“Sera ditinggalkan, Ibuuu … Sera ditinggalkan.”
Isakan lirih itu perlahan terdengar memilukan, air matanya berlomba-lomba jatuh untuk merusak riasan yang telah sempurna di hari paling bahagianya.
Seharusnya…
Seharusnya menjadi hari paling bahagia, sebelum kabar paling mengerikan itu datang.
Dia ditinggalkan oleh calon suaminya tanpa alasan, tanpa kabar, tanpa persiapan.
Pria jahat itu menghilang begitu saja tanpa diketahui oleh siapa pun, bahkan keluarganya sendiri.
Sang ibu yang melihat kehancuran di hari bahagia putrinya langsung memeluk sang putri dengan begitu erat, hatinya sama hancurnya melihat keadaan sang putri yang begitu menyedihkan.
Hari yang seharusnya disambut dengan tawa bahagia justru berubah menjadi hari berlinang air mata.
Tidak menyangka jika putrinya dihancurkan di hari yang sakral ini.
Ayahnya berdiri di sana dengan rahang yang mengetat, tatapannya menggelap melihat bagaimana putri yang dia besarkan dengan cinta dan kasih sayang harus dihancurkan sehebat ini.
“Sera tidak mau menanggung aib ini, Ibuuu … Sera tidak mau. Sera tetap mau menikah hari ini. Sera tidak mau menanggung malu apalagi menjadi gunjingan keluarga besar. Sera tidak mau. Tolong Sera, Ibuuuu.”
Tangisnya semakin tergugu, seiring dengan permintaannya yang begitu menyayat hati sang ayah.
Hati ayahnya hancur mendengar permintaan yang disertai isak tangis paling menyedihkan yang pernah dia dengar sepanjang hidup sang putri.
“Ayah lebih ikhlas kamu batal menikah hari ini daripada harus melihat kamu menikah dengan laki-laki yang salah, Anasera!”
Ucapan Ayahnya yang begitu tegas membuat tangis Anasera semakin keras.
“Tidak mau, Ayah! Anas ingin tetap menikah hari ini! Apa pun yang terjadi! Anas harus menikah hari ini! Anas tidak sanggup menanggung aib ini seumur hidup. Menjadi pengantin yang ditinggalkan menjelang akad. Anas tidak mau memiliki aib mengerikan seperti itu, Ayah!”
Sang mempelai wanita itu kini beranjak dan mendekat ke arah ayahnya. Lalu berlutut dan mencengkram kuat celana ayahnya.
Bersimpuh dengan gaun pengantin yang sudah kusut di sana-sini.
“Tolong, Anas, Ayah. Tolong Anas. Anas tetap harus menikah hari ini! Siapa pun mempelai prianya Anas siap.” Pintanya dengan nada mengiba begitu putus asa.
“Mudah sekali mulut kamu mengatakan siap?! Ini pernikahan, Anasera! Bukan permainan yang bisa kamu pilih sesuka hati tanpa pertimbangan!”
Ayahnya menghela napas kasar, lalu menarik putrinya itu untuk berdiri, dan meremas bahu sang putri dengan tatapan sendu.
Sebagai seorang Ayah, dia juga hancur dengan apa yang terjadi pada putrinya, namun dari semua kehancuran yang terjadi hari ini, yang ingin dia lakukan adalah menyelamatkan sang putri dari langkah kehidupan yang salah.
“Ayah lebih rela kamu gagal menikah hari ini dari pada harus menyerahkan kamu pada laki-laki yang salah, yang tidak mencintai kamu dan tidak bisa menjamin kebahagiaan kamu.”
Dia berujar dengan nada tegas seolah tidak ingin dibantah. “Lebih melegakan bagi Ayah menanggung hal yang kamu bilang aib ini dari pada Ayah harus melihat kamu hancur di tangan laki-laki asing yang tidak mencintai kamu.”
Ayahnya kembali menegaskan, tetap teguh pendirian, lalu menatap kepada sang istri yang juga mengangguk tanda setuju.
Sang Ibu langsung kembali mendekat dan merangkul putrinya.
“Sayang … Ibu juga setuju dengan Ayah. Kamu tidak menanggung ini sendirian. Ada Ayah dan Ibu, Oma dan Opa, yang pasti setuju dengan keputusan kami. Tidak apa-apa, ya, batal menikah hari ini? Dari pada putri ibu yang berharga ini menikah dengan orang yang salah. Ibu dan Ayah sangat mencintai Kakak. Tidak mungkin kami melepaskan Kakak pada orang asing. Ini bukan aib, sayang. Bukan. Biar Ayah yang mengurusnya, ya?”
“Ayah tidak akan membiarkan satu orang pun membicarakan kamu setelah hari ini.”
“Anas tau, Ayah. Anas tau Ayah bisa membungkam mulut mereka, tapi tetap saja, tatapan dan cemoohan mereka di belakang punggung Anas tidak akan bisa hilang. Anas akan tetap dicap sebagai wanita menyedihkan yang ditinggalkan di hari pernikahan.”
“Lebih baik kamu dicap sebagai wanita menyedihkan daripada kamu menjalani hidup menyedihkan setelah menikah! Itu lebih mengerikan, sayang. Ayah tidak ingin putri Ayah hidup dengan laki-laki yang salah.”
Air mata ayahnya jatuh, tangannya terulur untuk mengusap puncak kepala sang putri.
“Tidak apa-apa, kita batalkan saja, ya? Ayah ikhlas. Apa pun omongan orang, seburuk apa pun kamu menganggap ini sebagai aib. Ayah dan Ibu akan baik-baik saja, kamu jangan merasa terbebani. Ayah dan Ibu ada untuk kamu dan kamu tidak menanggung ini sendirian.”
Nada suara ayahnya kembali melembut, namun Anasera tetap menggelengkan kepalanya dan kembali terisak.
“Mudah bagi Ayah mengatakan seperti itu! Tapi ini hidup Anas, Ayah! Anas yang menjalaninya! Anas yang tetap akan merasa malu seumur hidup jika hari ini benar-benar gagal menikah! Tolong mengertilah, Ayah! Anas yang harus menghadapi dunia yang akan menertawakan Anas atas kegagalan ini!”
Nyatanya, sang mempelai pun tetap keras kepala jika pernikahan yang sudah direncanakan harus tetap terjadi hari ini.
“Sera harus tetap menikah hari ini, Ibu. Sera mau menikah hari ini. Tolong Sera, Ibuuu … Sera tidak mau gagal menikah.”
Kini dia menggenggam tangan sang ibu untuk meminta dukungan.
Sang ibu justru menatapnya prihatin sambil menggelengkan kepalanya tanda tidak menyetujui permintaan Sera.
Adik satu-satunya, yang menyaksikan kehancuran kakaknya di hari pernikahan itu langsung ikut mendekat dan memeluk kakaknya.
Menangis dalam diam atas nasib buruk sang kakak karena pria bajingann yang dengan tega meninggalkan kakaknya tanpa kata di hari pernikahan.
Hingga suara ketukan pintu di bridal room itu memecah kemelut emosi yang sedang dihadapi keluarga sang mempelai wanita.
Oma Kinnas dan Opa Garvi datang, tadi keduanya sedang mengatur hal-hal di luar supaya menjaga kondisi tetap kondusif.
Isak tangis Sera masih menjadi melodi yang menyayat hati bagi siapa pun yang masuk ke ruangan itu.
Oma Kinnas langsung memeluk cucunya dengan erat dan menenangkannya meski itu tidak mengubah apa pun.
“Bagaimana keluarga Galih, Pa? Sudah ada yang datang?”
Opa Garvi langsung menggeleng dengan helaan napas yang panjang, raut wajahnya mengandung amarah.
“Tidak ada. Mereka hanya mengabarkan lewat ponsel satu jam yang lalu dan mengatakan masih terus berusaha mencari Galih tanpa ada satu pun perwakilan yang mau datang untuk langsung menghadapi situasi ini. Memang kurang ajar!” Desis Papa Garvi dengan tangan yang mengepal kuat.
Sedang Rahang Juna mengetat sempurna mendengar itu. Setelah ini, dia akan membuat perhitungan pada mereka, yang bahkan lepas tanggung jawab atas apa yang diperbuat oleh putra mereka.
“Benar-benar keluarga pengecut! Bagaimana bisa tidak ada satu pun yang berniat datang untuk sekedar meminta maaf?”
Juna mendengus dengan helaan napas yang berat, menatap lagi pada putrinya yang masih menangis sesenggukan.
“Bagaimana sekarang, Pa? Sera tetap ingin menikah apa pun yang terjadi.” Oma Kinnas kembali mendekat pada suaminya dengan tatapan yang sudah berlinang air mata.
“Tidak! Opa tidak akan menikahkan cucu Opa dengan orang sembarangan! Kita bubarkan saja pestanya!” Ucap Garvi yang langsung beranjak dari sana.
“Opa! Jangan! Nanti dulu! Tolong!” Sera kembali berteriak histeris sambil menggelengkan kepalanya dengan wajah yang panik dan menahan opanya yang sudah akan membubarkan tamu undangan.
“Sayang …” Ibunya kembali merangkul sang putri karena keputusan mereka sangat ditentang oleh Sera.
“Tolong Sera, Ibu … Ayah …. Sera tetap harus menikah hari ini! Sera sedang berusaha menyelamatkan aib keluarga kita! Dan Sera tidak akan menyesal menjalani kehidupan Sera setelah ini dengan siapa pun pria yang akan menjadi suami Sera! Tolong… Sera tidak mau menanggung malu seumur hidup!”
Sera tergugu dengan napas yang tersengal-sengal, tangis paling hebat yang pernah dia rasakan dengan d**a yang kini terasa sesak.
“Opa rela menanggung aib ini selama kamu tidak menikah dengan orang yang salah, Anasera! Berhenti memikirkan tentang aib!”
Opa Garvi menekankan kalimatnya, persis seperti yang ayahnya bilang, dan itu membuat Sera semakin frustasi.
“Kenapa? Kenapa tidak ada satu pun yang memahami perasaan Sera? Ibuuu … Tolong ….”
Kini Sera meraih tangan ibunya, memohon dengan sangat supaya ibunya berada di pihaknya. Namun, sekali lagi, gelengan sang ibu menjadi tangis kepedihan Sera jika dia memang harus menanggung aib ini seumur hidupnya.
Hingga mereka semua tersentak saat mendapati pintu yang diketuk dari luar.
Garvi yang paling dekat dengan pintu langsung beranjak untuk membukanya.
Dia melihat seorang pria yang berdiri dengan wajah yang menegang, wajah pria itu menyiratkan kekhawatiran begitu tatapannya tertuju pada mempelai wanita yang menangis hebat dalam pelukan sang ibu.
“Siapa kamu? Ada perlu apa?” Tanya Garvi dengan nada ketus dan tatapan yang tajam.
“Maaf …” Bisik pria itu dengan nada penuh sesal.
Sera yang mendengar suara asing itu langsung melepaskan pelukan dengan sang ibu.
“Saya Renjana, saudara jauh Galih, dan saya baru mendengar apa yang terjadi dalam perjalanan kemari. Saya tahu, saya bukan siapa-siapa, hanya bagian kecil dari keluarga yang mungkin tak sempat disebut di undangan. Tapi saya menemui bapak dan ibu bukan sebagai tamu…”
Tatapan sang ayah -Arjuna- langsung memicing dan menatap penuh penilaian pada pria yang tiba-tiba datang itu.
“Jika tidak keberatan, saya bersedia menjadi mempelai pria.”
Sera yang mendengar itu langsung membelalak dengan air mata yang kembali jatuh.
Sedangkan pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Renjana bisa melihat bagaimana ketegangan di ruangan itu.
"Jangan salah paham. Saya datang sebagai laki-laki yang tidak bisa membiarkan seorang perempuan dipermalukan karena keputusan sepihak orang lain. Tapi keputusan ini bukan karena perintah apalagi desakan keluarga. Bukan karena tekanan juga, ini murni dari hati saya. Namun jika tidak berkenan, maka saya akan pergi tanpa penyesalan, setidaknya saya sudah berusaha untuk mengulurkan tangan.”
Ucapannya terdengar begitu tenang, membuat nilai pria tampan yang memiliki rahang tegas dengan mata meneduhkan itu terlihat lebih mengagumkan.
Bukan hanya sekedar rupa tampan yang dimiliki pria itu, namun ketampanannya juga lahir dari ketenangan dan kedewasaan.
“Dan jika keluarga Wiratama berkenan dengan hal yang saya tawarkan, saya ingin bicara lebih dulu dengan ayah dari mempelai wanita.” Ucapnya lagi membuat Arjuna menarik napasnya panjang.
Arjuna menatap ke arah putrinya yang juga sedang menatap penuh permohonan padanya, dengan air mata yang berlinang sambil menganggukkan kepalanya. Membuat Juna benar-benar mengalami dilema besar.
"Ikut saya." Bisik Juna dengan nada yang berat.
Dan Renjana mengikuti langkah pria yang menginjak setengah baya itu namun masih terlihat begitu tampan dan gagah, tidak terlihat sedikit pun wajahnya menua karena usia.