Beberapa saat sebelumnya, di belahan dunia lain.
“Sayang, aku datang!” Evan Emirio, pria berusia 26 tahun yang seharusnya menikahi Nina itu berteriak nyaring saat memasuki sebuah apartemen di New York.
Seorang wanita berkulit sawo matang dengan mata cokelat terang keluar dari salah satu ruangan. Wajahnya sumringah, ia berlari kecil menghampiri pria itu.
“Ah, kangen!” desahnya senang.
Sepasang pria dan wanita itu berpelukan erat. Evan menciumi pipi kekasihnya, turun ke leher dan bahu. Sherly, gadis manis itu tertawa geli.
“Udah, ih! Geli!” tegurnya sambil terus menggeliat.
Evan menghentikan aksinya, namun tak melepaskan tangannya dari pinggang sang kekasih.
“Akhirnya kita bisa ketemu,” gumamnya lirih dan lega.
Sherly mengangguk, tersenyum makin lebar. “Iya. Ternyata kamu lebih ganteng dilihat langsung gini, ya?” pujinya tulus.
Mendengar kalimat pujian itu diucapkan oleh kekasih yang telah ia rindukan, Evan terkejut sekaligus senang. Ia langsung mendaratkan satu ciuman yang dalam dan panjang ke bibir kekasihnya. Sherly tersenyum, menyambut ciuman penuh kerinduan itu.
Semakin lama, ciuman itu berubah menjadi lumatan. Keduanya terbawa oleh nafsu yang dengan mudahnya meningkatkan suhu di sekitar mereka. Namun Sherly lebih dulu melepas ciuman ketika Evan sudah menuntut lebih.
“Laper nggak?” lirihnya.
“Iya. Tapi maunya makan kamu,” ucap Evan sambil terus berusaha mencium Sherly.
“Tunggu dulu!” Sherly tertawa, berusaha menghindar. “Aku udah masak pasta loh. Ayo makan dulu! Lagian kamu juga baru datang. Badanmu pasti capek. Kita makan dulu, isi tenaga, baru deh ehem… lanjutin yang tadi.”
Kedua netra Evan langsung berbinar-binar. “Oke deh, ayo!”
Sepasang kekasih itu langsung masuk ke dalam apartemen. Evan masuk ke kamar, sementara Sherly kembali ke dapur. Saat Evan datang tadi, ia memang sedang memasak.
Tak berselang lama, Evan sudah bergabung di dapur. Ia memeluk kekasihnya dari belakang, melingkarkan lengannya di pinggang ramping Sherly.
“Masak apa, Sayang?” bisiknya pelan. Ia menciumi pundak Sherly lembut, naik ke leher, menyesapnya pelan di sana.
Sherly mendesah, menggigit bibir. Sensasi dari hisapan Evan di lehernya membuat kewanitaannya berkedut.
Melihat reaksi Sherly, Evan tersenyum senang. Pria itu jadi semakin berani, menghisap leher Sherly di sisi yang lain. Berpindah ke tengkuk, menciumi dan menyesapnya kuat.
“Ah!” Sherly mendesah tertahan. Spatula di tangannya terlepas, berpindah pada meja daput, berpegangan. Kewanitaannya berkedut semakin kencang, menggelitik, memanas.
“Sayang, rugi nggak sih kalau nggak kita lanjutin?” Evan berbisik lagi.
“Tunggu dulu. Makan dulu dong,” ujar Sherly setelah bersusah-payah mengontrol diri.
“Tapi aku nggak tahan.” Evan merengek. Bahkan kini tangannya tak bisa diam. Terus meraba dan berusaha menerobos masuk ke balik pakaian Sherly. Hingga akhirnya, gadis manis itu membiarkan tangan Evan menjelajahi tubuhnya.
Sherly masih sibuk memindahkan pasta ke dalam piring untuk makan malam mereka. Sementara Evan juga sibuk menggerayangi permukaan tubuh Sherly.
Semakin lama, tangan Evan semakin berani. Kini tangan kanannya bahkan sudah berani meremas salah satu d**a Sherly. Membuat wanita itu memekik tertahan. Ditambah sesapan kuat di leher dan tengkuknya, Sherly sudah kehabisan cara untuk mengontrol diri. Ia juga menginginkan Evan untuk menyentuhnya lebih jauh dari ini.
Wanita itu berbalik, membuat Evan menyeringai penuh kemenangan. Keduanya langsung menautkan bibir mereka. Saling menyesap, saling melumat, saling menjelajahi rongga mulut masing-masing. Suara desahan keenakan kini telah memenuhi langit-langit dapur apartemen itu.
“Hup!” Sherly memekik tertahan ketika tubuhnya diangkat oleh Evan. Ciuman mereka terlepas sejenak. “Kamu kuat juga, ya?” pujinya dengan nada sensual.
Evan menyeringai semakin lebar. “Aku juga kuat di atas ranjang, Sayang.”
“Kalau begitu, buktikan! Aku nggak akan cukup main satu ronde aja loh,” tantang Sherly dengan bibir yang sudah bengkak.
Mendengar itu, Evan jadi semakin beringas. Begitu tiba di kamar, pria itu langsung menjatuhkan Sherly ke kasur. Ia melepas pakaiannya sendiri, kemudian melepas pakaian Sherly dengan kasar. Lantas pria bertubuh atletis itu segera mengungkung tubuh ramping Sherly di bawah tubuhnya.
“Wah, badan kamu juga bagus.” Sherly menelan ludah, meraba d**a Evan yang berada di depannya.
Evan tersenyum puas. Tak percuma ia selalu ikut kakaknya setiap kali latihan gym. Otot-otot di tubuhnya jadi terbentuk dengan baik.
“Yang di bawah juga bagus,” lirih Evan sembari menekankan kejantanannya yang sudah tegak berdiri ke kewanitaan Sherly.
“Uh!” Sherly memekik pelan. Kejantanan Evan menyentuh tepat ke kewanitaannya yang masih tertutup celana dalam. Keras, hangat, dan besar. Wanita itu jadi tak sabar ingin segera mencicipinya.
Tak butuh waktu lama, pergumulan itu semakin lama jadi semakin intens dan panas. Kini tak ada sehelai benang pun yang tersisa di tubuh mereka. Lenguhan dan desahan nikmat terdengar begitu ramai di dalam kamar itu.
“Sayang, aku masukin, ya?” ucap Evan tak tahan.
“Sebentar.” Sherly bangkit. “Kamu tiduran,” perintahnya kemudian.
Evan menurut, merebahkan diri di atas kasur dengan kejantanan teracung. Sherly menelan udah. Itu ukuran yang cukup besar jika dibandingkan dengan orang Asia pada umumnya. Karena selama ini, Sherly lebih sering berhubungan dengan orang kulit putih yang baginya lebih bisa memuaskannya. Namun sepertinya Evan pengecualian.
Wanita itu mengambil sebuah karet lateks dari nakas, ia punya banyak di sana. Memasangkannya ke kejantanan Evan yang sudah berkedut ingin segera mencari sarang. Lantas wanita itu mengangkangi tubuh Evan, perlahan-lahan menggiring milik Evan memasuki kewanitaannya.
“Ah!” Sherly memekik, memejamkan mata, menggigit bibir demi sensasi luar biasa ketika milik Evan memasuki tubuhnya.
Evan segera meraih pinggang Sherly, menggerakkannya dengan kedua tangan. Namun Sherly segera menepis lengan sang pria.
“Biar aku yang memimpin,” ucapnya tegas.
Maka detik berikutnya, tubuh Sherly sudah bergerak ritmis di atas tubuh Evan. Sementara tangan Evan sibuk meremas milik Sherly yang berada tepat di hadapannya.
Sepasang kekasih itu bermain untuk waktu yang cukup lama dengan Sherly yang memegang kendali penuh. Hingga akhirnya, keduanya mencapai titik tertinggi dalam kenikmatan permainan itu. Evan dan Sherly melenguh bersamaan, tubuh mereka menegang, keduanya telah mencapai pelepasan pertama mereka.
Sherly terkulai di atas tubuh polos Evan. Evan segera merengkuh kekasihnya ke dalam pelukan, mencium puncak kepala Sherly.
“Suka?” tanyanya lirih.
Sherly mengangguk sebagai jawaban. Ia kehabisan tenaga, bahkan untuk bicara pun tak mampu.
“Gimana? Masih sanggup lanjut ronde dua?” goda Evan.
Sherly mendelik. “Besok aja deh. Habis ini makan dulu, terus tidur. Capek, Sayang. Emang kamu nggak capek habis perjalanan belasan jam?”
Evan menggeleng. “Aku kan bisa tidur di pesawat.”
Sherly berpindah ke sisi Evan, menutupi tubuh mereka yang polos dengan selimut.
“Anyway, kenapa kamu tiba-tiba mau ke sini? Bukannya sebelum-sebelumnya kamu selalu bilang akhir tahun ini mau ke New York? Ini kan belum akhir tahun.”
Evan menghembuskan nafas pelan. “Aku dijodohkan oleh orang tuaku.”
“Oh ya?” Kedua netra Sherly terbelalak. “Masih ada yang begitu jaman sekarang?”
“Masih. Tapi tentu ada alasan khusus kenapa aku dijodohin. Katanya sih buat menyelamatkan bisnis papa yang terancam bangkrut.”
“Terus kamu nggak mau dan akhirnya kabur ke sini?” Sherly menebak.
“Iya. Aku kan udah punya pacar yang cantik dan seksi begini, mana mau aku sama anak ingusan kayak dia.” Evan mendengus pelan, teringat saat pertama kali mengetahui bahwa wanita yang dijodohkan dengannya adalah Kanina Adriana.
“Oh, perjodohan antara keluarga konglomerat, ya?”
Entah kenapa, ada nada sinis dalam kalimat Sherly barusan.
Evan tak menanggapi, ia sibuk memandangi wajah kekasihnya yang baginya sangat menawan.
“Kamu bilang keluargamu punya bisnis ekspedisi kan? Terus apa bisnis keluarga yang mau dijodohkan sama kamu itu?”
“Ekspor-impor,” jawab Evan pendek.
“Cocok, sih. Pantes aja kalian dijodohin.” Sherly tertawa.
“Tapi aku tetep milih kamu kok, Sayang.” Evan mengecup bibir Sherly sekilas.
“Iya iya. Oh ya, emang siapa keluarga yang mau dijodohkan sama kamu? Aku punya banyak nasabah orang Indonesia yang kekayaan mereka didapat dari bisnis ekspor-impor loh.”
“Donny Adrian. Kamu tahu nggak?”
“Siapa?!” Sherly mendelik.
“Donny Adrian, Sayang. Pasti kamu nggak tahu deh.”
Sherly mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Bukan ia tak tahu nama itu, justru ia amat sangat mengenali nama itu. Donny Adrian. Sebuah nama yang meski ia pindah ke New York pun seolah tetap mengikutinya.