siapkan sekarang.” Sera langsung mengangguk semangat, dia lalu melepas mukenanya dan melipatnya. Saat Sera keluar dari mushola, langkahnya terhenti begitu mendengar suaminya mulai mengaji. Dia bertahan di sana untuk beberapa saat karena ingin menikmatinya. Bibirnya menyungging senyum dengan tangan yang menekan dadanya. “Indah sekali …” Bisik Sera lalu beranjak ke kamar terlebih dahulu sebelum ke dapur. *** Mobil Audi itu memasuki sebuah kawasan bengkel mobil elit yang Sera kenali. Ayahnya langganan juga di sana. Pun banyak partner bisnis ayahnya yang juga menjadi pelanggan. “Oh, kita service mobil dulu, Mas?” Sera menoleh pada suaminya dengan pandangan bingung. “Tidak, Dek. Mas mau mampir sebentar, mau meminta laporan bulanan pada manager on site. Sebentar, kok. Nanti kamu tunggu di ruangan Mas saja, ya?” Sera mengangguk kaku, tangannya sudah gatal ingin membuka ponsel dan mencari tau tentang sosok suaminya. Hal yang sejak kemarin masih belum sempat dia lakukan. “Pagi, Bosss … Masya Allah pengantin baru. Selamat, ya, Pak Bos… Selamat Bu Bos …” Beberapa montir terlihat tersenyum sumringah dan menghampiri mereka dengan begitu ramah. Sera langsung mengangguk sambil tersenyum, sedangkan Renjana langsung menggenggam tangan Sera. “Terima kasih jamuan makan siangnya kemarin, Pak Bos. Memang Pak Bos yang terbaik!” Salah satu dari mereka mengacungkan jempolnya. Sera justru dibuat bingung. Ada jamuan kemarin? Dalam rangka apa? Dan bagaimana mereka tau jika bosnya sudah menikah sedangkan pernikahannya semacam pernikahan kilat tanpa seorang pun yang tau? “Iya, ih, padahal kita ngga kondangan, ya, ngga ada nyumbang, tau-tau kemarin siang tetep dapet jamuan makan siang sebagai syukuran pernikahan. Masya Allah tabarakallah …. Berkah selalu kehidupan pernikahannya, ya, Bos …” “Sakinah, mawaddah, warahmah … till jannah.” “Aamiin.” Renjana tersenyum dan tau-tau merangkul bahu Sera. “Arthur ada, Bim?” “Ada, Pak.” “Yuk, Dek. Tunggu di ruangan Mas dulu, ya? Paling lima belas menit.” Sera mengangguk kaku, dan berpamitan pada para karyawan suaminya itu. Bengkel itu memiliki dua lantai, lantai pertama berisi barang-barang sparepart, dan lantai ke dua semacam gudang bersih untuk stock barang, juga ada tiga ruangan seperti kantor di sana. “Ada cemilan di kulkas, Dek. Jangan sungkan, ya. Semua yang di sini milik kamu juga.” Sera mengangguk, lalu mendudukkan tubuhnya di sofa sambil sibuk membuka tasnya. REN Autoworks, seingat Sera, itu adalah bengkel mobil premium di Jakarta, tempat mobil-mobil kelas atas ditangani oleh tangan-tangan ahli, dengan layanan yang nyaris setara butik pribadi. Sera juga sering mendengar testimoni dari orang-orang jika mereka sangat puas dengan pelayanan dan hasilnya, karena di bengkel itu, mobil-mobil mewah bukan hanya diperbaiki, tapi diperlakukan seperti karya seni. Ternyata, bengkel itu adalah milik suaminya. REN pasti diambil dari nama Mas Renjana. Astaga … kenapa pria itu tidak bisa berhenti untuk membuatnya semakin kagum? “Aduh … di mana, si, ponselku?” Sera mendesah saat sudah membongkar isi tasnya namun tidak mendapati ponselnya di mana pun. “Apa tertinggal di rumah? Masa, si, aku melupakannya?” Padahal dia sangat membutuhkannya untuk mencari tahu tentang sosok suaminya itu. Rasanya tidak mungkin dia lancang tiba-tiba meminjam komputer masnya, pasti juga di-password, kan? Alhasil, Sera hanya bisa menunggu dengan gelisah, sebab kini dia lebih bernapsu untuk mencari tau sendiri, sebanyak-banyaknya, sedalam-dalamnya tentang sosok pria itu alih-alih bertanya langsung pada masnya. Dia lalu menyalakan smart televisi, mencoba membuka youtube. Pasti ada berita tentang suaminya yang ternyata pengusaha sukses itu, kan? Sayangnya, internetnya tidak connect, dan Sera merasa terkurung untuk sementara dengan keinginan yang semakin menggebu-gebu. “Dek ….” Renjana datang dan langsung membuka pintunya. Wajah Sera terlihat bad mood, dan itu membuatnya mengulum senyum.”Maaf, Mas lama, ya? Kamu bad mood sepertinya.” Sera langsung menegakkan tubuhnya dan menangkup wajahnya. Sial! Dia lupa jika pria yang menjadi suaminya itu pria paling peka yang pernah ditemuinya. Tanpa Sera melisankan isi hatinya, masnya seolah langsung mengerti apa yang sedang dirasakannya. “Ponselku sepertinya ketinggalan di rumah, Mas. Jadi bosan.” Sera memilih jujur, untuk apa berbohong di saat dia sudah ketahuan lebih dulu karena ekspresinya yang tidak bisa disembunyikan. Renjana langsung tersenyum dan duduk di sampingnya. “Mau pulang ke rumah dulu ambil ponselnya, Dek?” Sera langsung menggeleng. “Atau mau pinjam ponsel Mas? Mau menghubungi siapa?” ‘Mau mencari tau tentang, Mas.’ Sera hanya mampu menggumam dalam hati. “Memang boleh aku pinjam ponsel Mas?” “Ya boleh, Dek. Kenapa tidak boleh?” Renjana kembali terkekeh. Sera justru terlihat ragu. Kan, gengsi, masa mencari tahu tentang suaminya dari ponsel suaminya sendiri? Nanti ketahuan! “Tidak usah, deh, Mas. Kita lanjut saja sesuai rencana, setelah ini Mas mau ke mana?” “Ke tempat yang menjadi favorit kamu, mungkin?” Renjana mengerling lagi sambil beranjak berdiri lalu menggandeng tangan Sera untuk mengikutinya. Mereka berjalan beriringan menuju ke mobil, dan para karyawan langsung kembali memberi perhatian juga senyum ramah saat melihat mereka. “Mas, ih! Bisa tidak setiap aku tanya jawabannya tidak ambigu?” Sera mulai melayangkan protes, namun masnya justru hanya tertawa ringan sambil menggeleng. “Seru melihat wajah penasaran sekaligus kesal kamu, Dek. Mas mau visit kedai, setelah ini ke kantor Mas, ya? Lalu kita belanja?” “Belanja terus! Kemarin Mas sudah menghabiskan setengah milyar lebih untuk belanja perhiasan.” “Itu bukan belanja, Dek. Kan perhiasan bisa menjadi investasi, dia memiliki nilai, dan Mas tidak merasa menghamburkan uang jika hasil kerja keras Mas untuk istri sendiri.” Dan Sera baru menyadari, masnya itu pandai sekali menimpali ucapannya dan sering membuat Sera kehilangan kata-kata. Bukan hanya kehilangan kata-kata, Sera merasa kehilangan pijakan atas setiap ucapan manis yang dilontarkan masnya. Pasalnya, ucapan itu terdengar natural dan tulus, bukan sesuatu yang berlebihan untuk dijadikan sebagai rayuan. Paham, tidak? Ya, memang itu terdengar apa adanya, yang membuat hati Sera makin sering salto di dalam sana. “Iya, iya … Sekarang aku tau dari mana sumber kekayaan Mas. REN Autoworks ini ada beberapa cabang, kan, di Jakarta? Opa dan Oma, juga Ayah, kan langganan di bengkel Mas juga. Ayah saja saat memberi hadiah mobil pada Naira, selalu mewanti-wanti untuk servis di bengkel Mas karena terbukti pelayanan dan kualitasnya sangat baik. Pelanggannya juga bukan orang biasa, kan? Pantas kaya!” Sera kembali menggebu-gebu, dan Renjana kembali tertawa dibuatnya. “Boleh mengeluarkan segala isi hati kamu tentang Mas. But, safety first, Dek. Sabuk pengamannya jangan lupa dipakai.” Bisik Renjana yang lalu mencondongkan tubuhnya untuk membantu Sera memasang sabuk pengaman. Dan detik itu, Sera langsung terdiam, dengan bibir yang mengatup sempurna, dan detak jantung yang menggila di dalam sana, sampai dia lupa caranya bernapas dengan benar. Mobil yang dikendarai masnya melaju membelah jalanan Jakarta yang padat merayap di hari Senin itu, namun bukan jalanan padat yang menjadi fokus Sera, melainkan sesuatu yang lain. Ini adalah jalan menuju kantornya, dan Sera semakin yakin saat mobil masnya itu berbelok tepat di kawasan perkantoran yang familiar baginya. Saat Sera menoleh pada masnya, pria itu terlihat mengulum senyum dan menatap Sera penuh makna, membuat Sera harus menerka-nerka ke mana tujuan mereka. Mobil masnya bahkan masuk ke kawasan parkir dari Wiratama Building, yang mana merupakan gedung perkantoran milik keluarganya, yang juga disewakan untuk beberapa perusahaan swasta. Pria itu memiliki kartu akses parkir, dan terlihat leluasa, yang artinya memang familiar dengan tempat tersebut. Pasalnya, kartu akses parkir hanya dimiliki oleh karyawan yang bekerja di gedung tersebut. “Kamu mau mampir ke kantor, Dek?” “Mas, ini, kita mau ke mana, si? Mas membuatku bingung, dan aku pusing menyimpan tanya yang tidak terjawab ini.” Sera kembali mengerang kesal, dan puncak kepalanya yang tertutup hijab maroon itu kini justru ditepuk-tepuk ringan. “Kita mengobrol di ruangan Mas saja, ya? Setelah ini akan Mas ceritakan selengkap-lengkapnya apa yang ingin kamu tau tentang Mas. Maaf, ya membuat kamu kesal.” Sera mengerang lagi melihat senyum manis itu. “Ya sudah, yuk.” Renjana kembali membantu Sera melepaskan sabuk pengaman, lalu menggenggam tangan sang istri untuk mengikuti langkahnya. Wiratama Building memang berseberangan langsung dengan salah satu Food Mall, yang juga sering dijadikan sebagai tempat lunch para karyawan di kawasan perkantoran tersebut. Kini, wanita itu menggigit bibirnya saat Mas Renjana menuju ke salah satu kedai kopi di antara deretan kedai kopi lain yang sangat familiar bagi Sera. ‘Jangan …. Jangan … Kopi Enja … Enja itu dari nama Mas Renjana?’ Sera membulatkan matanya, mengingat kembali apa yang terjadi kemarin, lalu di rumahnya, dan senyum geli masnya saat Sera menceritakan betapa dia sangat menyukai Kopi Enja. Pipinya memanas sekarang! Batinnya menjerit brutal saat masnya benar-benar mendorong pintu masuk yang bertuliskan Kedai Kopi Enja itu. “Selamat hari pernikahan Pak Renjana … Bu Sera …” Teriakan lantang itu menyambut mereka, seiring dengan tepuk tangan yang terdengar begitu nyaring. Kafe memang cenderung sepi saat jam sepuluhan, jam sibuknya saat jam tujuh hingga jam sembilan, lalu ramai lagi saat makan siang dan jam tiga sore. Sesuai dengan kebiasaan para karyawan. “Ini ada hadiah dari kami, meski pun tidak seberapa, tapi semoga Pak Renja dan Bu Sera memahami niat baik kami.” “Semoga pernikahannya selalu dilimpahi kebahagiaan dan kebaikan.” “Semoga sakinah, mawaddah, warahmah till jannah.” “Terima kasih untuk jamuan makan siangnya kemarin, Pak. Makanannya sampai saya bawa pulang, Pak. Enak-enak dan berlebih semua lagi. Jadi sayang, kan, kalau tidak habis. Sebagian kita bagikan kepada para ojol, Pak.” Renjana mengangguk dan tersenyum tulus. “Sama-sama. Terima kasih juga, ya, hadiahnya. Ini istri saya, kalian sudah kenal, kan?” “Ya, kenal, lah, Pak! Pelanggan setia nomor satu. Tiap hari pasti tidak pernah absen mampir beli kopi, ya, Bu. Jam tujuh pagi, lalu jam tiga sore! Kopi favoritnya Kopi Enja … sugar 5 ml, oatmilk … double shot espresso.” Yang lain kompak tertawa, sedang Sera mengulum senyum dan ikut tertawa jenaka. "Terima kasih, loh, hadiahnya, repot-repot." Ucap Sera mengambil alih paper bag di tangan masnya, dan masnya itu tau-tau kembali merangkul. “Sekarang tidak perlu datang ke kafe, ya, Bu? Sang pencipta racikannya sudah ada di rumah. Available 24/7 kapan pun Bu Sera menginginkan Kopi Enja …” Celetukan penuh nada menggoda itu kembali dilayangkan oleh salah satu dari mereka. "Eum ... Benar sekali, saya bukan cuma bisa mendapatkan kopinya, tapi pemiliknya." Sera membalas candaan itu dengan tenang dan tetap terlihat elegan, menyembunyikan jantungnya yang terus berdetak brutal. Rasanya campur aduk, kesal, malu, dan sangat kaget dengan fakta yang baru dia tau. Pantas kemarin masnya selalu tersenyum geli saat Sera menceritakan kopi favoritnya dengan menggebu-gebu. Belum lagi, Ibu yang menatapnya bingung saat Sera mengatakan akan menghidangkan kopi untuk masnya. Setelah sambutan singkat itu, Renjana lalu mengajak Sera ke lantai dua, di mana kantor pria itu berada, dan Sera benar-benar kehilangan kata-katanya, namun benaknya justru semakin dipenuhi tanya. Apakah pria itu memang sudah mengenalnya lama? Jauh sebelum ada akad di antara mereka?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD