Bab 6 | Mempertanyakan Hak

1711 Words
Renjana sudah naik ke ranjang dan mengambil posisi, sedangkan Sera masih duduk di depan meja rias setelah mengganti baju dengan piyama. Dia sedang memakai skincare, hanya moisturizer, karena cuma itu satu-satunya yang ada di tas. Hijabnya masih setia melekat untuk menutupi auratnya. “Masih ada yang membuat kamu tidak nyaman, Dek?” Suara Renjana kembali menginterupsi pikiran Sera yang masih berisik. “Oh … tidak ada, Mas.” “Benar? Tapi, kamu seperti mengulur waktu, itu jilbabnya kenapa tidak dilepas saja? Malu dan kikuk?” “Eumm .. Ya.” Ungkap Sera jujur, yang kini sudah membalikkan badannya, dan saat berbalik dia disambut dengan senyum geli Mas Renjana. “Pelan-pelan dibiasakan, Dek. Dilepas saja, susah nanti tidur kamu. Sudah sini naik ke ranjang, kamu memang tidak lelah setelah hari yang panjang ini?” “Eum … Iya … Mas.” Dengan gerakan slow motion Sera akhirnya membuka hijabnya, dia sendiri menahan napasnya dengan rasa malu luar biasa. Melepas hijabnya di depan seseorang yang masih terasa asing itu, Sera merasa seperti sedang menelanjangi diri dengan memperlihatkan lekuk leher hingga tengkuk juga rambutnya. Dan di tempatnya, Renjana sampai menahan napas dengan tatapan yang begitu terpesona dan mendamba. Cantik! Terlalu cantik untuk digambarkan. Rambut Sera panjang sepunggung, berkilau, hitam legam dan sedikit bergelombang. Renjana menelan salivanya kelat saat pandangannya turun ke leher Sera yang jenjang dan putih bersih. Oh, ujiannya dimulai sejak malam ini sepertinya. Diam-diam dia mendesah dalam hati. Saat tatapan mata mereka bertemu, Renjana kembali mendapati seraut wajah Sera yang gugup luar biasa, sesungguhnya Renjana juga gugup, namun dia pandai mengendalikan diri dengan terlihat cool and calm. “Cantik. Mas beruntung menjadi satu-satunya pria selain Ayah dan Opa yang bisa melihat mahkota kamu.” Ungkapnya jujur, dan Sera langsung tersenyum kikuk lalu menunduk. Jantungnya jangan ditanya, semakin tidak karuan dan membuat Sera sulit mengendalikan debar yang menggila di sana. “Sini, Dek. Apa perlu Mas gendong supaya kamu naik ke ranjang?” Ucap Renjana dengan suara menggoda, dan tentu saja dia kembali melihat raut wajah gelagapan Sera yang langsung menggeleng cepat. “I…ya, Mas…” Akhirnya Sera beranjak dari depan meja rias, naik ke ranjang dan masuk ke selimut yang sama dengan suaminya. Sera sudah merebahkan diri, namun masnya masih betah duduk sambil bersandar di headboard. Meski tidak melihat, namun Sera yakin kini Mas Renjana sedang menatapnya begitu intens dari posisinya. Dia menelan ludahnya lamat-lamat dan berusaha untuk mengatur napasnya supaya tetap terdengar tenang. Menghitung dalam hati hingga masnya itu meminta hak pertamanya sebagai suami untuk dipenuhi sebagaimana para pengantin baru menghabiskan malam mereka setelah pernikahan. Renjana menatap lekat pada Sera yang sudah memejamkan matanya, namun genggaman tangan wanita itu pada selimut begitu erat, dan membuatnya tersenyum geli menyadari betapa gugup dan tidak nyamannya wanita itu tidur di sampingnya. Keningnya bahkan mengernyit-ngernyit dalam padahal matanya sudah terpejam sempurna, untuk beberapa menit yang berlalu dalam keheningan, Renjana begitu betah memandangi wajah Sera yang terasa begitu jelas dengan posisi mereka kini. Hidungnya yang kecil namun mancung, garis rahangnya yang tegas dengan pipi yang tirus, alisnya yang terlihat natural membingkai wajahnya dengan sempurna, dan bulu matanya yang lentik, saat matanya terpejam pun tetap terlihat cantik. Ah, yang terakhir bibir wanita itu, tidak penuh namun tidak tipis, tapi terlihat ranum dengan merah muda yang membuatnya terlihat …. Ah, sial! Pikiran Renjana mulai ke mana-mana. Apalagi saat tatapan matanya terus menelurusi ke rahang Sera, turun ke lehernya yang seperti mengundang untuk dicecap manja. Kerah piyamanya yang berbentuk V itu membuat tulang selangkanya terlihat jelas dan justru terlihat seksi dan elegan dalam waktu yang bersamaan. Kulit Sera cenderung putih pucat, seputih s**u, juga tampak halus hanya dari melihatnya, tidak tau jika Renjana merasakannya nanti. Rasanya kepalanya mulai pening, dan saat Sera membuka mata lalu mendongak menatap ke arahnya, gantian Renjana yang dibuat gelagapan. “Mas …” Cicit Sera, karena suaminya itu masih duduk namun belum mengatakan apa pun, sedang Sera tidak bisa tidur jika dia ditatap seperti akan diterkam oleh predator malam ini. “Kenapa, Dek?” “Mas kenapa melihatku segitunya? Aku merasa seperti sedang diintai.” Ungkapnya sambil menggigit pipi bagian dalam. Renjana yang mendengar itu kembali terkejut, namun sebisa-bisa stay cool dengan menunjukkan senyum manisnya. Pastilah seseorang itu sadar jika sedang ditatap dan diperhatikan, pun dengan Sera, meski pun sejak tadi Sera memejamkan mata, pasti instingnya yang bekerja, kan? “Perasaan kamu saja mungkin. Mas dari tadi sedang baca buku.” Ucap Renjana yang memang sedang memegang salah satu buku koleksinya. Dia hobi membaca buku-buku bisnis juga biografi. Renjana seolah memberi serangan balik atas tuduhan Sera, dan kini dia bisa melihat wanita itu yang gantian gelagapan. “Eummm … Mas ….” Sera kembali memanggilnya dengan gugup. “Iya, kenapa, Dek? Jangan sungkan jika ingin mengutarakan sesuatu. Komunikasi itu jadi pondasi dalam suatu hubungan.” Renjana menatapnya begitu teduh, senyum manisnya seolah sudah terpatri permanen di bibirnya. “Eummm …. Itu …. Apa … Mas akan meminta … Itu.” Sera tanpa sadar mencengkram selimutnya lebih erat. Dia hanya ingin membuat semuanya jelas supaya bisa tidur tenang malam ini. Renjana langsung menutup bukunya dan melepas kacamata bacanya, lalu meletakkan di atas nakas dan kini fokusnya tertuju sepenuhnya pada sang istri, yang sudah berbaring miring dan mendongak untuk bisa menatapnya. “Itu apa? Bicara yang jelas, Dek.” Renjana mengulum senyum geli, memahami sepenuhnya ke mana arah pembicaraan Sera. Namun, melihat kegugupan gadis itu membuat Renjana merasa gemas dan ingin menikmatinya lebih lama. “Eumm … Itu …. first … night.” Ungkapnya dengan susah payah, seolah dia memiliki tekanan besar untuk mengatakan itu. Kini Renjana mengubah posisinya, dia juga berbaring miring, namun menyangga kepalanya dengan tangan dan menumpukan sikunya pada bantal. Dengan posisi mereka sekarang yang berbaring miring saling berhadapan, Renjana bisa melihat lebih jelas seraut wajah putri sulung Ayah Juna itu. Semakin diperhatikan, kenapa semakin lucu dan menggemaskan? Tingkahnya yang gugup dan malu-malu membuat Renjana rasanya ingin segera merengkuh tubuh kecil itu dalam dekapannya. “Mau memang?” Renjana menautkan kedua alisnya sambil menahan senyum, dan dia bisa melihat Sera semakin memeluk erat selimutnya. “Ma…lu …Mas …” Bisiknya dengan nada mencicit, wanita itu sontak menunduk untuk memutus kontak mata mereka. Renjana menggigit bibirnya, dan tangannya dengan lancang terulur untuk mengusap rambut Sera yang sejak tadi hanya bisa dia pandang. Ternyata rambutnya benar-benar halus, dan kini dia bisa mencium aroma strawberry dari rambut itu saat jarak mereka begitu dekat. “Mas,kan, tanyanya mau atau tidak, bukan malu atau tidak. Atau kamu malu-malu tapi mau?” Kali ini Renjana tidak bisa menyembunyikan kekehan kecilnya. “Aku … Eum … Aku …” Sera gelagapan, lelah sekali hatinya terus kebat-kebit menghadapi suaminya. “Jangan tertekan seperti ini, Dek. Yang kamu ajak bicara ini suami kamu, bukan musuh kamu. Sejak di pelaminan tadi kamu itu terus terlihat tegang dan tertekan saat berhadapan dengan Mas.” Sera langsung mendongak mendengar itu dan refleks menggigit bibirnya. Masnya tertawa lagi sambil mencubit kecil pipi Sera. “Sudah. Kasihan jantung kamu terus merasa tertekan. Mas tidak akan memintanya jika kamu belum siap, dan tanpa kamu bilang, ekspresi dan tatapan kamu sudah memberikan jawaban. Lagian, Mas lebih menghargai perasaan kamu dan hubungan ini.” Sera diam-diam menghela napasnya lega, namun jantungnya kembali dikejutkan seperti ada letupan kembang api saat mendengar tutur kata masnya. “Kita lebih butuh untuk saling mengenal sebelum akhirnya melangkah lebih jauh pada hal-hal yang lebih intim. Dan jangan berpikir jika Mas tidak normal dan tidak memiliki hasrat saat ada wanita cantik yang halal untuk Mas tiduri.” Sera mengulum bibirnya dan menelan ludahnya kelu. Memang itu tanya yang sempat mampir tadi. Apakah dirinya tidak menarik sehingga Mas Renjana tidak meminta hak secepatnya? Bukankah pria paling sulit mengendalikan hawa napsu? “Mulai malam ini kamu menjadi godaan terbesar untuk Mas, tapi Mas akan menahan diri sampai kamu rela dan merasa nyaman dengan Mas. Jadi jangan mengkhawatirkan apa pun apalagi sampai tertekan. Kamu bisa tidur nyenyak malam ini.” Renjana tersenyum hangat, menaikkan selimut untuk Sera. “Tidurlah, hari ini sangat panjang dan melelahkan, juga sempat menyakiti kamu, kan? Kamu butuh banyak istirahat juga menenangkan pikiran. Jangan membebani diri dengan pernikahan kita, kamu cukup menjalaninya saja. Berada pada garis seorang istri yang memahami marwahnya, pun dengan Mas yang juga akan melakukan hal yang sama.” Renjana menepuk-nepuk puncak kepala Sera sambil memejamkan matanya. Melihat masnya yang bahkan tetap berbaring miring menghadapnya membuat Sera tidak berkutik. Dia tidak mungkin tidur memunggungi suami yang super pengertian seperti Mas Renjana, kan? Alih-alih menuruti ucapan suaminya untuk tidur, Sera justru sibuk mengamati wajah sang suami, yang dalam jarak begitu dekat, dia bisa melihatnya lebih jelas. Mas Renjana memiliki wajah tampan di atas rata-rata, jika Sera harus memberikan penilaian, maka 9/10 adalah nilai yang tepat untuk masnya. Dan jika ada survey untuk ketampanan sang suami, Sera yakin 10 dari 10 wanita akan setuju mengatakan Mas Renjana itu tampan. Wajahnya terpahat dengan sempurna dengan rahang yang tegas, alis yang tebal dan hidung yang mancung, semua itu terbentuk sangat proporsional dengan bentuk wajahnya. Tulang pipinya yang menonjol membuat garis rahangnya terlihat sempurna, jakunnya yang naik turun memberikan kesan seksi, apalagi setiap bicara, Sera memperhatikan jakun itu naik turun teratur. Bukan hanya tampan, namun Mas Renjana juga memiliki aura dominan yang kuat, Sera pun merasakannya sejak awal, namun dominannya bukan untuk menunjukkan kuasa dan sikap otoriternya. Sikap dominannya justru membuatnya terlihat lebih berwibawa, dewasa dan memiliki kharisma, yang membuatnya bisa dengan mudah berbaur, dan jika dia menjadi pemimpin, dia akan menjadi sosok yang disegani dan dihormati namun dengan cara yang hangat oleh orang-orang di bawahnya. Mereka yang bekerja padanya akan merasa senang memiliki jenis pemimpin yang sifatnya seperti itu. Sera jadi penasaran, apa pekerjaan suaminya dan bagaimana kehidupannya selama ini? Rasanya dia tidak sabar untuk bisa bertemu hari esok dan menanyakan lebih banyak tentang sosok suami yang membuatnya kagum. Dan Sera langsung terperanjat hingga tubuhnya mundur ke belakang saat melihat Mas Renjana tiba-tiba membuka mata. Dia seperti pencuri yang tertangkap basah. “Tidur, Dek. Kamu memiliki banyak waktu untuk mengamati wajah Mas besok lagi.” Ucap Renjana dengan senyum yang tersungging di sudut bibirnya, dan pria itu sudah kembali memejamkan mata, meninggalkan Sera yang masih dibuat terkejut dan malu karena ketahuan menikmati wajah tampan masnya. Jantungnya kembali berdetak brutal tak terkendali di dalam sana. Bagaimana bisa dia tidur nyenyak jika seperti ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD