Renjana menutup ponselnya saat mendengar pintu kamar mandi kembali terbuka.
Dia mengulum senyum kecil saat melihat Sera masih mengenakan hijabnya, dan kentara sekali jika wanita itu sangat gugup.
Bukan hanya gugup, bahkan setelah naik ke ranjang, Renjana bisa melihat jika Sera terlihat cemas dan tidak nyaman saat tatapannya berpendar memperhatikan seisi kamar.
“Mau makan malam lagi, Dek?”
Sera langsung menoleh dan menggeleng kaku menatap ke arah suami yang menatapnya begitu lembut.
Mas Renjana duduk dengan nyaman dan bersandar di headboard ranjang, sedangkan Sera di tempatnya dilanda gugup juga rasa tidak nyaman.
“Ada yang membuat kamu tidak nyaman, ya? Mas membuat kamu tidak nyaman?”
Sera kembali terkesiap, dan Renjana bisa mendengar wanita itu menghela napasnya gugup.
Yang membuatnya tidak nyaman tentu saja bukan Mas Renjana, alih-alih tidak nyaman, Sera lebih merasa gugup luar biasa melewati malam pertamanya dengan status yang telah berubah.
Belum lagi, isi kamar itu membuat Sera merasa risih setengah mati saat dia mendapati nama Galih di mana-mana.
“Kamu tidak nyaman dengan nama Galih yang ada di mana-mana di kamar ini? Mau pindah kamar saja atau pulang sekalian, Dek?”
Sera kembali terkesiap, menatap takjub pada masnya yang terlihat tetap tenang dengan senyum manisnya.
“Mas cenayang, ya? Kenapa … dari tadi paham sekali yang aku pikirkan?” Sera bersuara dengan nada yang mencicit, mengulum bibirnya saat rasa gugupnya meningkat drastis.
Apalagi saat mendengar tawa ringan Mas Renjana atas lontaran tanyanya.
“Bukan Mas yang cenayang, ekspresi kamu yang mudah dibaca, Dek. Kamu terus menatap setiap benda dengan nama Galih sejak masuk ke kamar ini, dan wajah kamu mengernyit-ngernyit dengan raut yang sendu dan tidak nyaman.”
Sera yang mendengar itu langsung menangkup pipinya. Apakah dia seterlihat itu? Ah, bagaimana ini? Dia memang paling lemah untuk menyembunyikan ekspresi.
“Ya, sudah, sebentar Mas telepon resepsionis supaya kita bisa pindah.”
Renjana sudah meraih gagang telepon di atas nakas, namun Sera langsung refleks menarik lengan pria itu sambil menggeleng kaku.
“Eumm .. Mas … Kita pulang saja bagaimana? Apa Mas keberatan?” Sera menunduk lagi setelah mengucapkan keinginannya.
“Tentu saja tidak, satu-satunya yang membuat Mas keberatan adalah kamu bungkam dengan rasa tidak nyaman yang kamu alami. Ke depannya apa pun yang membuat kamu tidak nyaman langsung bilang, ya? Mas bukan cenayang yang bisa membaca pikiran.”
Sera yang mendengar itu kembali menggigit bibirnya dan pada akhirnya mengangguk malu.
Kenapa dia dibuat tidak berkutik saat berhadapan dengan Mas Renjana yang terlihat luwes dan santai saat menghadapinya? Padahal mereka mengenal belum ada dua puluh empat jam sejak bertemu.
Wajar, kan, jika Sera masih kikuk? Masih mencoba meraba-raba sosok suaminya ini dan bagaimana dia harus bersikap.
Yang tidak wajar justru Mas Renjana menurut Sera, atau memang pembawaan pria itu yang mudah akrab dengan orang baru?
Jika pribadinya memang mudah akrab dengan orang baru, berapa banyak mantan kekasihnya jika begitu? Ah, bukan hanya mantan kekasih, tapi pasti wanita yang baper karena kelakuan manisnya tidak terhitung jumlahnya.
Tau-tau kening Sera ditekan dan diusap lembut, apalagi posisinya kini Mas Renjana sudah duduk bersila di depannya.
“Melamun apalagi sekarang? Kamu terbiasa banyak memendam, ya, Dek?”
Sera yang mendengar itu langsung menggeleng sambil meringis.
“Ya sudah, yuk. Kita pulang, kan?”
“Iya, Mas. Pulang saja.”
“Oke, sebentar, ya.” Renjana tampak menjauh dan sibuk dengan ponselnya, sedangkan Sera merapikan barang-barangnya, hanya ada ponsel dan dompet yang dia bawa, juga paper bag berisi beberapa baju yang tadi diberikan Mas Renjana.
Dia masuk kembali ke walk in closet dan mengganti pakaiannya.
“Sudah, Dek? Yuk, tadi Mas membawa mobil ke sini, kita langsung ke basement ya?”
“Iya, Mas.”
Renjana langsung meraih tangan Sera dan menggenggamnya tanpa kata, dan Sera pun memilih diam padahal jantungnya kembali dibuat kebat-kebit.
Bahkan pria itu mengambil semua barang bawaan Sera, lalu begitu tiba di mobil, Renjana langsung sigap membukakan pintu untuk sang istri.
“Makasih, Mas.”
“Anytime.”
“Mas di Jakarta tinggal sendiri atau ada keluarga?”
“Sendiri.”
“Sering pulang ke Bandung, Mas?”
“Iya, kadang sebulan sekali, dua bulan sekali, tergantung kesibukan.”
“Kakekku dari pihak Ibu juga tinggal di Bandung. Tapi Kakek sudah meninggal saat awal-awal aku kuliah. Rumah Kakek Chandra di daerah Bandung Barat, Mas. Di Cisarua. Kalau orang tua Mas di mana Bandungnya?”
Renjana menoleh sekilas lalu kembali beralih menatap jalanan yang cukup padat di depannya.
“Oh, iya? Mama Mas juga orang Cisarua, kalo Papa di Ciwidey. Kamu sering ke Bandung tidak?”
“Lumayan sering, Mas. Paling sering saat SMA, si, soalnya Kakek Chandra mulai sakit-sakitan saat itu. Kami sekeluarga sering menginap untuk menemaninya.”
“Setelah Kakek meninggal tidak pernah ke sana?”
“Pernah, kok, beberapa kali malah saat kuliah dan setelah lulus. Enak suasananya, Mas, di sana, masih asri. Biasanya kalau weekend aku dan Naira suka kabur ke sana, nanti Ibu dan Ayah tau-tau menyusul, jadinya vacation dadakan, deh.”
Sera tertawa dengan tatapan yang menerawang jauh, mengenang kembali kilas kehidupannya yang begitu sempurna karena dia memiliki orang tua yang hebat.
Renjana pun diam-diam mencuri pandang, dan tatapannya penuh makna pada Sera yang terlihat menatap lurus ke lampu jalanan.
Hingga saat mobil mulai melaju dan berbelok di persimpangan sebuah perumahan, Sera langsung menoleh kembali pada masnya.
“Mas, ini ke mana?” Tanyanya dengan nada yang terdengar cemas.
“Pulang, kan, Dek? Memang ke mana?” Renjana mengernyit sejenak, menyadari raut panik sang istri. “Kamu tidak berpikir buruk Mas ingin menculik kamu, kan?”
Kerutan di kening Renjana semakin dalam, dan saat mendapati raut wajah Sera yang gugup seperti habis tertangkap basah melakukan sesuatu, Renjana kembali terkekeh kecil.
“Sepertinya nilai Mas di mata kamu masih minus, ya, Dek?”
“Bukan, Mas, bukan begitu.” Sera semakin gugup. Apalagi saat Mas Renjana tidak lagi menyahut dan kembali fokus pada kemudinya.
Tau-tau mobil Renjana berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua yang memiliki gerbang cukup tinggi.
Renjana mengambil sesuatu di door pockets, lalu membuka sedikit kaca jendelanya dan menjulurkan tangannya untuk menekan tombol di remote tersebut.
Pagar terbuka, dan mobil kembali melaju memasuki halaman rumah.
Barulah saat masnya mematikan mesin mobil, dia menyampingkan duduknya dan menghadap Sera.
“Ini kita pulang, Dek. Ke rumah. Rumah kita. Tentu saja bukan rumah orang tua kamu. Sejak kamu menjadi istri Mas, ini adalah rumah tempat kamu pulang. Jika kamu pergi ke rumah Ayah dan Ibu itu bukan pulang lagi namanya, tapi berkunjung.” Ucapnya dengan senyum geli menatap Sera yang kembali terlihat gugup namun ada gurat rasa bersalah di wajahnya.
“Aku … minta maaf, Mas … Sudah berprasangka buruk.” Bisik Sera lagi sambil menahan napasnya.
Tau-tau puncak kepalanya justru ditepuk-tepuk ringan.
“Tidak apa-apa, itu wajar, kita kan belum benar-benar saling mengenal selain nama, ya, kan? Wajar kamu memiliki banyak tanya tentang Mas. Ya sudah, yuk, masuk. Kita perlu istirahat setelah hari yang panjang.”
Sera mengangguk patuh, lalu turun dari sana bersama suaminya, menatap penuh kekaguman pada rumah suaminya yang terlihat begitu memukau dan memanjakan mata.
Sekilas melihat rumah tersebut, garis-garis tegasnya sudah memancing rasa kagum
Rumah dua lantai itu berdiri tegak dengan kesan elegan sekaligus hangat. Fasadnya memadukan d******i warna hitam matte pada kusen jendela, lis dinding, dan pintu utama, dengan balutan cat cream lembut pada temboknya yang mempertegas garis-garis modern juga memberi kesan hangat.
“Ayo masuk, Dek.” Tangannya kembali digenggam tanpa ijin oleh sang suami, dan Sera lagi-lagi seperti dihipnotis dan dibuat tidak berdaya, hingga pada akhirnya hanya menurut saja.
“Assalamu’alaikum.” Salam Mas Renjana begitu membuka pintu.
“Waalaikumsalam.” Sera menjawabnya, namun dalam hati kembali dibuat kagum dengan adab yang diterapkan oleh pria itu.
Tetap mengucap salam meski rumah dalam keadaan kosong.
“Kamar Mas ada di lantai atas. Yuk.”
“Lalu kamar…ku?” tanya Sera.
Alis Renjana kembali bertaut dengan tatapan memicing.
“Kamu tidak sedang berpikir kita pisah ranjang, kan, Dek? Kamar Mas itu maksudnya, ya, kamar kita ke depannya.”
“Ooohh … Iyaa … Tadi … kupikir Mas bilang kamar Mas saja … bukan kamar kita.”
Puncak kepalanya kembali diusap lembut.
“Maaf, Mas yang salah. Jika kamu ada pikiran ingin pisah ranjang, maka Mas tidak bisa mengabulkannya, seperti yang Mas bilang sebelum akad. Pernikahan ini serius, dan kita akan menjalani dengan sebaik-baiknya sambil mengenal satu sama lain.”
“Iya, Mas. Aku paham.”
“Ya, sudah, yuk.”
Dan saat mereka melangkah masuk ke kamar utama sang tuan rumah, Sera hanya bisa meringis namun mengulum senyum detik berikutnya.
Kamar itu langsung memancarkan aura maskulin yang tegas. Dindingnya didominasi warna abu gelap, ranjangnya pun dilapisi sprei dan selimut berwarna hitam arang, dengan bantal-bantal abu metalik yang tersusun rapi.
Dinding di atas headboard dihiasi lukisan abstrak monokrom, menegaskan selera maskulin yang dewasa dan berkelas.
Kamar itu juga tidak banyak dekorasi, hanya sebuah jam dinding besar dengan angka romawi hitam yang menjadi titik fokus tambahan.
Renjana langsung menatap Sera sambil meringis kecil, dia bisa memahami ekspresi istrinya itu. “Maaf, ya, kalau nuansanya terlalu monoton dengan warna abu, hitam, dan putih. Nanti kamu bisa mengubahnya sesuai seleramu, Dek.”
Sera langsung menoleh dan mengulum senyum geli pada Mas Renjana sambil menggeleng. “Aku suka, kok, Mas. Cuma memang terlalu … eum … suram.” Ucap Sera hati-hati, takutnya menyinggung, namun dia justru kembali mendengar tawa kecil suaminya.
“Suram menurut kamu, tapi simple menurut Mas, Dek.”
Kali ini Sera yang terkekeh. Masalahnya kamar dia di rumah sangat colorfull, benar-benar kontras.
“Nanti kita atur dan cari titik temunya, Mas tidak rewel soal tata ruang, kok, yang penting nyaman,” ucap Mas Renjana sembari melangkah menuju kamar mandi, meninggalkan Sera yang kembali terpaku di depan ranjang besar tempatnya tidur untuk malam-malam selanjutnya.
Dia menarik napasnya panjang, menatap ke arah ranjang itu lalu ke arah kamar mandi yang terdengar suara gemercik air.
Refleks Sera menggigit bibirnya. Apakah … Apakah …. setelah ini Mas Renjana akan meminta haknya di malam pengantin mereka?
Sera rasanya belum siap, namun dia juga tidak mungkin menolak di saat Mas Renjana sejak awal sudah mengultimatum jika pernikahan ini serius.
Dan jantungnya bukan lagi berdegup dua kali lipat, melainkan berlipat-lipat saat pintu kamar mandi terbuka dan Mas Renjana mendekat ke arahnya dengan senyum penuh makna yang membuat bulu kuduk Sera berdiri seketika.