Seperti dugaan Sera, jika masnya akan selesai lebih dulu dan kini bahkan Sera melihat suaminya itu sudah memakai apron dan sibuk di depan sebuah mesin kopi.
Satu hal yang Sera yakini jika mereka memiliki kebiasaan yang sama, yaitu menikmati kopi di pagi hari.
Mendengar langkah seseorang memasuki dapur, Renjana langsung memutar tubuhnya dan kembali tersenyum.
Pria itu sudah rapi, wanginya menguar dan membuat Sera lagi-lagi terpana, bahkan parfum yang digunakan oleh pria itu meninggalkan kesan untuk Sera.
“Dek, mau sarapan apa?”
“Mas buat kopi?” Sera memilih mengajukan tanya yang lain tanpa menjawab tanya suaminya.
“Iya, mau Mas buatkan juga? Mas cukup handal urusan meracik kopi.” Renjana mengerling genit dengan senyum yang menular pada Sera.
“Oh, iya? Boleh kalau begitu, aku ingin membuktikannya sendiri apa Mas memang peracik handal?" ucap Sera dengan nada menantang.
Renjana kembali dibuat tertawa karenanya.
"Kebetulan aku juga coffee addict, Mas. Hanya penikmat, bukan peracik. Aku suka mengeksplor berbagai kopi dari banyak coffee shop lokal.”
Renjana lalu mengangguk ringan, seolah siap membuktikan ucapannya jika dia memang ahlinya. Sesungguhnya bukan hanya sekedar ahli, dia menghasilkan uang dari apa yang dia sukai. Kopi salah satunya.
“Sure, my wife.” Kali ini pipi Sera yang memanas atas panggilan itu.
Dia buru-buru membuka kulkas untuk melihat bahan apa yang bisa dia buat untuk sarapan.
Sepertinya ucapan Mas Renjana kemarin sebelum akad adalah hal yang patut Sera seriusi sekarang. Usahanya harus serius untuk menjaga hati supaya tidak mudah jatuh cinta pada pria dengan sejuta pesona itu, yang hanya dengan tatapan matanya saja, Sera kadang merasa tersesat.
“Mau kopi apa, Dek? Kalo Mas biasanya long black.”
Sera langsung kembali menatap masnya, mendengar kopi favorit masnya itu membuatnya terlihat bergidig.
“Sepertinya Mas benar-benar mencintai kopi, yang bahkan tidak rela kopi itu tercampur oleh ingredients lain.” Ucapnya dengan nada sarkas, dan Renjana kembali tertawa.
Diam-diam hatinya berbisik … Kenapa paginya terasa lebih hangat dan hidup hari ini? Apakah sebab putri sulung Wiratama yang kini menjadi istrinya?
“Aku mau double espresso. Less sugar … dengan oat milk. Sugar 5 ml saja, Mas. Thank you.”
“As your order, Mam.”
“Mas, biasanya sarapan berat atau yang ringan?”
Sera kembali menutup kulkas, sambil memikirkan apa yang akan dia siapkan untuk sarapan selagi mengorek informasi tentang kebiasaan suaminya.
“Mas fleksible, Dek. Bisa nasi, bisa roti. Kamu biasanya sarapan apa?”
“Kalau aku selalu berat. Soalnya Ibu pasti selalu memasak menu lengkap dan meja makan selalu penuh.”
“Ya, sudah, nasi saja kalau begitu, Dek. Buat yang simple saja.”
“Aku buatkan butter toast saja, ya, Mas? Kita jadi ke rumah Ayah dan Ibu untuk mengambil barang-barangku, kan? Pasti kalau di rumah, Ibu akan suruh kita makan lagi.”
“Boleh …. Iya, jadi hari ini agenda kita ke rumah Ayah dan Ibu … Lalu kita cari cincin pernikahan … Dan mungkin belanja kebutuhan rumah … Dan mungkin kita akan makan siang di luar? Lalu dinner di rumah? Begitu, Dek?”
“Mas orangnya visioner, ya? Sangat terencana … Bahkan untuk urusan remeh-temeh …”
“Tergantung situasi, kadang ada hal-hal yang tidak bisa kita rencanakan dan terjadi begitu saja, kan?”
“Salah satunya menikahiku?” Tembak Sera cepat dan Renjana kini justru mendekat dua langkah.
“Menikahi kamu adalah hal tak terencana yang ternyata menyenangkan, pagi Mas tidak pernah sehangat dan seramai ini sebelumnya. Karena hal-hal yang tidak terencana itu adalah salah satu cara Allah menuntun kita pada takdir yang seharusnya. Iya, kan? Dan kita sedang mengusahakan hal tidak terencana itu menjadi sesuatu yang indah, kan?”
Dan Sera mengangguk kaku dengan senyum yang terbit begitu saja.
“Ya sudah, Mas menunggu butter toast buatan kamu, boleh buatkan 3 slice untuk Mas?”
“Siyappp.” Sera langsung mengangguk semangat, dan Renjana mengacak gemas rambutnya, lalu membawa kopi buatannya ke meja pantry, sambil menunggu toast yang dibuat Sera siap.
Renjana duduk di sana dan mengamati istrinya itu dengan tatapan yang menerawang jauh, pada segala hal yang ada di hati tanpa seorang pun yang tahu.
“Paling suka kopi dari mana, Dek? Katanya tadi suka mengeksplor berbagai jenis kopi lokal.”
Pasangan suami istri baru itu kembali memulai obrolan, untuk bisa mengenal lebih dekat dari hal-hal sederhana yang menjadi kesukaan satu sama lain.
“Paling suka Kopi Enja, Mas. Itu ada di depan kantorku kedai kopinya, dan punya banyak cabang juga di Jakarta … Sumpahhh …. Cita rasa kopinya itu … Beda dengan kopi-kopi lain … Bukan jenis yang strong … Tapi tetap terasa kental kopinya.”
Renjana mengulum senyum geli melihat istrinya itu bercerita dengan semangat, dia berpangku tangan dan menyadari kadar bahagia hatinya pagi ini terasa semakin meningkat.
“Yang menu kopi Enja ini … Dia double shot espresso dengan syrup kayu manis homemade sehingga memiliki citarasa yang unik dan membekas, pakainya oatmilk yang diblender dengan kelopak mawar kering. Aku tau racikannya karena sudah jadi pelanggan tetap, dan aku selalu coba buat di rumah, tapi tidak pernah sama, karena syrup kayu manis homemade-nya tidak dijual oleh mereka.”
Nada suara Sera terdengar lesu di akhir, dan Renjana tidak bisa menahan kekehannya.
“Aku setiap pagi biasanya beli yang hot coffee, Mas … Kadang mampir ke sana dulu sebelum masuk ke kantor, atau kadang minta dibelikan OB. Lalu saat break time sore sekitar jam tigaan, aku kadang turun untuk membeli iced coffe … Selain Kopi Enja aku kadang pesan menu Pulang ke Kamu, itu jenis latte dengan hint kelapa dan pandan. Enak pokoknya. Nanti kalau Mas belum pernah, harus coba, ya! Eh, kalau Mas paling suka kopi apa?”
Sera membawa butter toast-nya dan kini mereka duduk saling berhadapan di kursi pantry alih-alih meja makan.
“Kamu ternyata ceriwis, ya?” bisik Renjana.
Sera yang mendengar itu refleks menggigit bibirnya dan menangkup wajahnya.
“Apalagi jika sedang mengatakan tentang hal yang kamu senangi. Mas suka, terus seperti itu, ya, Dek? Supaya lebih mudah bagi Mas mengenal tentang kamu.”
Kini tangan pria itu terulur untuk menepuk puncak kepala Sera, yang membuat tubuh Sera membeku seketika, lagi-lagi pria itu mengacaukan kinerja jantungnya.
“Eum … Iya, Mas … Aku memang ceriwis …” Jika sudah merasa nyaman dengan seseorang.
Dan Sera mendesah dalam hati, kurang dari dua puluh empat jam, dia sudah dibuat senyaman ini oleh suaminya, dan sialnya semua terjadi secara alami tanpa dia harus bersusah payah.
Bagaimana ini? Padahal Sera bukan orang yang mudah berbaur, dia cenderung pendiam dalam perkenalan pertama, dan jika dia tidak nyaman atau tidak cocok dengan orangnya, dia akan menjadi orang yang pendiam.
Dia lalu menyesap kopinya, dan di detik lidahnya menyesap rasa kopi buatan sang suami, matanya langsung membelalak sempurna yang membuat dia bahkan sampai tersedak.
"Dek ... Ya Allah ... Hati-hati ..." Tangan Renjana terulur untuk mengusap punggung Sera, pria itu bahkan turun dari kursinya dan mengambil air putih.
"Mas ... Sumpah ... Ini kopinya benar-benar persis seperti kopi Enja ... Bagaimana bisa? Aku yang di rumah saja tidak pernah bisa membuat rasa yang sama persis."
Mas Renjana hanya mengulum senyum sambil menyodorkan air putih. "Mas berbakat berarti memenuhi ekspekstasi kamu. Semoga seperti itu juga untuk ekspekstasi-ekspekstasi kamu yang lain tentang Mas."
Sera kembali tersipu dengan jawaban itu, bahkan tingkat kepekaan pria itu di atas rata-rata, bukan hanya tutur katanya yang begitu lembut dan manis, perlakuannya pun selaras mengimbangi sifat manis dan penuh perhatian yang dimiliki pria itu.
Renjana kembali ke kursinya lalu menyesap kopinya sendiri, Sera lagi-lagi memperhatikan, dan bibirnya refleks meringis melihat ekspresi masnya yang terlihat menikmati kopi pahit itu.
“Sepertinya, kesukaan kita tentang kopi sedikit berbeda, Dek. Kalau kamu lebih suka mencoba berbagai jenis kopi di coffee shop yang rasanya sudah rasa kombinasi dan kurang peduli dari mana biji kopi itu berasal atau bagaimana prosesnya, maka Mas sebaliknya.”
Sera kembali memberi perhatian pada masnya. Kenapa suara Mas Renjana selalu berhasil membuat Sera terfokus hanya padanya?
Apa kalian pernah bertemu dengan seseorang, yang jika dia sudah bicara, maka semua mata tertuju padanya? Itulah yang Sera rasakan saat Mas Renjana bicara.
“Mas menyukai kopi dari asal biji kopi itu berasal, proses pengolahannya hingga cara roasting yang mempengaruhi rasa akhir. Mas selalu memperhatikan aroma sebelum diseduh, acidity, body, aftertaste, bahkan suhu seduhan. Dan sejauh ini kopi favorit Mas masih Flores Bajawa.”
Sera tanpa sadar bahkan berpangku tangan, menikmati alunan suara lembut yang sejak kemarin terasa familiar di telinganya, juga bagaimana nada suaranya yang begitu tenang membuat pria itu terlihat lebih dewasa dan maskulin.
Astaga! Bagaimana bisa Sera menahan semua serangan yang dipancarkan oleh segala tingkah laku dan tutur kata pria itu?
"Mas mempekerjakan sepasang suami istri yang membantu Mas mengurus rumah. Namanya Pak Benu dan Bu Darti. Mereka selalu datang setiap jam delapan pagi dan pulang jam empat. Kalau weekend libur, Dek."
Sera mengangguk-angguk paham. Rasanya juga mustahil rumah dua lantai yang cukup besar dan mewah itu tidak memiliki asisten rumah tangga.
"Jadi Mas memang jarang bertemu dengan mereka kecuali jika ada keperluan. Biasanya Bu Darti sekalian menyiapkan makan malam untuk Mas. Mereka baik dan sudah ikut Mas sekitar tujuh tahun ini. Insya Allah amanah dan sejauh ini tidak pernah ada masalah."
Sera mengangguk paham, dia tidak akan mempermasalahkan hal itu.
Bicara-bicara rumah minimalis dua lantai yang menurut Sera cukup wah, dia belum tau apa-apa tentang sumber uang pria itu yang terlihat mapan di usianya yang bisa dikatakan masih muda.
“Enak, Dek, toast-nya … Kamu tambah taburan gula, ya? Jadi pas gurih-manisnya.”
Kan! Terlalu sibuk menyimpan tanya, Sera sampai tidak sadar masnya bahkan sudah menggigit roti panggang buatannya. Dia langsung kembali menegakkan tubuhnya dan tersenyum kaku. Dalam hati mengutuk dirinya dan merasa malu.
Apa Mas Renjana tau tadi dia melihatnya dengan tatapan kagum dan memuja? Ya Allah Sera … kendalikan ekspresi kamu!
Dan sialnya, Sera lemah soal menyembunyikan ekspresi di wajahnya. Naira bahkan pernah mengatakan, jika ekspresinya seperti memiliki terjemahan langsung di keningnya.
“Iya, Mas.” Ucap Sera singkat dan ikut melahap toast-nya, hatinya kembali bergemuruh dengan kekhawatiran akan janji pada pria itu yang tidak bisa ditepati.
Perihal jangan jatuh cinta.