Bab 9 | Ultimatum Adik Ipar

2070 Words
“Assalamualaikum, Ibuuu … Ayah … Nai ….” Sera mengetuk pintu rumahnya dengan sedikit bersemangat. Renjana yang berdiri di sampingnya mengulum senyum meski merasa gugup atas kunjungan pertama ke rumah mertuanya itu. Raynar Arjuna Wiratama … Nama yang tidak lagi asing di kalangan pengusaha, dan Renjana pun mengetahui sosoknya cukup baik selama ini karena dia juga berkecimpung di dunia bisnis. “Waalaikumsalam ….” Dan ternyata, pria paruh baya itu yang membuka sendiri pintu untuk putrinya. “Ayah ….” Sera langsung mengulurkan tangan, pun dengan Renjana yang ikut menyalami ayah mertuanya, lalu mengangguk sambil tersenyum sopan. “Ayo masuk …. masuk.” Nadanya tetap terdengar ramah, meski tatapannya masih belum begitu bersahabat pada Renjana. “Anas mau ambil barang-barang Anas, Ayah.” “Iya, boleh. Mampir dulu, Kak. Sudah pada sarapan belum? Kami juga sedang sarapan, sekalian bergabung saja, ya?” “Kok, siang sekali sarapannya, Ayah?” “Iya, Ayah yang meminta Ibu memasak sedikit siang, karena tau Anas akan datang.” Dari cara dan tatapan ayah mertuanya itu, Renjana tau, Sera bagaikan batu permata yang sangat berharga di mata sang ayah. Dan seorang Arjuna Wiratama, kemarin baru saja menyerahkan permata yang sangat berharga itu kepadanya, rasa-rasanya Renjana memiliki beban moral atas fakta itu. Bisakah dia membahagiakan Sera seperti bagaimana wanita itu berada dalam lingkup keluarga yang hangat? Sedang hatinya masih belum benar-benar bersih. Dia juga bukan orang baik. Juna berjalan mendahului, tanpa disangka Naira justru menyusulnya ke ruang tamu, dan gadis muda yang merupakan putri bungsu itu langsung berbinar melihat kedatangan kakaknya. Juna yang melihat Naira langsung tersenyum tipis, bungsunya itu semalam menangis hebat karena merasa kesepian setelah kakaknya tidak lagi tinggal di rumah. Juna memilih membiarkan, melanjutkan langkahnya ke ruang makan untuk membantu sang istri yang terlihat sangat sibuk menyiapkan jamuan untuk menyambut kunjungan pertama Sera setelah menikah. “Kakak ….” Naira langsung tersenyum sumringah dan menubruk erat tubuh kakaknya lalu bersalaman, saat dia beralih tatapannya pada sang kakak ipar, Renjana kembali mendapati tatapan tidak ramah itu. Namun, dia langsung mengulum senyum ramah pada Naira. “Naira, ya?” Renjana mengulurkan tangannya, dan Naira langsung meraihnya namun sedikit meremasnya kuat. “Awas kalau Abang sampai membuat Kak Sera menangis. Akan Nai buat Abang masuk rumah sakit. For your information, Nai langganan menang kejuaraan taekwondo bahkan sampai tingkat nasional untuk pemegang sabuk hitam." Tatapan gadis muda itu meruncing, seiring dengan remasan kuat di tangannya yang membuat Renjana kembali mengulum senyum geli. Remasan tangannya sangat kuat dan mampu membuat Renjana diam-diam meringis sakit, anak itu sepertinya memang pandai bergulat! “Baik, akan Abang ingat kalau istri Abang punya pawang yang sangar.” Ucap Renjana terlihat tenang dengan nada bercanda di akhir. Justru Sera yang merasa tidak enak, dia langsung memukul pelan tangan adiknya dan memberi tatapan peringatan itu. “Adik! Sudah! Yang sopan. Mas Renjana kakak kamu juga sekarang.” Naira langsung mendengus dan membawa punggung tangan Renjana ke keningnya. “Nai tidak main-main, ya, Bang Ren! My eyes watching you! Always!” Naira menunjuk kedua matanya lalu mengarahkannya kembali tepat ke depan wajah Renjana. Sera langsung mengajak suaminya itu ke ruang makan, meninggalkan Naira yang langsung berteriak kesal. “Adik kamu … Terlihat sangat ganas, seperti induk macan yang siap menerkam jika anaknya disakiti, Dek.” Bisik Renjana yang membuat Sera langsung menggigit bibir untuk menahan tawa. “Tapi sesungguhnya hatinya lembut, kok, Mas. Sangat penyayang dan baik.” “Mas tahu. Kelihatan sekali cintanya besar untuk kamu.” Dan obrolan singkat mereka kembali terjeda karena teriakan protes Naira. “Kak! Nainai kangen loh! Malah dicuekin!” Ucapnya menghentakkan kaki namun tetap menyusul kakaknya dan memeluk lengan Sera dengan manja. Sera menyentil ringan keningnya dan terkekeh. “Ibuuuu …” Panggil Sera dengan nada manja, rasanya rindu sekali padahal baru semalam dia meninggalkan rumah. “Kakak …. Aih … Pengantin baru Ibu …. Sumringah sekali …” Sheya menggodanya, nadanya terkesan ramah dan penuh canda, sangat kontras dengan suaminya, yang masih terlihat penuh waspada sekali pun sudah mengijinkan Sera menikah dengan Renjana. Renjana langsung mengulurkan tangan pada ibu mertuanya lalu menyalaminya. “Ayo … Ayo … Duduk … Sarapan dulu, Ibu masak semua kesukaan Kak Sera, loh.” Dan sepanjang sarapan kali itu, rasanya tatapan ayah mertua dan adik iparnya bagaikan laser yang sanggup melubangi jantung Renjana. Ayah dan anak itu benar-benar satu suara dan terlihat begitu kompak untuk terus mengawasi gerak-gerik Renjana. Selesai sarapan, Sera langsung mengajak suaminya naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. “Kamar Mas dan aku sangat kontras, jangan tertawa.” Sera memperingatkan begitu mereka berhenti di depan pintu kamar. Renjana langsung menautkan kedua alisnya mendengar itu. Dan benar saja, begitu Sera membuka pintu kamarnya dan mempersilahkan masuk, Renjana tidak bisa menahan senyum geli. Sekarang dia paham, kenapa semalam Sera tertawa dengan desain kamar Renjana yang dominan warna monokrom, pasti terasa aneh, persis seperti yang Renjana rasakan saat melihat kamar Sera. Warna kamar wanita itu didominasi oleh warna peach dan broken white, sangat kental sekali kesan cheerful, dan pantas semalam Sera mengatakan kamarnya suram. “Kan, sudah kubilang Mas jangan tertawa.” Sera cemberut, dan tawa Renjana justru semakin jelas dari yang awalnya dia tahan-tahan. Tau-tau pria itu langsung bergerak ke ranjang dan merebahkan dirinya di sana. “Mas jadi paham kenapa semalam kamu menertawakan desain kamar Mas dan mengatakan kamar Mas suram, Dek.” Sera ikut duduk di ranjangnya, dan dari posisinya, dia jadi bisa melihat lebih jelas wajah suaminya, yang kini tengah memejamkan mata, pria itu rebah di tengah-tengah ranjang dengan kaki yang menjuntai ke lantai. Dan saat masnya membuka mata, Sera menjadi kelimpungan sendiri dan langsung membuang muka. “Ayo, Mas bantu, Dek. Mau dari mana dulu? Baju, ya? Atau make up dan skincare?” “Eum … Mas duduk di sofa saja, ya? Biar aku urus sendiri.” Renjana langsung beranjak dari rebahnya sambil menautkan kedua alisnya. “Kenapa? Kan, kamu punya suami sekarang, Dek, yang siap mengurus kamu, kenapa tetap ingin mengurus sendiri?” Renjana tau-tau mencondongkan wajahnya dan tangannya dengan nakal menjawil hidung Sera. “Mas bantu bereskan skincare dan make up kamu saja, ya? Kamu bisa pack baju-baju kamu. Mas paham kamu pasti tidak nyaman jika dibantu pack baju-baju yang mungkin masih belum pantas dilihat oleh Mas, seperti panties dan bra, kan?” Renjana mengusap gemas kepala istrinya, namun detik itu dia mendapat dorongan lemah di dadanya. “Tidak usah diperjelas, Mas!” Ucap Sera yang langsung beranjak menuju ke walk in closet, meninggalkan Renjana yang kembali dibuat tertawa dengan tingkah malu-malu sang istri. Dia lalu beranjak dan justru melihat-lihat keseluruhan isi kamar. Masih ada beberapa foto Galih dan Sera yang terpajang di sana, juga banyak foto-foto keluarga dan momen Sera bersama Naira, yang menunjukkan betapa hangat keluarga mereka. Ternyata, berita-berita yang sering Renjana baca dan lihat di media yang selalu menyorot keluarga cemara Arjuna Wiratama itu benar adanya, bukan sekedar gimmick belaka, atau kebohongan yang dibuat untuk menutupi bobrok yang sesungguhnya. Sebab, sejauh yang Renjana tau, gosip tentang keluarga kaya raya yang harmonis hanyalah karangan media belaka untuk menutupi kenyataan yang tidak boleh terendus media. Namun keluarga istrinya itu, terlihat benar-benar nyata, apa yang dilihat oleh orang luar, itu juga yang mereka rasakan. Di meja makan tadi saja, Renjana merasakan kehangatan itu, nada manja Naira, tatapan penuh kasih Ayah mertuanya pada Sera dan Naira, juga bagaimana kelembutan ibu mertua kepada kedua putri dan suaminya. Mereka sempurna, dan Renjana hadir tanpa mampu memberikan jaminan untuk menjadi pelengkap kesempurnaan yang selama ini telah tercipta, atau dia justru akan menghancurkan kesempurnaan itu? “Mas …. Kok melamun?” Tau-tau bahunya ditepuk oleh Sera yang baru saja keluar dari walk in closet. “Eh, Dek … Maaf, ya, Mas lihat-lihat kamar kamu. Kalian terlihat harmonis sekali.” Ucap Renjana yang membuat Sera terkekeh. “Alhamdulillah… Ayah dan Ibu mendidik aku dan Naira dengan cinta dan kasih yang utuh selama ini, sehingga kita bisa tumbuh dengan baik, Mas.” Tangan Renjana kembali terulur dan mengusap puncak kepala Sera sambil mengangguk. “Kenapa keluar lagi, Dek? Sudah selesai?” “Eh, belum. Aku baru ingat, Mas. Aku, kan, selalu stok Kopi Enja yang literan di rumah. Mas mau coba? Aku buatkan, tinggal tambah es, si. Mas harus coba! Sumpah rasanya mirip seperti kopi buatan Mas tadi pagi!” Renjana mengusap alisnya dengan senyum geli, bagaimana mengatakannya, ya? Ah, tapi dia tidak ingin mengatakannya sekarang. Renjana yang melihat raut berbinar Sera sebab wanita itu ingin menunjukan hal kesukaannya langsung menggigit bibir karena merasa gemas. Sedang Sera sendiri langsung menahan napas, menyadari betapa bibir masnya sangat seksi saat digigit seperti itu. Astaghfirullah, Sera! Batinnya mengerang sebab pikiran nakalnya. "Boleh jika kamu memaksa," ucap Renjana pada akhirnya. “Okay, sebentar, ya, Mas. Sekarang aku jadi tidak perlu kucing-kucingan lagi dengan Ibu kalau mau minum kopi di rumah. Ibu selalu khawatir kalau aku minum kopi berlebihan, padahal aku selalu minum dalam batas wajar, kok. Tapi sekarang, karena Mas pecinta kopi juga, Mas tidak akan melarangku, kan?” Raut wajah Sera terlihat berbinar, namun Renjana justru kembali menautkan kedua alisnya. “Tergantung. Sama seperti Ibu, jika kamu mulai berlebihan, Mas yang akan menjatahnya, Mas tidak ingin kamu berakhir di rumah sakit karena asam lambung.” Bibir Sera refleks mengerucut, dan Renjana kembali merasa gemas dengan tingkah wanita itu. “Loh, Kak? Sudah selesai? Mau ke mana?” Ibunya menahan langkah Sera yang baru saja menuruni tangga. “Belum, Ibu. Mau buat kopi dulu buat Mas Renjana … Kan, masih ada stok kopi Sera kan, Ibu?” Sheya justru mengernyit dan tersenyum kekeh. “Kakak mau menyajikan kopi pada Renjana yang …” Sheya menggantung ucapannya, dan kembali mengurungkan niatnya untuk melanjutkan apa yang ada di hati. Sheya memaklumi jika putrinya itu masih belum mengetahui banyak hal tentang Renjana, sedang dia sudah mengetahui profil pria itu setelah berbicara dengan suaminya semalam. “Yang apa, Ibu?” tanya Sera penasaran, namun ibunya hanya menepuk bahunya dan mengiringi langkah Sera ke dapur. “Tidak apa-apa, takutnya sudah basi. Coba dicek dulu, ya? Bagaimana Mas Renjana, Kak? Kakak baik-baik saja, kan?” “Baik, Ibu. Kami … memutuskan untuk saling mengenal dulu … Mas Renjana juga kemarin melamar Sera dulu sebelum akad. Ini cincinnya, sementara, tapi caranya begitu menyentuh perasaan Sera, Ibu. Dia membuat cincin ini sendiri dari untaian kawat, dan berjanji pada Sera untuk menggantinya dengan yang lebih layak.” Sheya yang mendengar itu mengangguk dengan senyum yang meneduhkan. “Setelah dari sini kami akan mencari cincin pernikahan. Sera merasa, Mas Renjana baik dan dia terlihat dewasa juga bertanggung jawab atas semua keputusan yang diambilnya, termasuk dengan menikahi Sera, mungkin karena itu Ayah juga memberikan ijin. Apa Ibu sudah tau alasan Ayah mengijinkannya? Sera belum sempat mengobrol dengan Ayah.” “Insya Allah … Keputusan Ayah semoga tidak salah, ya, Kak. Semoga Mas Renjana memang orang yang baik dan mau memulai hubungan. Yang perlu Kak Sera selalu ingat, sisakan ruang di hati Kakak kalau memang ingin belajar mencintai suami Kakak … Cinta Kakak kepada diri sendiri harus yang paling besar. Ingat selalu nasihat Ibu, ya, Kak?” Sera langsung mengangguk dan memeluk ibunya. “Nanti Kakak saja yang langsung menanyakan pada Ayah, ya, tentang keputusan kemarin. Yang perlu Kakak ingat juga … kami selalu ada untuk Kakak … Apa pun yang terjadi nantinya, jika hal-hal di luar rumah menyakiti Kakak … Pintu rumah ini akan selalu terbuka untuk menyambut kepulangan Kakak kapan pun itu.” “Iya, Ibuuuu … Terima kasih.” Bisiknya dengan mata yang berkaca-kaca. Sheya tersenyum dan mengangguk, mengusap lembut punggung sang putri yang kini sudah lebih tinggi darinya dan tumbuh menjadi wanita yang menganggumkan dan selalu membuat Sheya bangga. Dan Renjana, yang tadi menyusul sang istri ke dapur hanya bisa menghentikan langkahnya mendengar pembicaraan yang menyentuh hati itu. “Jana … Ada yang ingin Ayah bicarakan …” Lagi, dia kembali terkesiap saat suara ayah mertuanya mengalun lirih tanpa membuat eksistensi mereka diketahui oleh kedua wanita yang kini masih sibuk berbincang di dapur. Namun, hati Renjana sedikit menghangat saat ayah mertuanya itu seolah baru saja merobohkan salah satu tembok pembatas dengan menyebut dirinya sendiri ayah alih-alih saya seperti kemarin. “Baik, Yah …” Renjana mengikuti langkah pria itu dengan hati yang dipenuhi prasangka. Namun langkahnya tegas, juga menyiapkan hatinya untuk menghadapi ayah mertuanya. Ayah mertuanya itu mungkin telah menemukan sesuatu tentangnya dan hal-hal pribadi yang lebih jauh dibandingkan hari kemarin saat pria paruh baya itu mencari tentangnya begitu kilat melalui koneksi dan power yang dimilikinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD