Bab 12. Sesuatu Yang Sherly Cari

1229 Words
Dua minggu kemudian, hukuman kurung yang diberikan pada Evan pun berakhir. Bertepatan dengan kedatangan Sherly ke Indonesia. Maka pria itu telah menunggu di Bandara sejak setengah jam lalu. Tak sabar ingin segera bertemu kekasihnya. Evan berseru girang saat melihat sosok Sherly di kejauhan. Ia berlari mendekat, memeluk kekasihnya erat. “Gimana perjalananmu?” tanyanya dengan wajah sumringah. Sherly menghembuskan nafas pelan. “Lama nggak bepergian jauh jadi capek banget.” Evan tertawa, ia memijit pundak kekasihnya pelan. “Mau ke mana nih habis ini?” “Anterin aku ke rumah tanteku, bisa?” “Bisa dong! Apapun bakal aku lakukan buat kamu, Sayang.” Evan mencium pipi kekasihnya sekilas, merangkul pundak Sherly dengan tangan kiri sementara tangan kanannya menyeret koper sang kekasih. Dalam sekejap, keduanya telah berada di dalam mobil. “Kamu masih hafal jalan ke rumah tantemu?” tanya Evan sembari memasang sabuk pengaman. “Nggak hafal. Tapi bisa pake maps kan?” Sherly tersenyum, mengetuk-ngetuk layar ponselnya. Tadi ia sudah menelpon tantenya dan meminta dikirimkan lokasi rumah. Sherly tak ingin menunda-nunda lagi. Ia telah melepaskan pekerjaannya di New York sana dan memilih pulang ke Indonesia. Ini adalah keputusan paling gambling yang pernah ia ambil. Jadi ia harus memastikan semuanya berjalan lancar sesuai rencana. Rumah tante Sherly berada di pinggiran ibukota. Berlokasi di kawasan padat penduduk yang sering dilanda banjir. Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, akhirnya mobil SUV berwarna hitam metalik itu memasuki jalanan sempit kampung tempat tinggal tante Sherly. “Kamu yakin tantemu tinggal di sini, Sayang?” tanya Evan ragu. “Kenapa? Karena ini kampung kumuh, kampung padat penduduk?” “Eh, bukan gitu. Aku kira… keluargamu cukup kaya sampai kamu bisa kuliah ke Amerika.” Sherly tak menjawab, malas menanggapi. Ia menelpon tantenya lagi, menyuruhnya untuk menunggu di depan gang. “Kita tunggu di depan sana aja, tanteku mau keluar gang,” ucap Sherly kemudian. Evan menurut, ia memberhentikan mobilnya di mulut sebuah gang sempit. Lima menit menunggu, seorang wanita awal empat puluhan terlihat keluar dari mulut gang. Tubuhnya kurus dengan daster kumal yang menempel di badannya. Kulitnya sawo matang, persis seperti Sherly. Namun kulit Sherly tampak lebih bersih karena dirawat dengan baik. “Itu tante kamu?” tanya Evan. Namun bukannya menjawab, Sherly langsung keluar dari mobil dan segera menghampiri wanita itu. “Sherly?!” Wanita itu memekik begitu melihat Sherly keluar dari mobil. “Apa kabar, Tante?” Sherly memeluk wanita itu, akrab. “Astaga, kamu cantik sekali sekarang. Mirip ibumu.” Wanita itu mengusap ujung matanya, ia menangis terharu. “Ayo ikut Tante.” “Eh, sebentar, Tan.” Sherly buru-buru berlari kembali ke mobil, membuka pintu penumpang. “Kamu mau turun atau enggak?” tanyanya pada Evan. Evan meringis, ragu. Ia tak pernah datang ke tempat seperti ini. “Kalau nggak mau langsung pulang aja, aku mau turun.” “Eh, jangan gitu. Aku juga mau turun, tapi mobilku diparkir di mana?” Evan celingukan. Mencari tempat parkir yang aman untuk mobilnya. Ia khawatir ada anak-anak kampung yang iseng menggores-gores mobilnya. Ini mobil seharga 1 milyar lebih! “Parkir di situ aja, mepetin ke tembok gapura. Aman kok!” Evan tak berani membantah. Sherly selalu bisa mengendalikannya, bahkan meski wanita itu tak bermaksud demikian. Setelah mobilnya diparkir di dekat mulut gang, Evan akhirnya ikut turun. Ia memasang kacamata hitamnya, silau. “Lepas kacamatamu,” bisik Sherly sembari melangkah di belakang tantenya. “Kenapa? Silau, Sayang.” “Ck, nggak pantes. Nanti kamu dikira sombong sama warga sini.” Evan cemberut. Namun ia lepas juga kacamata yang bertengger di atas hidung mancungnya. “Ini siapa, Sher?” tanya tante Sherly saat melihat Evan mendekat. “Oh, ini pacarku, Tan.” Evan mengangguk, menyalami tante Sherly dengan cepat. “Wah, ganteng banget, ya? Kayak selebriti. Kamu ketemu dia di mana?” Sherly tertawa, tak menanggapi. Ia justru mengajak tantenya untuk segera masuk ke dalam gang. Kini, rombongan itu melewati lorong sempit yang di kanan kirinya hanya ada perumahan warga. Perumahan itu padat dan rapat. Anak-anak berlarian ke sana kemari di dalam gang, sesekali menabrak Evan yang sudah berusaha menghindar. “Aduh, maaf, ya. Rumah Tante ya gini adanya,” ucap tante Sherly dengan senyum canggung. “Silakan masuk!” Sherly melangkah mendahului Evan yang tampak ragu-ragu. Namun pada akhirnya, pria itu masuk juga. Ruang tamu itu sempit sekali, terhubung langsung ke dapur. “Tan, aku nggak bisa lama-lama. Boleh aku minta langsung kotaknya?” ucap Sherly ketika tantenya terlihat hendak membuatkan minuman. “Loh, kok buru-buru? Kamu nggak nginap di sini, Sher?” “Enggak, Tante. Aku udah menyewa apartemen yang dekat tempat kerjaku.” “Oh, kamu kerja di mana?” Tante Sherly bertanya sambil mencari kotak yang dimaksud keponakannya. “Rencananya mau melamar di Panca Mitra, Tan.” Sherly menyebutkan sebuah perusahaan ekspor impor kayu yang kantor manajemennya berada di pusat ibukota. “Loh, itu kan perusahaannya om Donny?” Evan terkejut. Sherly tersenyum tipis, tak menjawab. Evan pun tak bertanya lebih lanjut karena kini tante Sherly sudah kembali dengan membawa sebuah kotak kayu berwarna merah. “Ini ‘kan kotaknya?” Sherly mengangguk senang, menerima kotak itu dengan tangan sedikit bergetar. Ia melipat bibir, menahan gejolak emosi yang tiba-tiba membanjiri dadanya. “Tan, aku langsung pergi, ya?” pamitnya tiba-tiba. “Kok buru-buru banget sih?” “Iya, maaf. Lain kali aku mampir lagi,” ucap Sherly kemudian beranjak. Menyalami tantenya, mencium pipi kiri dan kanan adik ibunya itu. Ia sudah mendapatkan apa yang ia cari, jadi buat apa berlama-lama lagi? Mereka sempat berbasa-basi sejenak di depan rumah tante Sherly, kemudian Sherly dan Evan bergegas kembali ke mobil. “Habis ini ke mana?” tanya Evan. “Ke Sunny Place, ya.” Sherly menyebutkan nama sebuah apartemen yang terletak di pusat ibukota. “Kamu sewa apartemen di sana?” “Iya.” Sherly menjawab pendek karena sekarang ia sedang fokus pada kotak kayu di pangkuannya. Ia mengaduk tas, mengambil kunci kecil yang sudah ia persiapkan. “Kapan kamu carinya? Kenapa nggak bilang aku?” Sherly berdecak kesal. “Kamu nyetir aja bisa kan?” Evan meringis. “Iya, maaf.” Hening seketika. Evan menyetir kembali ke pusat ibukota. Menuju apartemen yang disebutkan oleh kekasihnya. Setelah mencoba beberapa anak kunci yang berbeda, akhirnya kotak kayu itu terbuka. Sherly menahan nafas, jantungnya berdegup kencang. “Apa sih isinya?” tanya Evan penasaran. Sherly tak menggubris karena kini fokusnya telah tertuju pada isi kotak itu. Ia mengaduk isinya, mencari sesuatu. Gerakan tangan Sherly berhenti tiba-tiba, ia telah menemukan apa yang ia cari. Dengan tangan gemetar dan d**a bergemuruh kencang, Sherly mengeluarkan sebuah kertas yang sebagiannya tampak habis terbakar. “Itu apa?” Evan semakin penasaran, ia mengintip isi kertas itu. “Loh, kok Donny Adrian?” pekiknya terkejut. Evan menatap kekasihnya yang terdiam. Mata Sherly berkaca-kaca. Ekspresinya tak bisa didefinisikan dengan mudah. “Sayang… ini akta kelahiran kamu kan?” tanya Evan tak percaya. Sherly mengangguk, senyum di bibirnya terkembang sempurna. Ia telah mendapatkan bukti paling valid. Wanita itu buru-buru menyimpan akta kelahiran itu ke dalam tasnya. Lalu ia kembali mengaduk isi kotak, mencari bukti lain yang bisa mendukung akta kelahiran tadi. Sepanjang perjalanan kembali ke pusat ibukota, kepala Evan dipenuhi berbagai pertanyaan. Tapi ia tak berani menanyakannya pada Sherly. Karena wanita itu terus sibuk memeriksa isi kotak kayu berwarna merah di pangkuannya. Evan melirik kekasihnya, menelan ludah. “Aku nggak salah lihat, kan? Nama bapak Sherly… Donny Adrian?” batinnya bingung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD