Bab 14. Joging Bareng

1125 Words
Pukul 6 pagi keesokan harinya, seperti biasa Ryan bersiap-siap untuk joging di sekitar hotel. Ia sempat berpapasan dengan Nina yang mengambil air di dapur. Namun istrinya itu hanya melengos. “Kamu mau titip sesuatu buat sarapan? Soalnya bu Yati nanti agak telat datangnya, jadi nggak bakal ada yang masak buat sarapan. Bu Yati izin bantu-bantu tetangganya yang ada hajatan,” jelas Ryan sembari mengenakan smartwatch di pergelangan tangannya. “Nggak usah. Gue ke kampus jam 7, mau sarapan di kampus aja,” sahut Nina ketus. “Oh, oke. Jangan lupa nanti bikin kartu di bawah. Aku udah bilang pak Bayu, staf di kantor manajemen.” “Ya.” Karena tak ada lagi yang perlu dibicarakan, Ryan pun bergegas keluar dari apartemen. Tepat ketika ia menutup pintu apartemen, pintu di unit depan juga terbuka. Sherly keluar dari sana, mereka pun saling tatap sejenak. “Loh, kamu tinggal di sini?” sapa Sherly, pura-pura kaget. “Iya. Kamu?” “Aku di sini.” Sherly menunjuk pintu di belakangnya. “Kebetulan banget ya bertetangga hadap-hadapan gini.” Ia tertawa kecil. Ryan tak menanggapi, ia mengikat tali sepatunya yang kurang erat. “Kamu mau joging?” Sherly bertanya lagi. “Iya.” Kedua netra kecokelatan milik Sherly membulat, ia tertawa lagi. “Banyak banget kebetulannya, aku juga mau joging. Bareng yuk? Sekalian beritahu aku rute joging kamu biasanya. Aku masih baru di sini, nggak enak joging sendirian, nggak tahu rutenya.” Ryan diam, menimbang. Kemudian ia mengangguk. “Ya udah, ayo!” Sherly tersenyum lebar. Ia bersorak girang dalam hati, segera mengekor Ryan yang berjalan lebih dulu. Tatapan Sherly tak bisa lepas dari punggung lebar Ryan yang bergerak mengikuti irama langkah pria itu. Ia melipat bibir, membayangkan betapa hangatnya punggung itu jika dipeluk dari belakang begini. Sherly menggigit bibir, gejolak dalam dirinya menggelegak seketika. Ia telah memutuskan bahwa dirinya benar-benar tertarik pada pria itu. Pria tampan dengan tubuh menawan yang tinggal di depan apartemen yang ia sewa. Begitu keluar dari lobi, Ryan langsung berlari kecil ke arah kanan. Sherly mengikuti. “Kamu biasa joging tiap hari?” Wanita itu mulai membuka obrolan sambil terus berlari menyamakan kecepatan dengan Ryan. “Iya. Kecuali weekend sih. Kamu baru pindah kan? Sebelumnya di mana?” “Di New York.” “New York?” Ryan menaikkan alisnya, sedikit terkejut. Sherly mengangguk. “Ngapain di sana? Kerja?” Ryan mulai terlihat penasaran dengan latar belakang Sherly. Membuat wanita itu semakin bersorak dalam hati. “Kuliah terus kerja.” “Wah, berarti udah lama dong di sana?” Sherly mengangguk. “Sekitar… lima tahun.” “Lama juga. Terus kenapa pindah ke sini?” “Ibuku meninggal. Sekarang aku lagi mencari ayahku.” Ryan mengernyit. “Gimana maksudnya?” Kecepatan lari mereka sedikit melambat. Ryan memasang telinga, menunggu jawaban. Rasa penasarannya pada wanita yang berlari di sebelahnya semakin kuat. “Aku udah nggak pernah ketemu ayahku sejak kecil. Hm… kayaknya sejak sebelum lulus SD. Pokoknya lama banget. Lalu sebelum aku berangkat ke Amerika, ibuku meninggal.” “Turut berduka cita, ya,” ucap Ryan tulus. Sherly tersenyum, mengangguk. Kemudian kembali melanjutkan ceritanya. “Aku tetap berangkat ke Amerika karena sayang banget udah dapet kesempatan masa disia-siain kan?” Ryan mengangguk setuju. “Aku mencoba hidup mandiri di sana. Melupakan kejadian memilukan di sini. Tapi beberapa minggu lalu, aku mendapat kabar kalau ayahku masih hidup. Jadi aku meninggalkan pekerjaanku yang di sana dan kembali ke Indonesia. Aku ingin bertemu ayahku.” Ryan sedikit tersentuh dengan cerita itu. Ia menepuk pelan pundak Sherly. “Semoga kamu bisa segera bertemu ayahmu.” Sherly sedikit kaget dengan sentuhan tangan besar Ryan di pundaknya. Bekas sentuhan itu terasa hangat, menggelitik hatinya. Ia pun mengangguk. “Terima kasih,” ucapnya tulus. Mereka terus berlari. Tak terasa sudah melewati hampir tiga perempat keliling apartemen. “Kamu sendiri gimana? Apa pekerjaanmu?” Sherly bertanya dengan topik baru. “Aku dokter anak.” Ryan menyahut pendek. Ia tak terlalu suka membahas tentang dirinya. “Wow, keren banget!” Sherly berseru antusias. Membuat Ryan tertawa kecil. “Loh, beneran keren loh. Pantes kamu kelihatan nyaman banget sama anakmu kemarin. Biasanya kan yang pergi sama anak ke mana-mana tuh pasti ibunya.” “Oh, kalau itu karena mamanya Riry sudah meninggal. Jadi aku sudah terbiasa merawatnya sendiri.” “Sungguh?” Sherly menghentikan langkahnya, menatap Ryan prihatin. Langkah Ryan ikut terhenti. “Nggak usah merasa kasihan begitu, kejadiannya sudah lama kok.” Tiba-tiba Sherly berhambur memeluk Ryan. Ia menepuk-nepuk punggung Ryan lembut. “Mau sudah lama atau enggak, tetap saja itu pasti menyakitkan buatmu. Kamu hebat sudah bertahan sejauh ini, Ryan.” Ryan yang terkejut hanya bisa tergagap. Ia membalas pelukan itu, menganggapnya sebagai kebiasaan orang bule yang terbawa oleh Sherly. “Terima kasih,” ucapnya lirih. Sherly melepas pelukan itu, sekali lagi menatap Ryan sendu. “Kapan-kapan aku boleh main ke tempatmu? Aku juga mau kenalan sama Riry.” Ryan diam, bingung harus menjawab apa. Beruntung, perhatian Sherly sudah teralihkan oleh ibu-ibu penjual nasi uduk yang mangkal di sisi samping apartemen. Mereka kembali berlari, mendekati penjual nasi uduk itu. “Aku mau beli sarapan dulu, ya?” ucap Ryan. “Oh, kamu sarapan nasi pagi-pagi?” tanya Sherly heran. “Kadang-kadang sih. Ini kebetulan ada, soalnya Riry suka nasi uduk di sini.” Ryan sudah memesan dua bungkus nasi uduk. Satu untuk Riry dan dirinya, satu lagi untuk Nina jika istrinya itu mau. Kalau tidak mau, bisa dimakan oleh pengasuh Riry yang jam 6 tadi sudah tiba. Ia bertugas menyiapkan Riry berangkat sekolah sekaligus menyiapkan bekalnya. “Aku kira kamu nggak sarapan nasi. Soalnya badan kamu kan bagus gini, maksudku… mungkin sarapan yang tinggi protein. Ini kan tinggi karbo.” Sherly berkomentar, menatap tak suka pada baskom besar berisi nasi uduk yang masih hangat. “Sekali-kali, Sher. Biasanya aku sarapan tinggi protein kok.” “Beli atau masak?” “Kadang beli, kadang dimasakin.” “Dimasakin siapa?” kejar Sherly penasaran. “Asisten rumah tangga. Tapi jarang sih, lebih sering beli.” “Kalau gitu kapan-kapan aku buatin sarapan mau nggak?” Sherly berseru riang. Ryan menggeleng. “Nggak usah, ngerepot—” “Aku nggak ngerasa direpotin kok.” Sherly memotong cepat, tersenyum manis. Ryan diam sejenak, kemudian mengangguk. “Ya boleh deh. Asal waktu kamu lagi bikin juga, biar nggak ngerepotin.” “Siap, Bos!” seloroh Sherly senang. Dalam hati, wanita itu bersorak kegirangan. “Dari joging bareng jadi sarapan bareng. Siapa tahu nanti bisa tidur bareng. Istrinya juga udah meninggal kok. Dia pasti udah lama nggak begituan kan? Aduh pengen deh dipuasin pake tangannya yang kekar itu.” Sherly tertawa dalam hati. Ia menatap otot lengan Ryan yang begitu menawan. Menelan ludah, membayangkan tangan itu merengkuh tubuhnya di atas ranjang. “Uh, gimana rasanya, ya?” batinnya penasaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD