Bab 11. Permintaan Donny

1215 Words
“Nina, Nina, berhenti!” Ryan menyambar pergelangan tangan istrinya yang bebas. “Apa sih?!” Gadis itu menghempaskannya kasar. Keduanya berhadapan di balkon lantai dua menuju kamar Nina. “Kenapa kamu bersikap seperti itu sama papamu?” Ryan mengernyit, menatap istrinya tajam. Nina tertawa sinis. “Terserah gue dong, dia kan papa gue bukan papa lo? Oh, atau lo sekarang udah nganggep dia papa karena mau dikasih hadiah klinik itu?” “Kenapa kamu sensitif sekali soal klinik itu? Itu hanya sebuah usaha kecil buat keluarga kalian kan?” Ryan mencoba tak memedulikan penggunaan bahasa lo-gue yang begitu mengganggu telinganya. Karena saat ini Nina terlihat sama sekali tak bisa ditegur, defensif. “Lo masih nanya kenapa? Kakak gue meninggal karena berusaha keras nurutin maunya papa buat jadi dokter! Dengan iming-iming apa? Bakal dibuatin klinik kesehatan yang dikelola penuh sama kakak gue. Dan sekarang klinik itu jatuh ke tangan lo yang bukan siapa-siapa. Orang baru yang ngerebut tempat kakak gue!” Nina berteriak marah, menatap suaminya dengan mata memerah. Setetes air mata kembali membasahi pipinya yang bersih, namun lagi-lagi ia usap dengan kasar. Kerutan di dahi Ryan tampak semakin kentara. “Tapi itu kan belum tentu terja–” “Belum tentu terjadi? Tapi bakal terjadi kan?” potong Nina sinis. Ryan terdiam. Ia tak tahu seberapa besar kemungkinan omongan Donny tadi menjadi kenyataan. Nina mendengus, kemudian kembali melangkah pergi. Masuk kamar dengan membanting pintu hingga berdebam keras. “Papa?” Tiba-tiba Riry sudah muncul di belakang Ryan. Ryan balik badan, memperbaiki ekspresi wajahnya, tersenyum. “Kenapa, Sayang? Udah selesai nontonnya?” Riry mengangguk. Ryan berjongkok di depan putrinya, mengusap puncak kepalanya lembut. “Pinter anak Papa. Nggak boleh lama-lama nonton tv, ya?” “Iya, dong! Nanti kepala Riry yang ada otaknya ini nggak bekerja aktif, nggak kayak mesin brum… brum… gitu,” celoteh Riry menirukan penjelasan Ryan saat dulu dirinya suka merengek minta menonton televisi lebih lama. Ryan tertawa. “Pinter! Ya udah, ayo turun!” Sepasang ayah dan anak itu menuruni anak tangga sambil bergandengan tangan. Ternyata Larissa sudah menunggu mereka di ujung tangga. “Apa Nina memukulmu, Yan?” tanya Larissa khawatir ketika sang menantu tiba di hadapannya. Ryan menggeleng. “Enggak, Ma. Dia masuk kamar, tapi masih marah.” Larissa mendesah resah. “Maafkan Nina, ya? Dia memang selalu sensitif kalau bicara soal kakaknya.” “Ah, iya.” Ryan menatap wajah gelisah ibu mertuanya. “Apa… betul yang dikatakan Nina, Ma?” Hening sejenak. Larissa tampak terkejut dengan pertanyaan dari menantunya, namun ia segera berhasil menguasai diri. “Gimana kalau kita ngobrol sebentar di teras belakang?” Ryan mengangguk. Namun sebelum mengikuti Larissa ke teras belakang, ia lebih dulu mengambil beberapa buku untuk dibaca oleh Riry nanti. Supaya putri kecilnya tidak merasa bosan selama menunggunya selesai mengobrol dengan mertuanya. Ryan tahu soal kematian kakak Nina itu. Sejak dulu, keluarga Donny dan Surya memang berteman cukup dekat. Ryan dan Kevin pun berkuliah di kampus yang sama, fakultas yang sama, hanya beda angkatan saja. Mereka kerap mengobrol jika bertemu. Namun hingga hari-hari terakhir sebelum Kevin divonis kanker, Ryan tidak pernah tahu bahwa Kevin pernah dijanjikan sebuah klinik oleh Donny dan itu yang menjadi motivasinya untuk kuliah kedokteran hingga melanjutkan studi magister manajemen rumah sakit. Sesampainya di teras belakang, rupanya Donny masih duduk di sana. Wajahnya masih mengeras, namun dihiasi sedikit kekhawatiran yang membayang. Ryan duduk di salah satu kursi, memangku Riry. “Papa mau ngobrol sebentar dengan eyang, Riry baca buku sendiri dulu, ya?” “Oke, Papa!” sahut Riry riang, tanpa tahu apa yang telah terjadi barusan. Tiga orang dewasa itu duduk melingkari meja bundar. Piring berisi buah potong yang dibawa Nina tadi tak tersentuh. “Kevin itu… meninggal ketika masih studi magister.” Larissa membuka obrolan. Ada helaan nafas berat sebelum ia melanjutkan ceritanya. “Benar, dia terkena kanker otak yang terlambat disadari. Penyebarannya sudah sangat luas, kami sudah mengerahkan segalanya untuk kesembuhan Kevin. Tapi ternyata Tuhan lebih mencintainya daripada kami. Kevin meninggal saat Nina sedang menemaninya di rumah sakit. Jadi, mungkin itu yang membuat Nina masih belum bisa melupakan kematian kakaknya.” Ryan terdiam. Sekarang ia bisa mengerti mengapa Nina sangat sensitif saat membahas soal kakaknya. Gadis itu pasti telah melewati hari-hari yang berat sambil membawa luka akibat kematian kakak tercintanya. Satu sisi hati Ryan jadi merasa bersalah jika ia benar-benar diberi hadiah sebuah klinik oleh Donny. “Dan benar juga bahwa Kevin dijanjikan sebuah klinik yang bisa dia kelola sendiri setelah menyelesaikan studinya.” Larissa menambahkan. “Tapi pada akhirnya, dia lebih dulu meninggalkan kami.” Larissa terisak pelan, menunduk. Ia kembali teringat tentang hari-hari terakhirnya menemani si sulung di rumah sakit. Itu hari-hari yang berat dan menyakitkan. Ryan bergeming, begitu juga dengan Donny yang melempar pandang ke kejauhan. Tiba-tiba Donny menghembuskan nafas berat, kemudian mulai bicara. “Tadinya, Papa tidak akan lagi meneruskan rencana usaha klinik kesehatan itu. Tapi tiba-tiba kamu jadi menantu Papa, Ryan. Papa jadi ingin meneruskannya. Semata-mata untuk memenuhi janji Papa pada Kevin.” Donny menatap menantunya lekat. Ryan tercekat. Tatapan itu seolah memohon padanya. “Nina tidak akan pernah mengerti penjelasan seperti ini, Ryan. Tapi Papa harap, kamu mau mewujudkan janji Papa pada Kevin,” lanjutnya dengan suara bergetar. Lengang sejenak. Hanya ada suara gemerisik daun yang tertiup angin dan suara halaman buku yang dibuka oleh Riry. Apakah Ryan akan mewujudkan keinginan papa mertuanya? Belum tahu. Pria itu belum memutuskan. *** Pukul sembilan malam, Ryan berpamitan pada kedua mertuanya. Riry sudah terkantuk-kantuk di gendongannya. Malam ini, ia akan pulang tanpa istrinya. Biarlah Nina beristirahat di rumah orang tuanya, begitu pikir Ryan. Namun sesaat sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan rumah mertuanya, tiba-tiba Nina berseru dari ujung tangga. “Aku ikut!” Semua orang menoleh ke asal suara. Ryan mengangkat sebelah alisnya, terkejut. Gadis itu berjalan menghampiri suaminya, tanpa menoleh sama sekali pada kedua orang tuanya. “Ayo pulang!” ajaknya kemudian langsung berlalu dari sana. Ryan yang sedikit bingung pun lagi-lagi berpamitan. Lalu bergegas menyusul istrinya. “Kenapa mau ikut pulang?” tanya Ryan saat mereka sudah berada di mobil. “Ya kenapa? Nggak boleh?” sahut Nina ketus. “Aku kira kamu masih mau berlama-lama di rumah orang tuamu.” “Enggak,” jawab Nina pendek. Gadis itu memalingkan muka, melempar pandang ke luar jendela. Setelah itu, perjalanan menuju apartemen Ryan yang memakan waktu 45 menit hanya diisi dengan keheningan. Sesampainya di apartemen Ryan, Nina juga langsung masuk kamar tanpa bicara apapun. Ryan hanya bisa menatap lekat punggung istrinya yang menaiki tangga kemudian hilang di balik pintu kamarnya. Apartemen itu kembali hening, sunyi, dan sepi. Tak ubahnya seperti beberapa hari lalu, sebelum Ryan terpaksa menikahi Nina. Pria itu tersenyum getir. “Memangnya apa yang diharapkan dari pernikahan yang terjadi karena paksaan dan perjodohan?” gumamnya dalam hati. Ryan masuk ke kamar Riry dengan Riry dalam gendongannya. Ia merebahkan putri semata wayangnya di atas kasur. Gadis mungil itu sudah terlelap sejak di perjalanan tadi. Lalu, setelah memastikan Riry tetap tidur, Ryan keluar kamar dan masuk ke kamarnya sendiri. Pria itu melepas kacamatanya, duduk di tepi kasur, menghela nafas panjang. Ia meraih figura di atas nakas, menatapnya sendu. Ia mengusap wajah istrinya yang tersenyum simpul di dalam foto itu. “Ri, gimana menurut kamu? Apa aku harus mengabulkan permintaan om Donny?” tanyanya diliputi kegundahan. “Tapi… Nina pasti akan semakin membenciku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD