Bab 13. Tetangga Baru

1062 Words
“Aduh!” Sherly mengaduh terkejut. Ada seseorang yang menabraknya tepat ketika ia keluar dari lift. Ia baru saja tiba di lantai dua puluh tower A, tempat unit apartemen yang ia sewa berada. “Maaf, Tante.” Itu suara anak kecil. Sherly menunduk. Seorang anak kecil dengan rambut dikuncir kuda menatapnya dengan wajah memelas. Melihat sorot matanya yang memohon, Sherly jadi urung memarahinya. “Lain kali hati-hati,” ucapnya sedikit ketus. “Iya, maaf, Tante. Tadi Riry buru-buru,” ucap gadis kecil itu terbata. “Riry?!” Ryan berlari menghampiri putrinya. “Udah Papa bilang tungguin Papa kan? Kok malah kabur gitu aja?” Ryan mendongak, mendapati Sherly tengah menatapnya lekat. “Ah, maaf. Anak saya menabrak kamu, ya? Sekali lagi maaf, ya.” Sherly tergagap, tersadar dari rasa takjubnya melihat Ryan yang datang tiba-tiba. “Oh, iya. Nggak apa-apa.” Sherly berjongkok, membelai rambut Riry lembut. “Lain kali harus hati-hati ya, anak cantik. Untung aja nabrak Tante, kalau nabrak orang jahat kan kamu bisa dimarahi.” Ia tersenyum lembut. “Kenalan dulu yuk? Nama kamu siapa?” Riry mengernyit. Ia menyadari perubahan sikap dan cara bicara wanita itu. Riry beringsut mundur, berpegangan pada ujung baju Ryan. “Riry, ditanya tuh, namanya siapa?” Ryan mengulangi pertanyaan Sherly. Namun Riry tetap bungkam. Ia justru memalingkan muka, enggan menatap Sherly. Maka Sherly bangkit. “Sepertinya pemalu, ya?” tanyanya basa-basi. “Iya, kalau sama orang baru aja sih.” Ryan menjelaskan seadanya. “Kamu tinggal di sini?” Sherly bertanya lagi. “Iya. Kamu juga? Kayaknya baru, ya? Saya belum pernah lihat kamu sebelumnya.” Ryan memutuskan menanggapi dengan lebih baik. Hitung-hitung bersikap baik pada tetangga. Sherly mengangguk. “Iya, baru aja pindah. Nih, masih bawa-bawa koper.” Ia menunjuk koper yang sejak tadi ia bawa. “Oh. Kalau gitu, saya permisi, ya? Lagi buru-buru,” ucap Ryan kemudian. “Eh, kita belum kenalan.” Sherly menyergah cepat. Ia mengulurkan tangan. “Aku Sherly, kamu?” Ryan menyambut uluran tangan itu. “Ryan. Ini anakku, Riry.” Setelahnya, Ryan segera berpamitan. Ia harus segera berangkat ke rumah nenek Riry alias ibu mendiang istri Ryan. Seperti biasa, agenda dua mingguan di akhir pekan. Sherly menunggu hingga Ryan dan Riry menghilang di balik pintu lift, kemudian baru ia melangkah pergi. Langkahnya tampak begitu ringan, senyumnya terus terkembang. “Ah, lupa nggak nanya dia unit nomor berapa. Tapi yang pasti masih di lantai ini kan?” gumamnya sembari tertawa pelan. Sherly sudah berdiri di depan pintu apartemen dengan nomor 2016. Ia memasukkan kartu miliknya, pintu pun terbuka. “Hm, nggak buruk juga,” lirihnya saat mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. “Yang terpenting ada bahan cuci mata sih. Siapa sangka bakal ketemu cowok cakep di sini. Yah, walaupun udah ada monyetnya.” Sherly tertawa pelan, melemparkan tasnya ke atas kasur, menggeletakkan kopernya sembarangan. Wanita itu menghempaskan tubuhnya ke atas kasur apartemen, kemudian menghembuskan nafas panjang. Tubuhnya terasa amat lelah, tapi hatinya sedang bahagia. “Aku harus istirahat hari ini, besok baru beraksi. Pertama-tama, tentu saja mendatangi kantor Donny Adrian.” Wanita itu menyeringai. “Dia pasti nggak akan menyangka kalau aku masih hidup,” gumamnya lantas tertawa terbahak-bahak. Membayangkan wajah terkejut Donny Adrian sudah cukup membuatnya senang, apa lagi jika betulan kejadian? Sherly tak sabar menunggu hari esok datang. *** “Lo di mana sih?” Suara ketus Nina terdengar di ujung telepon. Ryan baru saja tiba di rumah nenek Riry. Belum juga masuk rumah, tapi telepon dari Nina sudah membuat speaker ponselnya nyaris rusak. Akibat telepon itu masuk berkali-kali ke ponsel Ryan. Ryan mendesah pelan. Ia sudah berkali-kali menegur Nina agar menggunakan bahasa yang sopan, tapi sepertinya gadis itu memilih bersikap ketus dan kasar sebagai bentuk perlawanannya pada Ryan. Maka Ryan pun tak lagi memedulikannya. “Di rumah neneknya Riry, kenapa?” “Kenapa nggak bilang?” Suara Nina terdengar semakin ketus. “Kamu kan lagi main sama temen-temen kamu. Katanya mau pulang malem? Ini kan masih sore?” Ryan melirik jam tangannya, masih pukul empat sore. “Ya terus gimana ini sekarang gue udah di depan pintu apart. Gue nggak punya kartunya. Lagian kenapa sih pintu apart lo nggak diganti yang bisa pake pin itu, hah?!” “Aku kan udah nyuruh kamu bikin kartu biar kalau perginya sendiri-sendiri gini nggak tunggu-tungguan. Kamunya yang nun—” “Apa? Lo mau nyalahin gue?” Ryan mengepalkan tangannya, kesal. Namun tiba-tiba pintu rumah nenek Riry terbuka. Seorang wanita berusia enam puluhan muncul dari sana. Senyumnya terkembang, terlihat ramah dan hangat. “Terserah kamu mau gimana. Yang pasti aku nggak bisa pulang sekarang,” pungkas Ryan lantas memutus sambungan telepon. Pria itu langsung mengubah ekspresinya, tersenyum hangat. “Apa kabar, Ma?” tanyanya ramah. Wanita lewat separuh abad itu memeluk Ryan. “Baik, Nak. Seperti biasa.” “Nenek, Riry juga mau dipeluk,” segah Riry dengan mulut manyun. Laila, ibu mendiang istri Ryan itu tersenyum sambil mengulurkan tangan. Riry segera berlari ke gendongan neneknya. Laila dan Ryan tertawa. “Udah gede masa masih minta gendong?” canda Ryan. “Nggak apa-apa, Yan. Mumpung neneknya masih kuat.” “Tuh, Pa. Nggak apa-apa kata nenek.” Riry mencibir, menjulurkan lidahnya pada papanya. “Oh iya, Yan. Kapan kamu mau mengajak istrimu ke sini?” tanya Laila saat sudah berada di dalam rumah. “Hm… kenapa Mama pengen ketemu Nina?” Ryan balas bertanya, penasaran. Sejak mengetahui bahwa Ryan menikah lagi, Laila memang kerap menyuruhnya membawa Nina datang berkunjung. “Dia akan jadi ibu sambung Riry. Masa Mama nggak boleh mengenalnya?” Ryan tersenyum. “Iya, boleh. Kapan-kapan, ya, Ma. Tunggu waktu yang tepat.” Laila mengangguk. Mereka pun tiba di ruang tengah. Riry langsung minta diturunkan, tak sabar mau bermain permainan simulasi masak-memasak dengan peralatan lengkap layaknya dapur sungguhan. Sementara itu di Sunny Place Apartment, Nina sudah mengomel sejak teleponnya diputus sepihak oleh Ryan. Ia memaki suaminya dengan berbagai kalimat hewani, amarahnya sudah mencapai ubun-ubun. “Argh…! Gue benci banget sama lo, Ryan!” jeritnya frustasi. Lantas ia menghentakkan kaki dengan keras dan segera berlalu dari depan pintu apartemen Ryan. Seorang wanita yang baru saja melongokkan kepala dari pintu apartemen yang berada tepat di depan unit milik Ryan itu tertegun seketika. Ia menatap pintu bernomor 2006 di depannya. “Ryan? Jadi… dia tinggal persis di depanku?” Sherly, wanita yang tengah melongokkan kepalanya di pintu itu menyeringai lebar. “Wah, bukankah ini terlalu kebetulan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD