Bab 2 | Bukan Pernikahan Kontrak

1711 Words
Sisa-sisa isak tangis itu masih terdengar di bridal room, sang mempelai wanita masih menangisi nasib tragisnya di hari pernikahan. Ibunya setia menemani dan menguatkan di sana. “Sera salah apa, ya, Ibu, pada Mas Galih? Bagaimana bisa dia setega ini pada Sera? Hubungan kami baik-baik saja padahal.” Napasnya tersengal-sengal, menunggu keputusan ayahnya yang sedang berbicara dengan pria asing yang tiba-tiba datang dan menawarkan diri untuk menjadi suaminya. Pria itu adalah harapan terakhirnya, yang bisa menyelamatkan dia dari bencana hari ini. “Bukan Kakak yang salah. Artinya Galih memang tidak pantas mendapatkan putri Ibu yang berharga ini.” Sheya menggenggam tangan sang putri dan mengusap air mata Sera yang sudah merusak total riasannya. Naira, adik satu-satunya mendekat dan kembali mendekap kakaknya tanpa kata. Dalam hati dia berjanji akan meninju tanpa ampun jika bertemu pria brengsekk itu. “Kakak belum kenal pria yang tadi, loh, jika masih saudara jauh si Galih, takutnya kelakuannya sama, Kak. Naira tidak ikhlas melepas Kakak pada pria seperti itu.” Adiknya mulai menyuarakan kegelisahannya, Sera yang mendengar itu tersenyum disela isak tangisnya. “Kamu tidak boleh menyamakan seseorang hanya karena hubungan darahnya, dia yang tiba-tiba datang dan ingin membantu saja menunjukkan jika dia berbeda dengan Mas Galih.” Ucap Sera dengan pikiran positifnya, dan itu membuat Naira mendengus. Kakaknya itu terlalu mudah berprasangka baik pada orang, ujungnya dia sendiri yang tersakiti. Kadang Naira jadi gemas sendiri. “Kakak serius? Jika Ayah menerima usulannya, Kakak mau menikah dengannya? Ini pernikahan, loh, Kak. Bukan permainan yang bisa dicoba-coba.” Ibunya kembali membujuk, meminta sang putri memikirkan sebaik mungkin sebelum memutuskan. Sera menyusut air matanya sambil menatap nanar ke arah ibunya. “Bahkan jika Ayah tidak setuju setelah mereka berbicara, Sera akan memohon pada Ayah, Ibu. Ini hidup Sera, Ibu. Sera yang akan menjalaninya. Sera akan bertanggung jawab dengan keputusan Sera seberat apa pun itu nantinya.” Mendengar keputusan final sang putri yang sejak awal begitu teguh membuat Sheya akhirnya menghela napas panjang. Jika sudah begini, maka yang bisa dia lakukan hanyalah melangitkan doa, sambil terus memastikan kondisi sang putri untuk hari-hari setelahnya. Pintu yang kembali diketuk membuat Naira langsung beranjak dan membukanya. Ayahnya datang dengan pria asing yang langsung berubah status menjadi calon kakak iparnya. “Ayah sudah berbicara dengan Renjana. Ayah menyetujuinya, tapi semua keputusan ada di tangan kamu. Renjana ingin berbicara berdua dulu dengan Anas. Ayo keluar.” Arjuna mengajak istri dan putri bungsunya itu keluar, meninggalkan Sera yang kini berdiri berhadapan dengan pria asing yang wajahnya begitu meneduhkan. Pria itu tersenyum sambil mengulurkan tangannya. “Renjana Harsa Amerta.” Ucapnya memperkenalkan diri. Sera balas mengulum senyum sambil menyambut uluran tangan itu dengan sedikit gemetar, pun jejak air mata masih tersisa di wajah cantiknya. “Anasera Kalea Wiratama.” “Aku sudah berbicara dengan ayah kamu dan beliau menyetujui pernikahan kita. Tapi, sebelum kamu memutuskan untuk menerimaku sebagai seseorang yang akan mengucap akad kepada ayah kamu. Ada hal-hal yang ingin aku utarakan, dan jika kamu tidak keberatan, kita bisa melanjutkan pernikahan.” Sera yang mendengar itu refleks menggigit pipi bagian dalamnya, jantungnya langsung berdegup cepat. Apa ini semacam perjanjian? Kontrak pernikahan, mungkin? Apa yang membuat ayahnya menyetujui pria ini untuk menjadi suami dadakannya? Padahal tadi, kan, Ayahnya sangat menentang keras. Apa yang mereka bicarakan hingga ayahnya memberikan restu pada pria asing ini? Renjana yang melihat kening Sera mengernyit-ngernyit kembali mengulum senyumnya. “Bukan ... Bukan kontrak pernikahan, karena aku tidak ingin mempermainkan sebuah pernikahan, bukan perjanjian juga … lebih kepada kesepakatan, tapi tidak tau jika kamu menganggap kesepakatan sama dengan perjanjian.” Sera diam-diam mendesah dalam hati. Bagaimana bisa pria ini membaca pikirannya? Jangan-jangan memang memiliki indra ke enam? Kepalanya kembali berisik dengan asumsinya sendiri seperti kebiasaannya selama ini. “Apa, itu, Mas?” Tanyanya dengan terbata, dan Renjana tersenyum mendengar panggilan dari wanita malang yang ditinggalkan oleh Galih. “Seperti yang aku katakan tadi, aku tidak ingin mempermainkan sebuah pernikahan. Jadi, saat akad sudah terucap dan kita benar-benar terikat dalam ikatan pernikahan yang suci. Kamu tidak boleh meminta perceraian kecuali aku tidak menunaikan kewajiban dan tidak memenuhi hak-hakku sebagai suami kepada kamu.” Sera yang mendengar itu menelan ludahnya kelat, dadanya bergemuruh hebat, tapi ada rasa hangat atas apa yang terucap dari pria yang terlihat begitu tenang dan dewasa pembawaannya. “Baik aku maupun kamu, setelah hari ini, akan pelan-pelan menerima status kita sebagai suami-istri, mencoba menjalani rumah tangga sambil mengenal satu sama lain. Jika ada ketidak cocokan, kamu bisa mengutarakannya, dan aku pun akan melakukan hal yang sama. Dalam hubungan dua arah ini, kita harus saling memahami juga memberi ruang. Intinya, aku menganggap serius pernikahan ini.” Tatapan Renjana terasa menyesatkan bagi Sera, dia seolah terombang-ambing pada perasaan yang tidak dia pahami. “Kamu setuju dengan itu? Atau kamu memang memikirkan tentang pernikahan kontrak? Jika niat kamu seperti itu sejak awal, maka aku tidak bisa melanjutkan ini.” Sera yang mendengar itu langsung menggeleng kuat, namun selanjutnya mengangguk cepat. Renjana yang melihat itu mengulum senyum tipis dengan tingkah wanita yang akan menjadi istrinya itu. “Aku ... setuju, Mas.” “Tapi ada satu pengecualian.” Bisik Renjana lagi, membuat kening Sera mengernyit sempurna. “Apa?” “Dilarang jatuh cinta padaku….” Bisiknya begitu lirih namun kembali membuat Sera kebingungan. “Kenapa?” Sera mempertanyakan lebih dulu di saat Renjana bahkan belum menyelesaikan kalimatnya. “Bisa kamu perjelas dengan arti tanya kamu?” Renjana tetap terlihat tenang, eye smile-nya begitu memikat, dan itu membuatnya terlihat lebih tampan. “Aku… tidak ... mengerti. Mas bilang ingin menjalani pernikahan ini dan sangat menghindari perceraian, ingin menjalankan hak dan kewajiban sebagai pasangan, saling mengenal satu sama lain dan mengomunikasikan tentang diri masing-masing. Jika tidak boleh jatuh cinta, lalu ke mana muara pernikahan ini ingin Mas bawa?” “Tapi, cinta bukan menjadi faktor utama untuk menjalani sebuah komitmen, kan?” “Memang. Tapi cinta bisa menguatkan dan membuat kita memilih bertahan jika mendapat ujian.” Renjana kembali tersenyum begitu meneduhkan, dan Sera merasa perihal tidak boleh jatuh cinta pada pria itu adalah hal yang sulit, karena di pertemuan pertama mereka saja pria itu sudah begitu mengagumkan. “Tadi aku belum selesai bicara.” “Maaf?” “Aku melarang kamu jatuh cinta padaku, karena aku yang harus jatuh cinta pada kamu terlebih dahulu.” Sera kembali mengerjap bingung, namun senyum Mas Renjana membuatnya kelimpungan. “Kenapa begitu?” “Karena selama aku menjadi suamimu, sedang aku belum mencintaimu, aku hanya akan bertanggung jawab sebagai suami, dan tentang perasaan cinta kamu, itu diluar tanggung jawabku. Sampai sini paham?” Sera sebenarnya belum paham ke mana arah pembicaraan mereka, namun kepalanya tetap mengangguk sambil menunggu ucapan Mas Renjana selanjutnya. “Jika kamu mencintaiku sendirian sedang aku belum bisa bertanggung jawab pada perasaan kamu, maka kamu akan rawan terluka. Aku tidak mau itu terjadi. Jadi, kamu harus berjanji untuk tidak jatuh cinta padaku sampai batas waktu aku berhasil jatuh cinta pada kamu.” Kenapa terdengar rumit sekali? Tapi, tujuan pria itu nyatanya tidak ingin Sera terluka. Ah, bagaimana ini? Kenapa pipi Sera terasa panas sekarang? “Bagaimana jika aku gagal, Mas?” Tanya Sera dengan nada yang tidak yakin. “Makanya, ini aku meminta kamu berjanji dulu. Jika kamu sudah berjanji, kamu pasti akan mengusahakan dan membentengi hati kamu untuk tidak jatuh cinta padaku. Kamu akan mensugesti jika semua yang kulakukan hanya sebatas tanggung jawab sebagai suami. Bisa berjanji padaku?” Sera menahan napasnya, namun pada akhirnya dia mengangguk kaku. Masalah cinta dan perasaan lainnya bisa dia pikirkan nanti, yang terpenting dia menikah dulu hari ini dengan pria yang di pertemuan pertama saja membuat hatinya kalang kabut dengan rasa yang tidak dia pahami. “Jadi kamu setuju dengan dua hal yang aku ajukan? Tidak ada perceraian selama peranku sebagai suami terpenuhi dan kamu tidak akan jatuh cinta lebih dulu padaku?” Sera mengangguk lagi. “Aku …. setuju, Mas.” Bisik Sera membuat senyum Renjana semakin lebar. Padahal masih banyak tanya dalam benak yang ingin Sera utarakan, namun mereka tidak memiliki waktu karena akan membuat tamu menunggu lebih lama. Pun hatinya yang masih terluka dengan kepergian calon suaminya yang tiba-tiba, belum lagi pertanggung jawaban dari orang tua Mas Galih benar-benar nol besar. “Ya sudah. Aku akan bersiap dan kamu juga perlu merapikan riasan kamu. Eummm …. sebentar …” Renjana tampak mencari sesuatu. Lalu, dia melihat ada beberapa jenis tiara di box asesoris milik penata rias. Renjana lalu mengambil salah satunya, lalu mengeluarkan dompet dan mengambil beberapa lembar ratusan ribu, meletakannya di tempat tiara itu. Seolah dia ingin membeli tiara itu, atau lebih tepatnya memberikan uang ganti rugi karena dia membutuhkan tiaranya. Renjana membalikkan badannya, dengan tangan yang sibuk mengurai rangkaian kawat lunak dari tiara tersebut. Dengan jari jemarinya yang cekatan, dia mengambil satu kawat panjang itu lalu menguntainya hingga membentuk lingkaran sederhana sebuah cincin. Sera yang melihat itu terdiam, namun jantungnya kembali berdentum keras, saat simpul cincin dari untaian kawat itu selesai dibuat, dia bisa melihat Mas Renjana kembali tersenyum padanya. “Anasera Kalea, dengan ini Mas mengikat kamu, dalam ikatan yang sah, halal, dan suci sebuah pernikahan. Mas akan mengambil seluruh tanggung jawab orang tua kamu dalam mencukupi kehidupan kamu, membahagiakan kamu, dan menjaga kamu sebaik-baiknya. Apa kamu yakin mau menerima Mas sebagai suami kamu?” Sera langsung meneteskan air matanya, dan kepalanya mengangguk cepat dengan air mata yang jatuh semakin banyak, namun kali ini bukan air mata kesedihan, namun rasa haru karena dia dilamar dengan cara yang tak terduga namun justru menyentuh hatinya. “Aku menerima Mas Renjana sebagai suamiku dan akan berbakti pada Mas sebagai istri yang akan menjaga martabat dan kehormatannya.” Bisiknya lirih dengan helaan napas yang lega, apalagi saat melihat senyum kecil kembali tercipta di bibir calon suaminya. Renjana lalu meraih tangan mungil Sera dan melepas cincin yang sudah melingkar di jari manis Sera, lalu mengganti dengan cincin seadanya yang baru saja dia buat. “Maaf, ya? Cincinnya tidak cantik, nanti Mas ganti dengan yang lebih layak.” Sera mengangguk lagi dengan rasa haru yang membuncah. “Ini cantik. Aku menyukainya, Mas.” Bisiknya, karena bagaimana pria itu melamarnya bahkan dalam keadaan mereka yang masih asing lebih bernilai dari apa pun. Sekali pun mereka akan menikah dalam keadaan yang serba mendadak, pria itu tetap tau bagaimana cara menyenangkan hatinya dan menyuapi egonya sebagai seorang wanita yang ingin diperlakukan dengan romantis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD